Abd. A’la Basyir adalah akademisi dan aktivis yang ikut bergiat di sayap kultural NU, termasuk di Musyawarah Besar (Mubes) Warga NU yang diadakan di Cirebon tanggal 8-10 Oktober 2004 dan gerakan-gerakan kultural lain. Abd. A’la ikut melakukan kritik-kritik atas politisasi NU dan Demoralisasi Khittah NU tahun 2004.
Di Mubes Warga NU di Cirebon, Abd. A’la Basyir menjadi salah seorang Organizing Commite (OC) bersama Imam Aziz (koordinator), Helmi Ali Yafie, Acep Zamzam Noor, Ayip Abdullah Abbas, KH. Mu’tashim Billah, Ny. Hj. Hamidah Masduqi Ali, KH. Jazuli Kasmani, dan lain-lain; dan bahkan, dia juga menjadi salah satu juru bicara di konferensi pers di arena Mubes Warga NU di Cirebon.
Abd. A’la Basyir lahir di Sumenep pada 5 September 1957, dari orang tua yang menjadi pengasuh di Pondok An-Nuqayah Latee, Guluk Guluk, Semenep, bernama KH. Ah. Basyir AS (almarhum), dan ibu bernama Nyai Hj. Umamah Makkiyah. Pendidikan dasar dimulai di Madrasah Ibtidaiyah Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep; dan pendidikan menengah di Madrasah Mu’allimin Annuqayah, Guluk-Guluk Sumenep. Di Pondok an-Nuqayah ini, Abd A’la menempuh pendidikan keseluruhannya, pada periode 1966-1978.
Ketika di PP. an-Nuqayah, Guluk-Guluk Sumenep, Abd A’la berguru kepada ayahnya sendiri, dan kepada kyai-kyai di an-Nuqayah. Salah satunya, Abd A’la ngaji kitab kepada KH. Ah. Basyir, dan juga kitab-kitab dasar lain yang dikaji di pesantren.
Setelah selesai dari Muallimin Pondok an-Nuqayah selama 6 tahun, Abd A’la melanjutkan mondok di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang. Ketika di Pondok Tebuireng, Abd A’la banyak ngalap berkah kepada kyai-kyai di Jombang dan mengunjungi makam-makam penting pendiri NU. Saat di Tebuireng ini, Abd A’la menempati Kamar Al-Djihad, No. 8, seangkatan dengan santri Bangkalan, di antaranya adalah Bpk. Rofiq Syafii. Abd. A’la menempuh pendidikan di Tebuireng ini, antara periode 1978-1979, yang disebutnya sebagai upaya ngalap berkah.
Ketika di Tebuireng ini, Abd A’la juga mengaji berbagai kitab penting, dan di antaranya adalah kitab fiqh, Fathul Wahhab kepada KH. Adlan Ali, yang di kemudian hari menjadi Ketua JATMAN; juga ngaji kitab kumpulan hadits, Riyadus Shalihin kepada KH. Ishomuddin AS; dan disempurnakan pula ngaji kitab hadits babon, Shohih Muslim, kepada Kiai Bisri Syansuri, Tebuireng, yang pernah menjadi Rais Am PBNU, dan mengasuh Pondok Pesantren Denanyar.
Setelah dari Tebuireng, Abd A’la melanjutkan kuliah di Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya (selesai 1987); dan sekarang menjadi Fak. Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel). Sewaktu di Surabaya, Abd A’la banyak mengikuti berbagai kegiatan diskusi, dan membaca buku-buku yang sedang menjadi booming saat itu, termasuk tulisan-tulisan progrsif dari KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Abd A’la kemudian masuk organisasi PMII, dan kemudian aktif di senat mahasiswa, menjadi Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel.
