Manhaj Azhary 1: Pendidikan Kader Ulama

Sejarah Al-Azhar Jadi Kiblat Keilmuan Islam

(Kado Ulang Tahun Masjid Jami’ Al-Azhar yang ke-1078)

Manhaj Azhary (selanjutnya disebut: MA) adalah sebuah konsep epistemologi yang dibentuk dalam proses pendidikan kader ulama. Dalam sejarahnya, didapatkan bahwa setiap yang pernah belajar di Al-Azhar mengklaim mempunyai MA ini; sehingga didapatkan beberapa versi MA.

Karena itu, paparan singkat ini akan mencoba memberikan perspektif yang sekiranya lebih memperkaya persepsi kita terhadap realitas yang sedang berlangsung, meskipun saat ini kurang populer; yaitu tentang MA sebagai sebuah model pendekatan dalam ranah studi Islam, baik secara ontologis dan maupun dalam manifestasi historisnya.

Sejauh ini banyak yang mengenal MA sebagai sebuah epistemologi yang mempunyai ciri-ciri berikut: (1) Mempunyai tiga dimensi ilmu dan amal (Akidah Asy’ary – Maturidy, Fikih 4 Madzhab dan bertasawwuf); (2) Mempunyai sanad keilmuan yang bersambung melalui perantaraan para ulama besar yang mumpuni sampai kepada Rasulullah; (3) Membagi ilmu ke dalam dua bagian besar yang harus dikuasai (Ilmu Alat dan Ilmu Maqashid). Versi yang cukup kondang ini tentu saja tidak salah, hanya saja perlu dipaparkan lebih jauh bagaimana prakteknya.

Di sisi lain, Grand Syaikh Al-Azhar sendiri menyebutkan bahwa MA mempunyai tiga ciri utamai: Al-Wasathiyah (moderatisme), holistik dan komprehensif (kesatuan dan kepaduan ilmu), serta membiasakan diri menerima perbedaan.

Secara historis, MA adalah adalah epistema tradisional yang dibangun sejak Imam Burhanuddin Al-Laqqani Al-Maliki (penganggit Nazham Jawharah al-Tauhid) dan para ulama segenerasinya mendidik murid-muridnya dengan dalam upaya revitalisasi madzhab Sunni pasca kejatuhan Dinasti Fathimiyah di tangan Shalahuddin al-Ayyubi, hingga kemudian salah seorang di antara mereka, yaitu Imam Al-Khurasyi, menjadi Grand Syaikh Al-Azhar yang pertama (dari kalangan Sunni) pada tahun 1090 H / 1679 M.

Kalau ditelisik lebih jauh, Imam Burhanuddin Al-Laqqani adalah penerus garis tradisionalisme Islam Sunni yang tetap bertahan di Mesir meskipun ada di bawah kungkungan Dinasti Fathimiyah. Karena beliau adalah murid langsung dari Grand Syaikh Salim As-Sanhury, dari Grand Syaikh Najmuddin Al-Gheithy yang merupakan murid langsung daripada Maha Guru Syaikhul Islam Zakariya Al-Anshari (w. 823 H).

Dari sini bisa dibayangkan bahwasanya garis Tradisionalisme Islam yang menjadi sokoguru MA adalah garis yang ditokohi oleh nama-nama besar para ulama yang bersambung sanad keilmuannya sampai kepada para imam pendiri madzhab, seperti Imam Ibnu Daqieq al-`Ied (w. 702), Imam Ibnu Athaillah As-Sakandari (w. 709 H), Imam Taqiyuddin As-Subki (w. 756 H) dan putra beliau Imam Tajuddin As-Subki (w. 771 H), , Imam Ibnu Hajar Al-`Asqalani (w. 852 H), Imam Jalaluddin As-Suyuthi (w. 911 H), dan seterusnya hingga sampai ke Imam Abdullah Asy-Syarqawi (w. 1227 H), Syaikh Muhammad Al-Amier Al-Kabir (w. 1232 H) dan putra beliau Syaikh Muhammad Al-Amier Ash-Shagier, Imam Ibrahim Al-Baijuri (w. 1276 H), Syaikh `Ulais Al-Maliki (w. 1299 H), Imam Abdur Rahman Asy-Syirbini (w. 1326 H), Imam Salim Al-Bisyri (w. 1335 H), serta Syaikh Yusuf Al-Dijwi (w. 1365 H) di masa-masa awal abad ke-20. Ini sekedar untuk menyebutkan beberapa nama semata.

Penulis: Muhammad Aunul Abied Shah, Mustasyar PCI NU Mesir dan murid langsung Grand Syekh Al-Azhar Ahmad Muhammad Ahmad Al-Thayyeb.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *