Oleh : Dr. Arif Maftuhin, Dosen UIN Sunan Kalijaga.
Kalau Anda ingin berdebat tentang kebijakan melarang cadar di UIN Sunan Kalijaga, saya ajak Anda berdebat dalam dua perspektif terpisah agar debatnya tidak muter-muter. Ini dua mosi yang saya ajukan.
Pertama: Debat Wilayah Fiqih
Masalah cadar tidak ada dalilnya. Apa yang dinamakan “dalil”? Secara ushul, dalil itu ada tiga Qur’an, Sunnah, dan Ijma’. Kalau tafsir terhadap Qur’an yang dikaitkan dengan cadar, ada. Kalau syarah terhadap Hadits, ada. Tetapi tafsir dan syarah adalah “ijtihad”, bukan dalil. Anda yang biasa ngotot untuk hanya berpegang teguh pada Qur’an dan Sunnah, berhentilah di sini. Anda sudah selesai. Jangan coba-coba berdalil dengan pendapat mazhab atau Syaikh Bin Baz, karena Anda tidak konsisten nanti.
Tetapi kalau Anda mau mengakui mazhab, ayo kita lanjutkan diskusinya. Dalam hal mazhab, kita sepakat tidak ada Ijma’. Sebab, yang ada adalah khilaf berkepanjangan. Anda bisa saja menunjukkan kitab anu mengatakan wajib, kitab anu mengatakan makruh. Intinya, masalah cadar adalah masalah khilafiyah.
Implikasinya apa? Cadar itu tidak wajib (yang kalau tidak bercadar jadi berdosa). Maksimal (maksimal lho) itu hanya Sunnah. Sunnah pun dasarnya menghindari fitnah. Bukan Aurat. Karena tidak wajib dan khilafiyah, Anda tidak berdosa jika membuka cadar.
Jika kita sepakat ini masalah khilaf, maka di sinilah Anda harus menerima ketika seorang rektor berijtihad untuk mengambil keputusan terbaik dalam batas wewenangnya. Dalam kaidah Fiqih dikatakan, “hukm al-hakim ilzam wa yarfa’ al-khilaf.” Jadi, rektor berhak memutuskan yang berlaku di wilayahnya atas berbagai khilaf itu. Secara Fikih, kalau Anda tidak setuju, ya berarti Anda tidak taat kepada ulil amri. Di video klarifikasi sudah dijelaskan bahwa setiap mahasiswa menandatangi persetujuan untuk taat aturan dan siap dikeluarkan bila tidak taat. Toh rektor tidak memaksa Anda untuk berbuat dosa.
Kedua: Debat HAM
Halo yang mau debat soal HAM dan teriak atas nama HAM… Jika kita sepakat bahwa cadar bukan “kewajiban” agama, maka level penggunaan cadar itu ya hanya semisal dengan sarung, yang kalau di daerah santri sebagai simbol “kesempurnaan” agama seseorang. Maka, kalau Anda teriak soal HAM, maka larangan pakai sarung, sandal jepit, dan kaos oblong di UIN juga melanggar HAM.
Dan jika Anda konsisten berargumen dengan HAM, maka peraturan yang mewajibkan jilbab di UIN juga melanggar HAM. Kenapa Anda tidak protes soal kewajiban berjilbab ini? Bagi sebagian muslim, jilbab itu tidak wajib. Mengharuskan mereka berjilbab juga melanggar HAM.
Dengan dua argumen tersebut, saya harap kita tidak perlu lagi debat soal:
- Referensi kitab ini dan itu. Sampai kapan pun, ya tetap khilafiyah.
- Pelanggaran HAM. Ini hanya soal “tata tertib” rumah tangga yang disepakati di UIN. Bukan soal usuliyah dalam agama dan hanya soal memutuskan khilafiyah.
- UIN “liberal”. Pertimbangan Rektor sangat fiqih (sad dzari’ah). Plus, Ini juga lucu… Kalau Anda paham arti “liberal”, ini justru bukti bahwa UIN tidak liberal. Liberal koq melarang cadar dan mewajibkan jilbab.