Setelah itu, Abd A’la menekuni karir sebagai pendidik dan menjadi dosen di Sekolah Tinggi Keagamaan Islam Annuqayah (STIKA), sejak tahun 1987 (sampai 2005); dan kemudian menjadi dosen di Fak. Adab dan Humaniora IAIN (UIN) Sunan Ampel, sejak tahun 1990. Dari IAIN Sunan Ampel, Abd A’la kemudian melanjutkan pendidikan S2 di Pascasarjana IAIN (Sekarang UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta (selesai 1996); dan disempurnakan dengan S3 di universitas yang sama. Abd. A’la merampungkan S3, dengan menulis dissertasi berjudul Pandangan Teologi Fazlur Rahman, Studi Kritis tentang Pembaruan Teologi Neo-Modernisme (selesai tahun 1999), yang promotornya saat itu adalah Prof. Dr. H. Azyumardi Azra, MA., dan Dr. H. Muslim Nasution.
Karir Abd. A’la di IAIN Sunan Ampel terus meningkat, berturut-turut pernah menjadi Asisten Direktur Bidang Akademik Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel (2005-2009); Pembantu Rektor Bidang Akademik IAIN Sunan Ampel (2009-2012); menjadi Rektor IAIN Sunan Ampel (2012-2014); dan Rektor UIN Sunan Ampel (setelah IAIN berubah menjadi UIN, periode 2014-30 April 2018); dan kemudian, menjadi Guru Besar pada Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Sunan Ampel Surabaya (2009-sekarang).
Selain menjadi pejabat di IAIN dan UIN Sunan Ampel, Abd. A’la, mengikuti berbagai kursus/pelatihan, di antaranya: Workshop Manajemen Pembangunan Swadaya Masyarakat, dilaksanakan oleh International Institute of Rural Recontruction The Philippines, Yayasan Indonesia Sejahtera, dan Bina Swadaya tgl. 9 September s/d 12 Oktober 1985 di Solo; 9-Months Course in English for Academic Purposes (EAP) di IALF Bali, 3 Agustus 1992-14 Mei 1993; Workshop Islam and Civil Society, di Institute for Training and Development, Amherst, Masschusetts, U.S.A., 15 September-5 Oktober 2002; Workshop Developing a Research Focused University, di Centre for Study of Higher Education (The Melbourne Graduate School of Education), The University of Melbourne, Australia, 4-6 Agustus 2010; dan Workshop Education Policy, di Education Development Center, Washinton DC, 9-20 September 2013.
Abd. A’la juga melakukan berbagai penelitian, menjadi narasumber dan terlibat di berbagai forum ilmiah di tingkat nasional dan internasional. Selain itu, juga berkiprah di tengah masyarakat, di antaranya: menjadi aktivis dan konsultan dalam Konsorsium Keadilan dan Kedamaian (KKK) Malang (2002-sekarang); anggota National Board pada International Center for Islam and Pluralism (ICIP) Jakarta (2003-sekarang); anggota paripurna Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (2007-2009, tetapi non aktif sejak tahun 2008); menjadi Dewan Pengawas Yayasan Annuqayah, Sumenep (2011-sekarang); A’wan Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur (2013-2018); Khadim Pondok Pesantren Annuqayah Latee, Guluk-Guluk Sumenep (2017-sekarang); dan kini menjadi Wakil Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur (2018-2023).
Selain bergiat sebagai pendidik, aktivis, dan pengasuh pesantren, Abd. A’la juga sangat produktif menulis buku, di jurnal, dan media massa. Di antara buku yang sudah diterbitkan adalah Ijtihad Islam Nusantara: Refleksi Pemikiran dan Kontekstualisasi Ajaran Islam di Era Globalisasi dan Liberalisasi Informasi (Surabaya: Muara Progresif, 2018); Jahiliyah Kontemporer dan Hegemoni Nalar Kekerasan (Yogyakarta: LKiS, 2014); Agama Tanpa Penganut (Yogyakarta: Kerjasama IAIN Sunan Ampel-Impulse-Kanisius, 2009); bersama tim menulis Praksis Pembelajaran Pesantren (Yogyakarta: LKiS, 2007); Pembaruan Pesantren (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2006); Dari Neomodernisme ke Islam Liberal (Jakarta: Paramadina, 2003); dan Melampaui Dialog Agama (Jakarta: Penerbit Kompas, 2002).
