Mbah Moen dan Kisah Lucu Polisi Jepara.
Acara akad hari Ahad pagi di pendopo Jepara, tapi Syaikhina Mbah Maimoen menginginkan berangkat Sabtu sore . Ini tidak biasa karena biasanya selalu mepet dengan acara.
Ada dua kemungkinan, yang pertama karena Syaikhina Mbah Maimoen menginginkan istirahat, yang kedua karena hormat para alumni Jepara. Bukan rahasia Jepara adalah gudang santri Sarang, selain banyak sekali kiai yang muncul dari Jepara banyak juga pejabat Jepara adalah santri beliau.
Malam itu saya berkesempatan derekne (mengantarkan) karena supir abadi ~ Mas Rozak ~ berhalangan.
Sekitar jam 8-an sampai di hotel. Ternyata memang benar, Syaikhina Mbah Maimoen sangat capek dan beliau ngersakne istirahat.
Mumpung ada kesempatan, saya berusaha ikut ikut Kang Asrofi “ngeladeni” Syaikhina Mbah Maimoen, tapi beliau dawuh,
“Ura usah cung kowe istirahat ae sesok muleh isuk.” (gak usah nak, kamu istirahat saja, besok pulang pagi-pagi)
“Geh.”
Saya pindah dan jagongan dengan penderek yang lain. Saat itu yang derekne adalah Habib Salim bin Yahya bin Alwi bin Abdurrahman Assegaf, sosok habib yang rumahnya di Sarang dan sangat disayang Syaikhina Mbah Maimoen.
Ceritanya, dahulu beliau tidak begitu mengenal dirinya yang keseharianya pernah berjualan kerupuk juga pernah melaut. Suatu ketika beliau bermimpi kiai yang mengatasnamakan Zubair yang menjadi teman karib kakeknya yang menyuruh menemui Kiai Maimoen Zubair. Beliau mencari dan bertemu dengan Syaikhina Mbah Maimoen. Akhirnya sangat dimuliakan dan sekarang semua orang percaya kalau beliau adalah habaib.
Habib ini keras dan loyalnya dengan Syaikhina Mbah Maimoen luar biasa. Pernah suatu saat Bapak Presiden Susilo Bambang Yudoyono hendak sowan tanpa pemberitahuan (mendadak), anak dalem pasti kebingungan karena persiapan penghormatan belum siap. Akhirnya Habib Salim lah yang menyelamatkan.
Beliau menemui Bapak Presiden yang masih transit di peternakan yang posisinya 2 km dari rumah (ndalem) Syaikhina Mbah Maimoen.
“Asslamualaikum..”
Para ajudan presiden bengong, “ini siapa?
“Saya Habib Salim bin Yahya bin Alwi bin Abdurahman Assegaf.”
“Iya..” jawab ajudan Presiden.
“Karena Kiai Maimoen masih istirahat dan tidak ada yang berani menggangu, nanti bapak presiden tidak usah sowan silahkan berjalan pelan saja , santri akan menyambut.”
Saya ini kebetulan berada di perbatasan ambil uang dan saya lihat jubir president saat itu Bapak Andi Malarangeng bingunnya luar biasa.
Kembali pada Kisah di Jepara
Setelah ngobrol, saya keluar hotel dan gabung dengan para santri Jepara yang berjaga atau sekedar ngobrol di sebrang jalan depan hotel.
Mereka sengaja tidak masuk hotel sowan Syaikhina Mbah Maimoen karena tahu beliau sedang istirahat. Inilah adab santri walaupun kenal dan juga murid dari Syaikhina Mbah Maimoen tapi tidak memaksa bertemu Syaikhina Mbah Maimoen apalagi hanya masuk dan foto, tidak mungkin di lakukan. Bagi mereka dekat dengan Syaikhina Mbah Maimoen saja sudah kebahagiaan tersendiri.
Dan selang beberapa waktu saya ditimbali (dipanggil) Mbah Maimoen lewat Kang Asrofi.
“Jun, ditimbali Yai.” (Jun, dipangil Yai)
“Geh..” (iya..)
Masuk hotel dan langsung di kamar Syaikhina Mbah Maimoen.
“Geh, dalem..” (Geh, saya ..)
“Nak ndi kowe ?” (kamu dimana tadi)
“Teng jawi kaleh santri santri.” (di luar, sama para santri)
“Kene turu ae sesok muleh isuk , aku sesok ngaji ahadan.” (Sini tidur saja, besok balik pagi-pagi. Aku ada ngaji hari Ahad)
Hari Ahad adalah ngaji rutinan tafsir yang dihadiri dari berbagai kota, di antaranya Demak, Kudus, Pati, Tuban, Lamongan, Bojonegoro, Cepu, dan lainnya. Ribuan orang hadir untuk mengaji tafsir kepada beliau.
Dan pagi-pagi setelah sarapan ringan, Syaikhina Mbah Maimoen berangkat ke pendopo dengan jemputan Patwal Polisi.
Tapi nampak Syaikhina Mbah Maimoen capek sekali karena malam itu berkali-kali ke kamar mandi dan sulit untuk istirahat, walaupun tidak ada yang sowan kecuali tuan rumah Bapak Marzuki saja (biasanya memikirkan sesuatu yang besar).
Pagi setelah mengakadkan manten, Mas Hajar putra dari Bapak Bupati yang juga alumni Sarang. Selain Mas Hajar banyak keluarga yang juga mondok di Sarang, sebut saja Mas Muhlisin, dia juga supir Syaikhina Mbah Maimoen yang masih keponakan dari Pak Bupati.
“Cung, aku ngaji nak umah nutut ?” (Nak, aku kalau ngaji, nyampe rumah bisa cukup waktu?)
“Insya Allah..” jawab Kang Asrofi.
Kang asrofi mulai mencari cara bagaimana caranya nyampek Sarang jam 10.
Pikir saya, seandainya terulang kejadian Magelang-Sarang pasti gampang.
Akhirnya diputuskan oleh para alumni, bahwa Syaikhina Mbah Maimoen pulangnya di kawal Patwal.
“Niki mangke kundur di kawal patwal,” (ini nanti pulang dikawal Patwal), Kang Asrofi menjelaskan kepada Syaikhina Mbah Maimoen.
“..Hem..” jawab Syaikhina Mbah Maimoen.
“Gak ngerepoti….” (gak merepotkan?)
“Mboten… (tidak…)”
Habib Salim datang dengan gaya khasnya.
“Tenang Mbah, polisi siap.”
“Ngunu bib.. (gitu ya Bib…)”
“Iya, Mbah..”
“Ini mbah polisinya…” Habib Salim melanjutkan.
“Sampean pak yang ngantar ?”
” Geh Mbah…” jawab polisi.
“Kulo ngaos jam 10 , bisa nyampek Sarang?” (saya ngaji jam 10, apa bisa sampai Sarang?
“Geh saget… (iya, bias)..” jawab polisi.
Saya yang dari tadi mengamati di sebalah Syaikhina Mbah Maimoen, melihat polisi (batin saya: wah kayaknya polisinya bar bar juga ini,hehehe)
Dan setelah negoisasi, Syaikhina Mbah Maimoen masuk mobil dengan diiringi semua tamu termasuk para alumni yang hadir.
Mobil siap dan kami mulai berjalan dengan ditandai suara sirene Patwal. “wiu…wiuw..wiiiu…tot..toot..tot..” suara yang terlihat bangga sekali.
Dan dugaan saya benar, polisinya tidak jauh dari sifat saya ini walaupun kalah bar bar sedikit.
Keluar pendopo, langsung geber poll. Kami sontak kaget karena jalan berliku dan mobil kami berbeda. Kami menaiki mpv yang nota bene bukan mobil sport dan polisi itu menaiki sedan pasti goncanganya sangat berbeda.
Berkali-kali Syaikhina Mbah Maimoen tergoncang dan saya bingung sekali.
Habib Salim menegur,
“Jun, hati-hati….”
“Geh bib..” (batin saya, polisine beraaaat ini)
Syaikhina Mbah Maimoen ngersakne (menginginkan) istirahat dan mulai “mapan” di baris dua seperti biasa bantal sudah disiapkan Kang Asrofi.
“Cung aku tak leyeh leyeh…. (Nak, aku tak leyeh-leyeh santai)..”
“Iso?.. (bisa?)”
“Tenang Mbah, istirahat saja. Ini Junaidi saya yang ngawal.”
Saya bingung karena si polisi sangat bar bar memburu nyampek di Sarang jam 10 yang saat itu sekitar jam 8 lebih sedikit, yang biasanya ditempuh 4 jam-an karena kondisi jalan ramai dan mancetnya luar biasa.
Habib Salim meletakan kopyah/minyak wangi di dasboar mobil.
“Jun , jangan sampai jatuh..”
(Kalau jatuh pasti mobil ngerem dadak/ngegas mendadak)
Saya adem panas karena jalan sangat ramai. Mobil tidak bisa di geber lama, spedo meter nyampek 80 km harus turun di angka nol karena mancet.
Tapi terdengar strobo patwal keras sekali beberapa kali sampai menggunakan speaker.
“Minggir minggir…” (suara dari speaker patwal)
Batin saya, apa-apaan ini.
“Tat tot tat tot wiu wiu…..wiuw……, minta jalanya ini ada Kiai Maimoen mau lewat.” (Mbah Moen dan Kisah Lucu Polisi Jepara)
Suara itu terdengar di pendengaran Syaikhina Mbah Maimoen.
“Kae opo cung?.. (Itu apa, nak?)”
“Suara polisi patwal, Mbah..”
“kok ono-ono ae.. (kok ada-ada saja)..”
“kersane cepet, mbah… (biar cepet, Mbah)”
“ah.. yo ura ngunu.. (ah, ya gak begitu…)”
Dan mobil terus melaju dan sekitar 2 jam, kami nyampek di Sarang dengan penuh perjuangan.
Jam 10 lebih sedikit kami nyampek dan Syaikhina ngersakne (menginginkan) langsung ngaji tanpa masuk ndalem (rumah beliau).
Mobil masuk gang dan orang sudah mulai banyak berkumpul karena biasanya ngajinya jam 10.30, jadi belum pada bersiap.
“wes cung kene ae… (sudah nak, sini saja)..”
“geh, mlebet mawon… (Iya, mbah.. masuk saja dulu)..”
“ura kene ae, wes akeh uwong. Sakno!.. (gak, sini saja. Sudah banyak orang, kasihan..)”
“geh, tapi mobil terus berjalan mendekat ndalem..”
“stop..”
“Geh..”
“Polisine ndi ? Mengko polisine rumati di kei mangan.. (polisinya mana, nanti dirawat ya, dikasih makan)”
“Geh..” jawab Kang Asrofi.
Polisi mendekat Mbah Yai setelah dipanggil Habib Salim.
“Matur suwun geh pak…”
“Geh, mbah yai…” polisi itu sambil meraih tangan Yai dan bersalaman.
Dan Mbah Maimoen langsung masuk mushola dan ngaji.
“wah mantab, pak.”
“Saya semangat sekali..” jawab polisi patwal.
Batin saya, edaan ra weroh wong sepuh..”
“Monggo teng dalem riyen.. (silahkan, masuk ke rumah dulu..)..” Kang Asrofi memberikan penghormatan kepada polisi.
Anak-anak ndalem membantu Kang Asrofi mengambil barang Syaikhina Mbah Maimoen dari mobil dan mobil keluar untuk dicuci.
Demikian perjalan bersama Mbah Moen dan Kisah Lucu Polisi Jepara.
Penulis: Junaidi Ahmad, santri yang pernah jadi supir Mbah Maimoen.