Saat ngaji kitab Tanbihul Mughtarrin, di dalamnya sering kali Imam as-Syaroni mengkritik orang-orang yang merasa bahwa mereka adalah penerus ulama salaf, dengan banyak sekali kritikan.
Di antaranya adalah gaya kehidupan mereka yang jauh dari kepribadian para salafunassholihin. Bahkan, terkadang imam Syaroni menyebutkan beberapa akhlak ulama dulu yang telah ditinggalkan orang-orang yang hidup di zamannya, sehingga beliau memberikan keterangan bahwa tidak ada seorangpun yang sekarang aku lihat berakhlak seperti itu kecuali diriku. Alasaannya, beliau jelaskan dalam muqoddimah kitabnya, aku sengaja menyebutkan demikian agar orang-orang yang mendengar kitab ini bisa meniru akhlak tersebut, dan tentu aku tidak mengajak orang lain kecuali aku sendiri telah melakukannya.
Jika kita membacanya, mungkin bagi yang tidak terbiasa akan merasa ada sedikit keganjalan, bahkan ada yang mengira beliau sedikit kelihatan sombong dan pamer, apalagi bagi beliau yang notabene-nya adalah seorang ahli tashowwuf.
Memang ada begitu banyak tulisan beliau yang dzohirnya demikian, bahkan dalam karangan-karangan beliau yang lain pun juga banyak ditemukan kata-kata yang identik dengan menonjolkan kelebihan beliau sendiri. Termasuk dalam salah satu kitab karya beliau, yaitu :
العهود المحمدية
yang dulu penulis hatamkan satu tahun setelah lulus MGS.
Namun, bukan berarti beliau orang yang sombong, itu dilakukan bukan hanya karena tahadduts bin ni’mah, tapi juga untuk mendorong olang lain agar bisa berakhlak demikian. Tentu hal yang seperti itu sudah maqam beliau dan tidak semua orang boleh menirunya, karena kita punya maqam sendiri-sendiri.
Mengenai perbedaan maqam, mbah Moen beberapa kali mengutip ayat :
وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى
Beliau mengatakan: “أي من عرف مقام نفسه عند ربه”
Pada waktu itu juga penulis teringat saat ngaji Ihya’ pada KH. M. Sa’id Abdurrohim, dalam kitab Ihya’ tersebut diterangkan bahwa perbedaan maqam dan ahwal juga berlaku bagi para nabi. Nabi Yahya misalkan, karena beliau maqomnya adalah maqam Haibah, khusyuk dan malu pada Allah, beliau tidak memuji dirinya sendiri hingga Allah langsung yang memujinya:
وَسَلَامٌ عَلَيْهِ يَوْمَ وُلِدَ وَيَوْمَ يَمُوتُ وَيَوْمَ يُبْعَثُ حَيًّا
”Kesejahteraan atas dirinya pada hari ia dilahirkan dan pada hari ia meninggal dan pada hari ia dibangkitkan hidup kembali.”
Sedangkan Nabi Isa, karena beliau maqamnya dimanja oleh Allah, saat masih bayi beliau sudah memberi salam pada dirinya sendiri, sebagaimana dalam firmanNya:
وَالسَّلَامُ عَلَيَّ يَوْمَ وُلِدْتُ وَيَوْمَ أَمُوتُ وَيَوْمَ أُبْعَثُ حَيًّا
“Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali”
Contoh lain adalah ketika kaum Nabi Musa menyembah patung anak sapi, akhirnya beliau disuruh oleh Allah memilih 70 orang terbaik untuk keluar dan berdoa meminta ampunan kepada Allah, dan setelah itu ditimpakan gempa pada 70 orang tersebut sehingga mereka semua meninggal. Namun bukannya pasrah, tapi justru Nabi Musa masih saja merayu Allah sebagaimana disebutkan dalam surat al-Araf:
قَالَ رَبِّ لَوْ شِئْتَ أَهْلَكْتَهُمْ مِنْ قَبْلُ وَإِيَّايَ أَتُهْلِكُنَا بِمَا فَعَلَ السُّفَهَاءُ مِنَّا إِنْ هِيَ إِلَّا فِتْنَتُكَ تُضِلُّ بِهَا مَنْ تَشَاءُ وَتَهْدِي مَنْ تَشَاءُ
”Musa berkata: “Ya Tuhanku, kalau Engkau kehendaki, tentulah Engkau membinasakan mereka dan aku sebelum ini. Apakah Engkau membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang kurang akal di antara kami? Itu hanyalah cobaan dari Engkau, Engkau sesatkan dengan cobaan itu siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau beri petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki.”
Saat disuruh menghadap Fir’aun pun beliau masih sedikit menegosiasi dengan berkata:
قَالَ رَبِّ إِنِّي أَخَافُ أَنْ يُكَذِّبُونِ (12) وَيَضِيقُ صَدْرِي وَلَا يَنْطَلِقُ لِسَانِي فَأَرْسِلْ إِلَى هَارُونَ (13) وَلَهُمْ عَلَيَّ ذَنْبٌ فَأَخَافُ أَنْ يَقْتُلُونِ
“dia (musa) berkata, “Ya Tuhan-ku, sungguh, aku takut mereka akan mendustakanku, sehingga dadaku terasa sempit dan lidahku tidak lancar, maka utuslah Harun (bersamaku). Sebab aku berdosa pada mereka, maka aku takut mereka akan membunuhku”
Dalam kitab Ihya’, imam Ghozali menjelaskan, “andaikan hal tersebut dilakukan oleh selain Nabi Musa, yang maqamnya berbeda, niscaya termasuk su’ul adab kepada Allah dan mungkin akan diberi perigatan seperti Nabi Yunus yang terpenjara dalam perut ikan”.
Beliau, KH. Maimoen Zubair juga dawuh: “Aku ora seng maqam merem-merem. Ngerti merem-merem? Maqam merem-merem iku seng etek-etek cer. Nek aku etek-etek cer yo dadi guru thoriqot. Nek dadi guru thoriqot ora iso ngaji, ngurusi wong tuo-tuo, repot, hehe”. Setelah itu beliau dawuhan lagi: “Mergo aku wes janji. Ilmu iku penting, opo maneh ilmu agomo”.
Dan beliau pun pada waktu itu bercerita tentang keanehan yang beliau alami saat menaiki mobil, ketika dibengkelkan ternyata bensinnya sudah habis dan selang bensinnya pun putus (mungkin yang terjadi saat beliau bakdo tindaan dari Pasuruan), beliau sangking tawadhu’nya dawuh: “aku iki ora wali, tapi kreditan”.
ما شاء الله، أطال الله عمره مع الصحة والعافية، ورزقه بحسن الخاتمة
Keterangan foto: Syaikhuna KH Maimoen Zubair & KH. M. Sa’id Abdurrohim di Mekkah Mukarromah menjalankan ibadah haji 2019.
Penulis: Nibrosuz Zaman.