Kiprah dan kerja-kerja sosial dan pengabdian Abd. A’la, diakui berbagai pihak, sehingga memperoleh penghargaan, di antaranya sebagai Santri of the Year, Santri Berprestasi dalam Bidang Pendidikan (2017); dosen teladan di lingkungan perguruan tinggi Islam se-Indonesia (2007); dan dosen terbaik dalam bidang penulisan karya tulis ilmiah di lingkungan perguruan tinggi agama Islam se-Indonesia (2004).
Keikutsertaannya di dalam gerakan-gerakan kaum muda NU, seperti di dalam Mubes Warga NU, menunjukkan bukan hanya kualitas pribadinya sebagai sosok yang dapat membagi waktu di tengah kesibukannya sebagai dosen dan aktivitas lainnya, tetapi juga menunjukkan integritasnya sebagai cendekiawan di dalam melihat-melihat persoalan sosial masyarakat.
Oleh karena itu, Abd. Ala juga gigih membela prinsip penting dalam melihat hubungan antarislam, dalam soal Syiah, ketika sebagain muslim di Madura mengusir orang-orang Syiah; dan sebagian muslim secara nasional ingin mengeluarkan Syiah dari Islam. Abd. Ala menyebutkan dengan terang: “Masalah Syiah itu sudah clear, syiah bagian dari Islam” (tempo.co, 27 Agustus 2012). Dalam pandangan Ab. A’la, sebagaimana dikutip tempo.co. (27 Agustus 2012), banyak aliran di dalam Syiah, memang ada yang bermasalah, yaitu aliran Ghulat, tetapi di Indonesia Syiahnya bukan aliran Ghulat (aliran ekstrem).
Setelah Gus Dur lengser, bersama beberapa cendekiawan dan budayawan, seperti Kang Thohari, dan beberapa tokoh lain, Abd. A’la juga datang ke Ciganjur menemui Gus Dur. Dalam pertemuan itu, menurut Abd. A’la, sebagaimana pengakuannya kepada saya (NKR): “Saya melihat komitmen beliau (Gus Dur) yang besar untuk keutuhan NKRI dan sekaligus keprihatinan beliau terhadap oknum yang hanya mementingkan pribadi golongan.” Ketika Gus Dur sering ke Guluk-Guluk, Abd. Ala juga sering ikut menyambut, bersalaman, dan mendengarkan perkataan-perkataannya.
Sebagai tokoh yang hidup di dalam air sungai santri pesantren, bergulat dengan berbagai tumpukan kitab dan buku-buku modern, juga kadang-kadang harus melihat ketegangan sosial di tengah masyarakat dan di dalam NU, Abd. A’la tidak kehilangan rasa syukur untuk tetap mengapresiasi musik dan keindahan. Abd. A’la juga menyukai musik, dan terutama musik slow rock dan evergreen pop, sambil tetap mutholaah, dan ngajar ngaji di pesantren.
Dalam menjalani berbagi kiprah pengabdian dan menjadi pendidik, Abd. A’la tetap sebagai santri yang menjalankan amal-amal wirid dari gurunya, yang diterima dari ayahnya, KH. Ah. Basyir dan juga beberapa gurunya yang lain. Abd. A’la menikah dengan Nyai Hj. Nihayatus Sa`adah, dan dikaruniai beberapa anak: Istizadah Iffati, Ahmad Dzaki Nuhais Asy-Syarqawi, Zakhrofani Ghina En-Nafs, dan Zakana Istigharuna El-Dayyan.
Semoga sehat, panjang umur, dan berkah selalu.
Penulis: Kiai Nur Khalik Ridwan, Pengasuh Pondok Pesantren Bumi Cendekia, Gombang, Sleman.