Mbah Marzuqi Giriloyo dan Mangun Karno Masuk Islam

Kisah Detik-Detik Menjelang Kiai Marzuqi Giriloyo Wafat

Oleh: KH. Dr. Ahmad Bahiej, Wakil Sekretaris PWNU DIY dan Ketua Program Pascasarjana Fak. Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga

Syahdan, sekitar tahun 1930-an, Mbah Mangun, mendapati salah satu anaknya yang sakit. Tak ada dukun yang mampu mengobatinya. Tempat tinggalnya yang terpencil di Dusun Ngrancang, Bleberan, Playen, Gunungkidul Yogyakarta –15 km sebelah barat kota Wonosari Gunungkidul saat ini– tak dapat juga dijangkau oleh dokter. Apalagi saat itu masih zaman pra-kemerdekaan. Jalan berbatu, tengah hutan, dan terletak di pinggir Sungai Oya membuat dusun ini jauh dari peradaban.

Mangun Karno, begitulah nama lengkap orang itu. Beliau lahir di tengah-tengah keluarga yang kuat dengan tradisi kejawenannya. Apalagi, beliau konon keturunan dari serdadu-serdadu Majapahit yang melarikan diri dari Mojokerto ke daerah terpencil di Gunungkidul karena menghindari pengaruh Islam Demak. Ketidaksukaannya dengan Islam beberapa kali ditunjukkan dengan mengganggu para da’i yang masuk ke wilayahnya.

Kembali ke cerita awal: karena tak ada dukun yang mampu mengobati anaknya, Mangun Karno sesumbar “Barangsiapa mampu mengobati anakku, apapun keinginannya akan saya penuhi!!”. Kemudian datanglah dua orang santri utusan Mbah KH Marzuqi Romli dari Giriloyo, Imogiri. Dengan doa wirid dan ‘azimat dari gurunya, mereka mengobati anak Mangun Karno. Singkat cerita, sembuhlah anak Mangun Karno.

Mangun Karno kemudian bertanya kepada dua orang itu, “Hai Kisanak, sebenarnya siapa kalian? Apa yang kalian inginkan dengan sembuhnya anakku ini?”. Salah seorang dari mereka menjawab, “Kami adalah santri utusan KH Marzuqi Romli. Keinginan kami hanya satu: Den Mangun Karno masuk Islam dan anak keturunannya”.

Mbah Mangun Karno kaget bukan kepalang. Bagaimana bisa dia masuk Islam sementara selama ini dia membencinya? Karena telah menjadi janjinya, maka Mangun Karno, istri dan anak-anaknya masuk Islam. Namanya oleh Mbah KH Marzuqi diubah menjadi Abu Umar karena kegarangannya seperti Sahabat Nabi, Umar bin Khattab r.a. Anak-anaknya yang masih kecil pun juga mengikutinya, seperti Kadar Abudzarin (Ayahanda Drs. H. Affandi, M.Pd.I.), Paitinah, Suwarni, Suwardiyono, dan Ngatini. Mbah Mangun Karno pun mengajak ayahnya, Mbah Marto Joyo untuk masuk Islam. 40 hari sebelum wafat, Mbah Marto Joyo bersedia masuk Islam.

Mangun Karno alias Abu Umar adalah kakek buyut saya, sementara Marto Joyo adalah kakek canggah saya. Simbah Mangun Karno alias H. Abu Umar wafat 1984 (berumur 108 tahun) saat saya masih nyantri di Pondok Pesantren Sunan Pandanaran. Simbah KH Marzuqi Romli wafat 1991, saat saya nyantri di Pondok Pesantren Nurul Ummah, asuhan salah satu putra beliau, KH Asyhari Marzuqi.

Terimakasih Mbah Kyai Marzuqi… Njenengan kenalkan Islam ‘ala ahlissunnah wal jama’ah kepada simbah-simbah kami.
Lahu walahumul Fatihah… aamiiiin

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *