Senin (10/02/2020), jasad KH. Habibullah Zaini meninggalkan santri-santrinya. Dalam genangan duka, hanya doa yang mampu dihaturkan untuk beliau, “semoga segala kesalahan beliau dihapus oleh-Nya, ditempatkan bersama para kekasih-Nya, dan kami selalu dalam cipratan barokah beliau hingga menyusul ke alam sana”.
Waktu di pondok dulu, ketika berkesempatan membaca buku biografi tiga tokoh Lirboyo -KH. Abdul Karim, KH. Marzuqi Dahlan, dan KH. Mahrus Ali- hari Senin adalah hari spesial bagi KH. Abdul Karim. Ada dua permohonan yang selalu disampaikan oleh KH. Abdul Karim setiap berdoa. Keduanya adalah bisa meninggal di kota Makkah dan meninggal pada hari Senin.
Meskipun usia beliau sudah lanjut dan sakit-sakitan, KH. Abdul Karim memaksakan diri untuk berangkat haji. Bukan tanpa alasan, sebab dalam kondisi tersebut dirasa sudah mendekati usia terakhirnya. Sehingga, ketika berangkat haji diharapkan permohonan beliau dipenuhi oleh Sang Khaliq.
Allah memiliki pilihan lain. KH. Abdul Karim pulang dari ibadah haji dalam keadaan seperti sedia kala. Namun, KH. Abdul Karim tetap teguh untuk menyampaikan dua permohonannya setiap selesai sholat. Singkat cerita, permohonan supaya meninggal di hari Senin -sebagaimana hari meninggalnya Nabi Muhammad- dikabulkan oleh Allah. Iya, pada hari Senin, 21 Ramadhan 1374 H., KH. Abdul Karim meninggal dunia.
Kalau tidak salah ingat, saya pernah mendengar salah satu masyayikh Lirboyo menyebutkan bahwa yang mirip dengan KH. Abdul Karim adalah KH. Habibullah Zaini. Mbah Habib, panggilan sehari-hari para santri kepada KH. Habibullah Zaini, adalah sosok guru, orang tua, mirabbi ruh yang terkenal ‘alim dan dawadlu’. Beliau lebih sering membacakan kitab-kitab besar ketika ngaji, terlebih ketika ngaji bulan puasa (istilahnya pasanan).
Kemiripan mbah Habib dengan mbah Karim -panggilan para santri kepada KH. Abdul Karim- juga tercermin dalam ketekunan mengaji, dalam hal mengaji saya rasa hampir semua masyayikh Lirboyo meniru kepada mbah Karim. Biasanya, mbah Habib mengaji dari pagi sampai duhur. Setelah sholat duhur dilanjutkan sampai ashar dan dilanjutkan kembali habis isya sampai tengah malam. Sementara mbah Karim, tidak pernah lepas dari kitab bahkan tidak berkenan untuk tidur kecuali ketiduran. Saya teringat dengan semangat belajar Ibnu Rusyd, semasa hidupnya tidak memegang buku hanya dua kali.
Kemiripan selanjutnya adalah hari meninggalnya mbah Karim dan mbah Habib, yakni hari Senin. Dalam kemiripan yang terakhir ini, hanya lantunan do’a selanjutnya yang akan saya tulis. “Semoga beliau dikumpulkan bersama kakek dan kekasih sejatinya, kanjeng Nabi Muhammad Saw. Kami semua diakui sebagai santri-santri beliau dunia-akhirat. Dalam mengarungi hidup yang penuh gonjang ganjing ini, semoga kami selalu dalam jalan ajaran para masyayikh”. Amiiiin
Saya bersaksi, KH. Abdul Karim dan KH. Habibullah Zaini adalah min ahlil khair.
الى روح شيخنا عبد الكريم والشيخ حبيب الله زيني الحاج، الفاتحة
Ciputat, 11/02/2020
Penulis: A. Ade Pradiansyah, alumnis Pesantren Lirboyo Kediri.