Fotografer kenamaan asal Inggris Peter Sanders ini beruntung. Setelah menjelajahi permenungan berbagai agama, dia masuk Islam pada 1970. Saya tidak menemukan Islam, melainkan Allah lah yang memilihkan (Islam) untuk saya, tuturnya.
Sebelum beriman, dia menekuni bisnis fotografi. Memotret para musisi dengan polah tingkahnya: The Doors, Jimi Hendrix, Rolling Stones, dst. Hasil bidikannya bagus. Memenuhi unsur estetika. Setelah berhaji pada 1971, dia tetap menekuni fotografi. Tidak lagi memburu obyek selebritas, tapi unsur keindahan Islam. Saat itu, melalui jepretannya, dunia Barat menengok estetika Islam.
Sejak setengah abad silam, pria bernama muslim Abdul Adzim ini mengunjungi berbagai negara, memotret bangunannya, manusianya, interaksi sosial-budayanya, dan seterusnya. Hasilnya menakjubkan. Dia seolah menjadi duta penampil keindahan dunia Islam.
Yang luar biasa, ketika berkunjung ke sebuah negara, dia sowan kepada para ulama. Dia sengaja memilih ulama yang punya reputasi kedalaman ilmu dan bobot ruhani di atas rata-rata, yang dia percayai sebagai wali (saint). Dia menyebut manusia ini “The Mountains”.
Dia sowan, bercengkerama, lantas memotret wajah beliau-beliau. Ada puluhan yang dia jumpai, dan hasil jepretannya dia tampilkan dalam buku “Meetings With Mountains”. Semoga ada yang mau membelikan buku ini untuk saya. Qiqiqiqi. Amiiiin.
Ketika berkunjung ke Mauritania bersama Syekh Hamzah Yusuf, pada 1995, dia diajak sowan ke seorang asketis bernama Syekh Murabbit al-Hajj. Sosok istimewa yang tinggal di gurun hingga Sanders menjulukinya “Mountain Hidden in The Desert”. Dia adalah wali yang tidak butuh popularitas, hanya berkhidmah pada umat melalui ilmu. Beliau wafat dalam usia 110 tahun.
Ketajaman mata hati beliau diulas oleh Mas Zia Ul Haq dalam tulisan ini, silahkan dibaca:
https://www.santrijagad.org/…/syaikh-murabit-guruku-yang-lu….
Pisowanan semacam ini yang istimewa. Dia memang fotografer tapi tidak mau berhenti di situ. Ketika mengunjungi “Sang Gunung” di berbagai negara, dia memposisikan dirinya sebagai seorang murid yang meminta nasihat keagamaan. Peters mendudukkan dirinya sebagai santri. Salik di hadapan mursyid.
Di Indonesia, dia mengunjungi lima “Gunung”. KH. Makhtum Hannan Cirebon, KH. Sahal Mahfudh Pati, KH. Anwar Mansur Kediri, dan KH. Maimoen Zubair. Satu lagi saya lupa. Jepretannya bagus. Di fesbuk ini saya tampilkan jepretan Sanders kepada Mbah Sahal, Mbah Moen dan Mbah War. Pancaran wajah-wajah “Para Gunung” yang mempesona. Auranya kuat. Kharismatik.
Ketika Mbah Moen wafat, Sanders mengunggah hasil jepretan terhadap wajah ulama kharismatik asal Rembang itu, di laman fesbuknya.
Foto Mbah Moen tersebut juga diletakkan Sanders pada halaman yang bersebelahan dengan foto KH. Sahal Mahfudz dalam “Meeting with Mountains”. Keduanya, sebagaimana saya tulis di atas, merupakan dua dari lima “gunung” asal Indonesia dalam buku tersebut.
Saya kira nasihat Mbah Moen kepada Sanders sangat relevan, apalagi melihat keadaan akhir-akhir ini. Berikut ini terjemahan bebasnya, sebagaimana saya kutip dari statusnya Gus Muhammad Rodlin Billah, Ketua PCI NU Jerman, Agustus 2019 silam.
—–
Orang Yang Melihat Jauh Ke dalam Jiwaku
Salah seorang ulama dari gugusan kepulauan Melayu, Kyai Maimun, berusia 85 tahun saat saya memotretnya. Pondok Pesantren Al-Anwarnya, yang memiliki sekitar tiga ribu santri, telah dikunjungi oleh banyak guru spiritual/masyayikh dari sekitar Hijaz dan Hadramaut, beberapa diantaranya ditampilkan dalam buku ini.
Kyai Maimun percaya akan penghormatan atas nilai-nilai kebijaksanaan yang diajarkan oleh semua agama, (yaitu) kebijaksanaan yang telah memberikan kemanusiaan sebuah makna serta kelekatan lintas zaman. Menurutnya, penurunan nilai-nilai spiritual pada masa-masa modern adalah sebuah kerugian besar dalam kehidupan manusia. Nilai-nilai seperti menyayangi dan melayani orang lain tergantikan dengan menyayangi diri sendiri dan kesejahteraan (pribadi), yang pada gilirannya menyebabkan meningkatnya kekerasan baik kepada ras manusia itu sendiri dan bumi kita.
“Satu dari beberapa tanda bila Hari Akhir sudah dekat,” ia menambahkan, “ialah pengajaran Kitab Suci yang Empat [teks-teks utama agama Abrahamik: Taurat, Injil, Zabur, dan Al-Qur’an] lambat laun diangkat dari kehidupan manusia.” Cara untuk mengatasinya, ia menjelaskan sambil menatap dalam-dalam kedua mataku untuk memastikan aku paham, ialah menenggelamkan diri dalam nilai-nilai kebijaksanaan yang diajarkan oleh agama-agama tersebut, juga mempraktekkan etika tanpa pamrih dan belas kasih sebagai buah dari ajaran-ajarannya.
****
Sanders, bagi saya, adalah manusia yang beruntung. Dia bisa menyalurkan hobinya, dapat duwit (tentu saja haha), dan dapat bertemu dengan manusia-manusia langit. Menatap wajahnya, mencium tangannya, sekaligus mendapatkan limpahan ilmu dan doa.
Sebagian kecil foto-foto karyanya bisa dilihat di web pribadinya, https://petersanders.com/
Penulis: Gus Rijal Mumazziq Z, rektor INAIFAS Jember.