Makna Ruhani Mudik Kampung Halaman.
Prof KH Muhammad Machasin, Mustasyar PBNU
Sewaktu kecil dulu, menjelang lebaran di kampungku tidak terdengar kata “mudik”, yang terdengar adalah “balèn”. Kata ini berasal dari kata “bali” (pulang) dan memberikan pengertian kedatangan warga yang telah lama meninggalkan kampung halaman. Bisa jadi perginya sudah sepuluh atau lima belas tahun bahkan lebih lama lagi. Banyak di antara mereka yang pulang ini belum pernah kukenal kecuali dalam cerita ibuku bahwa si Anu pergi merantau ke nJambé (Jambi), Plémbang, Lampung, Riau atau “Cuma” Jakarta.
Kini sudah jarang terdengar kata “balèn”, kalah oleh kata “mudik”. Ini karena ceritanya tidak lagi berpusat di desa, namun di kota. Mudik adalah cerita orang kota yang mencari kehangatan tempat kelahiran, sedangkan “balèn” adalah cerita orang tua yang menunggu anaknya pulang atau saudara kecil yang menunggu saudara tuanya pulang, setelah bertahun-tahun merantau. Dalam mudik, berita yang banyak adalah tentang perjuangan mendapatkan tiket keretapi atau bis, kemacetan atau kelancaran perjalanan dan seterusnya. Fokusnya pada “perjalanan pulang” perantau.
Dalam “balèn”, yang terdengar adalah kegembiraan yang menggelegak karena melihat anak pulang; mungkin dengan oleh-oleh barang atau cerita keberhasilan, atau cerita tentang indahnya hidup di rantau yang mampu menutupi kemiskinan di kampung.
Pemudik, di kampung hanya duduk sebentar, terus melancong ke sana kemari; mencari suasana lain dari kota yang semakin tidak bersahabat. Pelaku “balèn” lebih banyak dikerumuni anak-anak, handai tolan, orang tua yang ingin mendengarkan cerita. Balèn selalu dirindukan dengan ceritanya yang menggembirakan warga kampung. Pemudik tidak lagi punya waktu untuk berbagi ceritera, karena lebih banyak untuk diri sendiri yang haus akan suasana lain dari kebisingan kota besar.
Entahlah.
Selamat berhari raya Fitri. Mohon maaf lahir dan batin.