Kisah berikut disarikan dari tulisan Gus M. Robert Azmi dari penuturan Kiai Mukhtar Luthfi dan KH. Imam Daroini (keduanya adik kandung Pendiri PP. Al-Fattah KH. Nahrawi ZAM) Nganjuk yang merupakan murid dari Mbah Mashduqi Lasem, mulai dari sisi ketawadhu’an, wira’i, tawakkal dan kesemangatan dalam mengajar.
Suatu ketika ada santri yang sowan Mbah Mashduqi. Karena saking hormatnya, santri tersebut ingin mencium tangan Mbah Mashduqi bolak-balik. Namun yang mengejutkan beliau langsung menampik, dan berkata, “Awakmu marai ndeder racun nang atiku! (Apakah engkau ingin menumbuhkan bibit racun di hatiku)?” Kemudian beliau melanjutkan, “Mashduqi kuwi sopo?” Akhirnya santri tersebut mengurungkan niatnya.
Sebuah hal lumrah bagi santri yang pulang ke rumah karena kangen dengan kampung halaman, dan merupakan kesunnahan untuk membawa oleh-oleh pada ulama. Namun tidak semua oleh-oleh diterima oleh Mbah Mashduqi. Beliau sering bertanya pada santri yang membawa oleh-oleh, “Iki jajan tekan ngendi (Oleh-oleh ini dari mana)?” Jika si santri menjawab dari orangtuanya, maka Mbah Mashduqi berucap “Alhamdulillah…”
Namun jika oleh-olehnya bukan dari rumah, Mbah Mashduqi akan berkata, “Haram! Awakmu disangoni Bapak-Ibumu dingge sangu mondok, ora dingge nukokke jajan aku (Haram! Kamu dikasih uang Ayah-Ibumu untuk uang saku mondok, bukan untuk membelikanku oleh-oleh).”
Waktu mengaji Mbah Mashduqi sering bercerita, “Aku kuwi anake bakul beras, budal mondok adol pitik, tak tukokne rokok, tak dol nang santri Tremas (Aku hanyalah anak pedagang beras, pergi mondok dengan menjual ayam, kemudian uangnya aku belikan rokok, dan kujual ke santri Tremas).”
Dalam kesempatan lain, waktu beliau ngaji, tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Spontan santri yang mengikuti ngaji semburat melarikan diri. Dengan tersenyum beliau berkata, “Santri, santri, koq wedi karo rohmate Pengeran.” Kemudian beliau dengan tidak tergesa-gesa meninggalkan tempat pengajian dengan berpayungkan sajadah beliau.
Pernah suatu ketika Kiai Mukhtar Luthfi mengikuti pengajian Tafsir Jalalain yang dikhatamkan hanya sebulan Ramadhan saja. Di tengah penat yang mendera dan kantuk yang sangat, banyak santri yang tertidur. Tiba-tiba Mbah Mashduqi menggebrak meja, “Bruaaakkk… Setane mlayu, setane mlayu,” diiringi tawa renyah beliau dan santri yang gelagapan bangun tidur.
Begitu pula sewaktu Mbah Mashduqi menyemangati para santri agar tidak cepat puas dengan ilmu yang didapatkannya, beliau dawuh, “Nahwu-shorofmu kuwi opo? Urung enek sak kuku irengku (Ilmu nahwu-sharafmu seberapa sih? Belum ada secuil kuku hitamku).”
Sebagai ulama yang ahli fiqih, nahwu, sharaf, tasawwuf dan banyak fan lainnya, sangatlah wajar apabila waktu mengaji Mbah Mashduqi mengoreksi kitab yang dibacanya. Syahdan, waktu itu beliau sedang membaca kitab Siraj ath-Thalibin karangan Syaikh Ihsan Jampes Kediri, yang sekarang menjadi salah satu mata pelajaran di Universitas Al-Azhar Kairo. Mbah Mashduqi sering berkata, “Iki keliru!” sambil langsung mencoret lafadz kitab tersebut dengan pena yang beliau bawa.
Kabar ini terdengar oleh Mbah Mat Jipang, salah seorang ulama Kediri yang sangat terkenal kecerdasannya sehingga masyarakat sekitar menjulukinya dengan Mbah Jipang, kepanjangan dari ngaji gampang. Mendengar itu, Mbah Jipang langsung berangkat ke Pondok Lasem dengan menyamar sebagai orang desa. Kemudian beliau bertamu ke Ndalem Mbah Mashduqi.
Setelah dipersilakan masuk, terjadilah adu argumen yang sangat tajam dan lama. Saking lamanya, debat antara Mbah Mashduqi dan Mbah Mat Jipang terjadi beberapa hari. Istirahat hanya saat waktu shalat dan waktu istirahat malam. Singkat cerita setelah debat usai, Mbah Mashduqi mengakui keilmuan Mbah Jipang dan membenarkan Siraj ath-Thalibin yang disalahkannya.
Pada kesempatan lain, Mbah Mashduqi berkata pada santri yang mengaji, “Aku kalah karo wong Kediri.” Latar belakang Mbah Mashduqi menyalahkan beberapa lafadz kitab tersebut adalah karena kehati-hatian beliau. Terbukti, selang beberapa waktu beliau berkata, “Syariat kuwi koyok dalan nang pinggir kali, nek minggir-minggir iso gampang kecemplung, sing aman nang tengah wae (Syariat itu ibarat jalan yang berada di pinggiran sungai, kalau terlalu ke pinggir akan mudah tergelincir, yang aman berjalan di tengah saja).”
Kewafatan Mbah Mashduqi
Hadhratus Syaikh KH. Mashduqi al-Lasimi termasuk runtutan pewaris Tanah Jawa setelah kurun asy-Syaikh KH. Asnawi Banten yang dikenal sebagai simbol Tombak Mangku Mulyo (Quthbul Jawi). Simbol tersebut merupakan warisan dari asy-Syaikh Subakir, orang pertama pembabat Tanah Jawa.
Mbah Mashduqi wafat pada tahun 1975 M, tepatnya tanggal 17 Jumadil Akhir tahun 1396 H. dan disemayamkan di Pondok Pesantren al-Ishlah Lasem. Sejak tahun itu Ponpes al-Ishlah diteruskan oleh puteranya, Syaikh KH. Hakim Mashduqie, yang dilahirkan sekitar tahun 1942 M. Di usia yang sangat muda, 12 tahun, Syaikh Hakim sudah mengajarkan kitab Jam’ al-Jawami’. Di usia 17 tahun beliau menyusun karya tulis dalam fan ilmu tauhid berbentuk sya’ir yang dinamai “Nadzam Ibn al-Lasimiy”. Kemudian kitab tersebut disyarahi pada usia 40 tahun dan diberi nama “adz-Dzakhair al-Mufidah” yang sudah tersebar di berbagai penjuru negeri seperti Bangladesh, Mekkah dan Yaman. Karya tulis lainnya berjudul “Ghayat al-Maram fi Ahadits al-Ahkam” yang berhubungan dengan hadits-hadits Rasulullah Saw.