Mengapa Santri Tidak Menjadi Muslim Yang Keras? Ini Jawabannya! (2)
Kedua, belajar agama dengan penuh keceriaan dan tidak memangkas anak-anak dari keceriaan masanya. Keceriaan masa anak-anak dan remaja itu tetap tersalurkan. Dzikir bersama dilagukan dengan ceria, jamaah bersama, ngaji kitab yang diselingi guyon-guyon. Mengapa penting?
Norma yang harus dicerna dan diintroyeksi santri itu banyak sekali. Semua buku, kitab, guru, tata tertib pondok, tata tertib madrasah bicara norma semua yang itu jauh lebih banyak dari yang diterima oleh anak lain yang tidak tinggal di pesantren, baik secara kuantitas, intensitas, dan konsekuensi norma. Hal ini kalau tidak dislimur-slimur dengan guyon, dengan kegiatan-kegiatan lain yang refreshing ya bisa tegang, stress, karena cognitive overload salah satunya. Makanya orang pesantren biasanya suka guyon, ya karena terbiasa. Pesan-pesan agama biasa terasosiasikan dengan suasana yang santai, penuh guyon, dan tidak menegangkan. Kalau seperti ini mana bisa ngebom? Lemes! hehehe
Ketiga, tidak pernah lepas dari konteks masyarakat sekitar. Selalu ada kesempatan untuk bergaul dengan masyarakat sekitar. Mulai dari ikut melayat tetangga sekitar, muamalah membeli di warung-warung sekitar, hingga sekedar tersenyum saat lewat di depan rumah tetangga. Santri perlu tahu perkembangan jaman semenjak di pesantren, makanya gerbang pondok tidak tinggi.
Pesantren-pesantren lama bahkan tidak punya gerbang sama sekali dengan tujuan interaksi dengan masyarakat luar itu mudah, masyarakat luar juga mudah berinteraksi dengan pondok. Di sinilah terjadi suasana psikologis “tidak ada dusta di antara kita”. Saya teringat dan sangat mengamini ungkapan seorang kawan yang mengatakan bahwa beragama dan ekspresi keagamaan itu tidak boleh egois, harus mengindahkan konteks sosial yang ada. Selalu dapat menyapa dan disapa oleh masyarakat sekitar kapan saja akan mengurangi probabilitas menjadi orang yang egois dalam beragama.
Keempat, penekanannya pada akhlaq bukan semata materi. Sepintar-pintarnya anak kalau akhlaknya tidak bagus, itu bukan indikator keberhasilan pesantren. Itu juga jadi indikator awal masuk, bagaimana akhlaqnya, bagaimana kemungkinan perkembangan akhlaqnya kalau mondok, dan seterusnya. Gurunya enak atau tidak enak harus diterima semua sebagai bentuk penghormatan kepada yang memberi ilmu.
Di sini kadang ada nyinyiran, misal ada anak pesantren level smp atau sma yang tingkahnya aneh-aneh. Kemudian dijadikan omongan kok anak pesantren gitu. Sangat mungkin memang iya, kadang tingkahnya memang masih aneh-aneh. Karena masih dalam proses belajar dan masa anak-anak dan remaja mereka memang tetap berkembang sebagaimana anak-anak di luar pesantren.
Sekali lagi, proses belajarnya memang bertahap dan butuh waktu yang tidak sebentar. Butuh pembiasaan-pembiasaan dan pengendapan yang lama, baik secara sadar maupun tidak sadar. Ilmu modifikasi perilaku di psikologi banyak bicara tentang hal ini. Pembiasaan memerlukan kontrol eksternal, sementara internalisasi nilai terkait kontrol internal. Dua hal itu diberikan semua dalam proses pembelajaran santri. Masa anak-anak dan remaja menggunakan proses kontrol eksternal, dan masa setelah itu penguatan kontrol internal.
Pembiasaan yang terjadi melalui proses kontrol eksternal, tubuh akan terasa tidak nyaman bila tidak melakukan hal yang sudah terbiasakan. Memori tubuh yang bicara. Kontrol internal diterapkan dengan pemberian logika-logika terkait fiqh, akhlaq, bahkan aqidah. Hanya saja, itu dilakukan di tahapan usia remaja akhir hingga dewasa, menyesuaikan perkembangan kognisi seseorang.
Akhlaq di pesantren sebenarnya banyak macamnya. Akhlaq terhadap sesama manusia, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Akhlaq terhadap ilmu, baik ilmunya sendiri berupa taat terhadap urutan belajar ilmu, kitabnya, guru, dan pengarang kitabnya. Akhlaq terhadap dunia sekitar: hewan, tumbuhan, bebatuan, jalan, fasilitas umum, makanan, dan sebagainya. Dan masih banyak lagi norma-norma yang dipelajari santri yang sebenarnya berujung pada akhlaq.
Demikian Mengapa Santri Tidak Menjadi Muslim Yang Keras? Ini Jawabannya! (2), semoga bermanfaat.
(Ibu Nyai Maya Fitria adalah Dosen UIN Sunan Kalijaga dan Pengasuh Pondok Pesantren Krapyak Yayasan Ali Maksum Yogyakarta)