Mbah Moen dan Mbah Dim: Secara Fisik Jarang Bertemu, Tapi Hatinya Selalu Padu

Mbah Maimoen Zubair dan Mbah Dimyati Rois

Keduanya ulama’ sepuh. Keduanya merupakan bagian dari Ahwa 9, yaitu ulama sembilan yang menjadi rujukan dalam menentukan Rais Aam PBNU pada Muktamar ke 33 di Jombang. 

Pada saat itu, Abah Dim diminta memimpin sidang Ahwa, akan tetapi Abah Dim tidak berkenan. Makanya dipasrahkan kepada Mbah Maimoen yang labih sepuh. Mbah Moen juga tidak berkenan. Begitulah pengadatan kyai-kyai NU. Mereka saling ta’dzim, saling menghormati, dan saling menyayangi.

Bacaan Lainnya

Abah Dim itu termasuk santrinya Mbah Zubair yang merupakan orang tua dari Mbah Meon. Tapi keduanya tidak berjumpa di Sarang, karena saat itu Abah Dim ngangsu kaweruh selama 7 tahun di Sarang tepatnya di MIS asuhan Kyai Imam Kholil, nderek Ndalem Kyai Kholil (santri khidmah).

Mbah Maimoen saat itu masih menuntut ilmu di negeri Hijaz, sehingga jarang sekali satu majlis. Tapi keduanya  memiliki kedekatan emosional yang sangatlah dekat, karena Mbah Mun itu Gus-e bagi Abah Dim. 

Banyak sekali  kecocokan pandangan antara keduanya, diantaranya:

Abah Dim pernah menjelaskan bahwa Mbah Zubair itu La’allahu Faqih Zamanihi, artinya diantara ulama’ yang masuk level ‘allamah pada jamannya. 

“Mbah Zubair itu saat membaca kitab, baru membaca saja sudah seperti menjelaskan. Santri yang mengaji sudah faham,” kata Abah Dim.

Pada suatu kesempatan, Mbah Moen juga pernah dawuh:

“Mbah Zubair niku yen moco kitab kados dene nerangake.”

Suatu ketika para alumni Pesantren Alfadlu berziarah pada masyayikh Syaikhina. Diawali dengan Bersisian di Kaliwungu sendiri, kemudian  lanjut ke Lirboyo, Jombang , Sarang , Jamsaren Solo, Semarang. Pada saat rombongan di Sarang sowan pada Mbah Maimun.

Saat itu Mbah Moen Dawuh:

“Mbah Zubair niku mboten gadah pondok, tapi seng nderek ngaji yo ono teng ndaleme. Mbah Zubair senajan gak ono pondoke, mung katon sinare, nak neng Kudus koyok Mbah Asnawi.”

“Sakwuse bapakku wafat, terus kepekso aku berusaha senajan abot, anane pondok yo ngarep omah iki. Seng pertama kali ngirim santri ndok pondok iki, yo Mbah Dim.”

Maksudnya Abah Dim Kaliwungu.

Abah Dim pun mengalami hal yang sama.  Memangku pondok itu dipaksa oleh keadaan, terutama pondok putri Alfadhilah itu sejatinya dibuat pondok karena ada seorang dari Tegal Gubug Cirebon menitipkan putrinya. Sudah ditolak, namun anaknya tetap ditinggal hingga temannya pun santri putri banyak dan berkembang hingga sekarang.  Adapun yang memberi nama Alfadhilah itu Mbah Cholil Bisri Rembang.

Mengenai santri pertama Mbah Maimun, beberapa saat lalu di acara Haflah Lirboyo, Mbah Maimun menceritakan bahwa santri pertamanya adalah Gus Imam Mahrus Ali Lirboyo. Diketahui pula bahwa Abah Dim mempunyai kedekatan yang erat terhadap Kyai Makhrus Lirboyo bahkan sampai ketiga putra Kyai Mahrus itu mengaji di Kaliwungu, diikutkan pada Abah Dim .

Kepada keduanya, mari kita kirim alfatihah semoga Abah Dim  diberikan kesehatan dan panjang umur senantiasa menuntun kita semua. Semoga Mbah Moen husnul khotimah dan perjuangannya dilanjutkan oleh para putra dan santrinya.

Penulis: Ali Nahdhodin.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *