Makna Tasawuf Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani.
Oleh Edi AH Iyubenu, wakil ketua LTN PWNU DIY.
Ada dua hal yang dinisbatkan oleh Syekh Abdul Qadir al-Jailani qaddasahulLah kepada istilah tasawuf.
Pertama, diambil dari istilah bahasa Arab, yakni shaf yang berarti bersih dan suci. Sebutan sufi diberikan kepada orang yang hati dan jiwanya suci bersih dan disinari oleh ilmu hikmah, tauhid, dan kemakrifatan.
Kedua, diambl dari istilah bahasa Arab, yakni shuf, yang artinya bulu domba atau wol. Ini lazim kita dengar dinisbatkan kepada sekelompok sahabat Rasul Saw yang menjauh dari hiruk-pikuk dunia dan perpolitikan yang meriung waktu itu dengan memilih ‘uzlah dan khusyuk taqarrub ilalLah.
Mereka melakoni hidup zuhud dan wara’, dikenal dengan sebutan ahlus shuffah, mengenakan pakaian dari wol yang makin lama makin penuh tambalan. Mereka juga disebut ahli hikmah, para bijak bestari, yang memancar dari sifat mereka yang lemah lembut, santun, berakhlak karimah. Mereka benar-benar menampilkan wajah yang bertolak belakang dengan glamornya hidup yang bergumul dengan kemilau dunia dan percaturan perpolitikan masa itu.
Syekh Abdul Qadir al-Jailani memberikan uraian lebih jauh tentang makna Tasawuf. Beliau mengatakan bahwa Tasawuf terdiri dari huruf “ta, shad, wau, dan fa”.
Pertama, Ta berarti taubat.
Ini memperlihatkan bahwa orang yang hendak bertaqarrub kepada Allah Swt hendaknya mengawali langkahnya dengan pertaubatan. Taubatan nashuhah, taubat yang mengantar diri kepada rasa sesal, takut, dan sekaligus taat kepada Allah Swt.
Sesal atas dosanya di masa lalu, yang dengan sesal ini menjadikannya tak tergiur untuk kembali melakukan dosa tersebut. Sesal yang dirasakan cukuplah dihentikan pada derajat begitu –tidak berkepanjangan dan berkelanjutan.
Kemudian takut kepada azab Allah Swt serta tidak diangkat oleh Allah Swt dari derajat hina (asfalas safilin) akibat kelalaian dan dosanya di masa lalu. Ini sekaligus membuhulkan harap, raja’, agar Allah Swt mengentaskan derajatnya ke maqam yang lebih tinggi dan bersih (ahsanu taqwin).
Buah berikutnya ialah ketaatan kepada perintah-perintah Allah Swt atau syariatNya, lengkap dengan peremenungan atas hikmah-hikmahnya hingga bertahta di kedalaman hati.
Laku taubat ini hendaknya selalu dijadikan perhiasan diri sepanjang waktu dan umur. Sebab pada derajat berikutnya pertaubatan ini bukan lagi hanya kepada dosa-dosa yang dzahir, melainkan pula yang batiniah, seperti bajakan hawa nafsu yang bisa menjadi hijab bagi rohani diri kepada Allah Swt.
Kedua, shad, yakni shaf, artinya damai dan sentosa. Ini berwujud dua jalan: menuju pembersihan hati dan menuju pusat Rahasia Ilahi Swt.
Pembersihan hati bisa dijalankan dengan memperbanyak dzikir. Ini dimaksudkan untuk menjalin “tali hubungan” dengan Allah Swt. Mulanya ia dilakukan dengan dzikir bersama-sama, suara keras, demi mencapai kebiasaan dan kekhusyukan. Ini lazim dilakukan dalam bentuk mujahadah atau istighasahkita.
Jika telah terbiasa dengan iklim dzikir itu, dan makna serta hikmah dzikir mulai dirasakan di dalam hati, maka dzikir dengan sirr menjadi lebih utama untuk diamalkan siang dan malam.
Proses pembersihan diri dengan dzikir ini dengan sendirinya merupakan perjalanan rohani menuju Rahasia Allah Swt. Hal yang mesti dipahami dengan jernih di sini ialah tatkala posisi lisan yang lekat dengan dzikrulLah telah mulai memasuki kondisi batin yang membuang selain Allah Swt dalam segala hal.
Jadi, dzikirnya bukan lagi hanya apa yang dilisankan, melainkan semua denyut jantung, pikiran, perjalanan, dan kegiatan serta kehendak, telah disambungkan semata kepada Kemahaan Allah Swt.
Boleh jadi, dalam perjalanan ini, ada keadaan terseok-seok atau terbelok-terbelokkan. Atau, dalam istilah beliau qaddasahulLahyang lian, tergelincir-tergelincir. Nah, di titik naik-turun begini, yang terpenting ialah teruslah mengembalikannya lagi kepada Wajah Allah ‘Azza wa Jalla. Ketergelinciran pun akhirnya bisa dipahami dengan tulus sebagai iradahNya demi menghadirkan ilham-ilham baru barunya. Dan begitu seterusnya: dihancurkan dan dibentuk kembali, dihancurkan dan dibentuk kembali.
Ketiga, wau, yakni wilayah, artinya kewalian. Yakni suatu keadaan kudus dan hening pada jiwa kekasih Allah Swt.
Ia mungkin saja berada di antara keramaian dan kesibukan duniawi, sebagaimana orang-orang pada umumnya. Namun, hati kekasih Allah Swt yang telah mencapai derajat ini bagai tersapih dari kemilau duniawi plus hawa nafsu dirinya.
Kita bisa membayangkan derajat ini dengan menukil ayat 13 dari surat al-Ahqaf ini: “Sesungguhnya orang-orang yang berkata Tuhanku adalah Allah Swt dan kemudian istiqamah dengan ungkapan tersebut (ikrar), maka tiada rasa takut dan sedih lagi kepada mereka.”
Begitupun dalam surat Yunus ayat 62-64: “Ingatlah, sesungguhnya para wali Allah Swt (hamba-hambaNya) tiada rasa takut dan sedih di hati mereka. Yakni orang-orang yang telah beriman dan selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira dalam kehidupan mereka di dunia dan akhirat….”
Bayangkanlah: orang yang tatkala menghadapi suatu hal yang kurang menyenangkan tetapi tiada terpancar rasa sedih, takut, tersinggung, marah, kecewa, dan sejenisnya (semua geliat hawa nafsu) darinya dikarenakan keyakinananya yang telah benar-benar haq bahwa semua kejadian adalah kehendak dan kerunia Allah Swt, itulah orang yang hatinya selalu hening, tenang, dan kudus.
Keempat, fa, yakni fana, artinya lebur.
Derajat fana ini oleh beliau qaddasahulLah digambarkan dalam tiga arah: leburnya diri dari segala memandang manusia dan penilaiannya; leburnya diri dari memandang segala keinginan diri dan hawa nsfunya; dan leburnya kehendak dan tindakan diri dalam kehendak dan tindakan Allah Swt.
Jadi, orang yang fana adalah orang yang senantiasa memandang segala sesuatu dengan mata basyirah, mata batinnya, sehingga ia senantiasa mampu menemukan tajalli Allah Swt dalam segala hal dan kejadian, lalu Kemahaan Allah Swt tersingkapkan kepadanya (kasyaf) dengan terang, sehingga finalnya ia pun hanya menyaksikan Allah Swt (musyahadah).
Ini adalah derajat rohani yang dikaruniakan oleh Allah Swt kepada hambaNya yang dikehendakiNya. Boleh jadi, jalannya ialah melalui taubat, shafa, dan wilayah tadi.
Pada prinsipnya, tidak ada seorang pun yang mencapai derajat fana ini dengan tanpa menjadi pelaku syariat Allah Swt yang luar biasa secara lahiriah dan menyelami hikmah-hikmahnya dengan kedalaman batin yang luar biasa, sehingga Rasa Keilahian itu lalu bertahta di dalam hatinya.
Kita bisa membayangkan, bila ada orang yang bahkan kehendak dan tindakannya benar-benar selutus hati bernisbat hanya kepada Kehendak dan TindakanNya Swt, apa lagi gerangan yang tersisa darinya kecuali Wajah Allah ‘Azza wa Jalla? Apa lagi gerangan kepantasan baginya untuk merasa sedih dan takut dalam menjalani hidup ini?
Wallahu a’lam bish shawab.
Jogja, 12 Agustus 2019
_______________
Semoga artikel Makna Tasawuf Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani ini memberikan manfaat untuk kita semua, amiin..
simak artikel terkait Makna Tasawuf Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani di sini
simak video terkait Makna Tasawuf Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani di sini