Menemukan Orang Alim yang Menyamar Jadi Penjual Martabak.
Salah satu jajan yang disukai anak saya adalah martabak manis, sehingga sepulang dari kampus atau ngaji di daerah kota Jogja, saya sempatkan mampir untuk beli martabak sekedar oleh-oleh untuk ketuk pintu rumah sekaligus mengamalkan haditsnya kanjeng Nabi Muhammad.
Dari sekian banyak penjual martabak yang pernah saya ampiri, ada satu penjual martabak yang sangat menarik bagi saya. Penjualnya halus tutur katanya, sholih wajahnya, selalu pakai peci putih, dan keluarganya ketika pernah ketemu juga terlihat sholih-sholih.
Lapak martabak ini bukanya selalu setelah sholat maghrib. Ini yang berbeda dengan penjual martabak pada umumnya, yang rata-rata sudah siap buka jam 16.00, sesuai dengan jam rata-rata orang-orang pulang kerja. Beberapa kali saya lewat jam 17.00-an untuk mampir ke lapaknya, selalu belum buka. Pernah iseng saya tanya, kenapa bukanya setelah maghrib? Beliau menjawab bahwa bakda ashar itu ada kwajiban ngajar ngaji hingga menjelang maghrib, kemudian sholat maghrib dan ngaji bareng keluarga, baru berangkat untuk buka lapak martabaknya. Pernah juga iseng saya tanya, jika bukanya jam 19.00an itu orang-orang yang pulang dari kerja sudah lewat semua. Jawabanya luar biasa, beliau mengatakan bahwa ini bagian dari ikhtiar menjemput rizki Allah, tetapi anugerah rizki itu sudah ditentukan oleh Allah yang tidak akan tertukar.
Saya jadi langganannya. Jika ingin beli martabak saya selalu mampir disitu, karena bisa ngobrol penuh hikmah dan rasa martabak yang enak & cocok rasanya untuk anak-anak. Pernah suatu malam bakda maghrib saya ke lapaknya, tutup. Ketika saya bertemu, beliau bercerita bahwa memang sepekan sekali libur karena ada ngaji di rumahnya bersama masyarakat. Sementara, ngaji untuk komunitas tertentu seperti ngaji untuk para penjual martabak, komunitas mahasiswa dan lainnya dilakukan setelah lapak martabaknya tutup, sekitar jam 23.00 sd 01.00.
Dari beberapa kali pertemuan, saya menyimpulkan ia orang ‘alim yang humul, walau pun beliau selalu merendah bahwa beliau masih terus belajar bareng teman-temannya. Kesimpulan saya ini terbukti, ketika ada dauroh ilmiyah dengan mendatangkan ulama’ Timur Tengah seperti Syaikh ‘Ali Ash-Shobuniy dan lainnya, ternyata beliau berjubah putih dan menjadi pendamping yang menggandeng syaikh-syaikh tersebut. Saya yang jadi peserta dauroh tersebut, hampir-hampir tidak percaya, antara iya dan tidak, dan ketika ada kesempatan saya bertanya ternyata betul, beliau yang menjadi penjual martabak itu.
Ini lah yang luar biasa, beliau ternyata pernah mulazamah di beberapa syaikh di Timur Tengah dan sebenarnya orang ‘alim, tetapi selalu menyembunyikan ke-‘aliman-nya dengan menjadi penjual martabak yang sederhana, tetapi tetap komitmen luar biasa dengan meluangkan waktunya untuk ngaji ke masyarakat dan komunitas-komunitas tertentu.
Ditengah komersialisasi dakwah & ngaji, yang terkadang menjadi ustadz dijadikan profesi, bahkan ada orang yang belum pernah mondok/ madrasah pun sudah berani ngaji panggung dan berfatwa dengan atribut-atribut ke-ustadz-an walau pun tidak bisa baca kitab, beliau tetap menunjukkan kesederhanaan sebagai orang ‘alim dengan berkaos dan berpeci putih yang sederhana, menjadi penjual martabak dan tetap mengajar ngaji sebagai sebuah khidmah dan pengabdian untuk umat.
Beliau mandiri menafkahi keluarga dengan menjadi penjual martabak, sementara ngaji di masyarakat dan komunitas tertentu sebagai arena jihad perjuangannya. Beliau tidak pernah menerima amplop dari ngaji-ngajinya karena itu dianggap jadi kwajiban agama, apalagi dijadikan profesi, bahkan terkadang beliau ikut urunan untuk mendirikan/melangsungkan majlis-majlis ta’limnya.
Saya jadi teringat dengan dawuh Imam Ibnu Athoillah As-Sakandari dalam kitab hikamnya, bahwa kita diperintah untuk memendam/mengubur wujud kita di bumi humul, ketidakterkenalan dan ketidakmasyhuran, karena sesuatu yang tidak dipendam dalam, tidak akan tumbuh dan berbuah dengan sempurna.
Luar biasa, penjual martabak yang ‘alim humul dan penuh perjuangan.
Demikian kisah Menemukan Orang Alim yang Menyamar Jadi Penjual Martabak, semoga bermanfaat.
Penulis: KH M Ikhsanuddin, ketua Lembaga Dakwah PWNU DIY.