Makna Dzikir Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani.
Oleh: Edi AH Iyubenu, Wakil Ketua LTN PWNU DIY
Apakah kita acap mengalami rasa resah, gundah, galau, bimbang, cemas, kalut, dan stres depresi dalam hidup ini? Entah itu tatkala sedang kekurangan harta maupun sedang berkelimpahan.
Apa gerangan penyebab sebenanrnya?
Dalam kitab Sirr al-Asrar Fima Yahtah Ilaihi al-Abrar, Syekh Abdul Qadir al-Jailani qaddasahullah menerangkan bahwa beban-beban duniawi laksana gravitasi bumi, menarik hati ke bawah dan mematikan tindakan untuk membebaskan hati. Masalah-masalah duniawi itu lalu mengikat dan mengekang hati, entah itu pada perkara hawa nafsu, harta benda yang kita miliki atau dambakan, dan bahkan termasuk kecintaan yang berlebihan kepada keluarga. Semua itu menjadikan hati berdebum ke bumi; menghalanginya terbang ke langit.
Semakin dalam debumannya ke jurang bumi, semakin rapuhlah diri hingga gampang sekali untuk pecah berkeping-keping. Begitupun sebaliknya.
Itulah sebabnya kita kerap menyaksikan atau merasakan sendiri betapa segala kemewahan material yang bertahun silam begitu kita yakini, dambakan, dan angankan sebagai sumber kebahagiaan diri bila telah tergenggam ternyata tak benar-mendapatkannya tatkala telah berhasil memilikinya. Di antara kemewahan, kita malah semakin dalam menderita….
Maka, jika ingin terbebas dari rasa susah dan perasaan sedih yag memicu pelbagai kondisi tidak membahagiakan itu mestilah hati dibebaskan dan dilepaskan dari ikatan-ikatan kebumian atau keduniawian dan kebendawian tersebut. Hati mestilah lalu diterbangkan ke Langit….
Caranya?
Beliau qaddasahuLlah menyatakan dzikir kepada Allah Swt (dzikruLlah) sebagai cara memerdekakan dan membersihkan hati.
Aktivitas dzikir ini mestilah terus dilakukan, dibiasakan, ditingkatkan, dan terus demikian hingga menjadi penanda bagi setiap gerak dan gerik diri ini. Semakin intens dzikir ini meliputi diri kita, dalam jaga, baring, dan bahkan lelap, maka akan semakin terbersihkanlah hati kita, terlepaskan dari belenggu tarikan-tarikan gravitasi duniawi itu. Pada saat demikian, hati akan mengepak terbang ke Langit. Kesedihan dan kesusahan pun akan luruh dengan sendirinya seiring makin jauhnya kepakannya ke Langit ‘Azza wa Jalla.
Pada tingkat permulaan, lanjut beliau qaddasahuLlah, dzikir dapat dibacakan secara dzahir, terang, keras, dan bahkan berjamaah. Bentuk dzikiran begini sahih dan bahkan diperlukan betul oleh kalangan awam pemula. Ia musykil untuk dilewati begitu saja dengan semata mengidealkan dzikir yang sirr.
Kiranya kita lalu mengerti di sini mengapa penting pula bagi kita untuk berkumpul dengan pelbagai komunitas dzikir yang mengajarkan berbagai amalan dzikir yang dijalankan secara berjamaah dan bersuara keras. Ia tak lain untuk melatih diri menuju pembiasaan dzikir yang lebih personal dan mendalam.
Minimal, dzikir di derajat ini ialah dzikir yang bisa didengar dengan baik dan terang oleh diri sendiri.
Terus saja lakukan begitu hingga akhirnya dzikir menyerap ke dalam hati. Setelah yakin makna dan nilai dzikir itu mencahayai hati, bolehlah ia dilantunkan dengan sirr di dalam hati, dalam suasana hening dan sunyi tanpa suara.
simak artikel terkait Makna Dzikir Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani di sini
Lisan tak bersuara, hatilah yang bersuara. Keadaan sunyi, hening, dan wening tersebut membuka ruah bagi ketersambungan batiniah yang lebih intim kepada tajalli Allah Swt.
Boleh jadi, dalam situasi batin yang hening nan khusyuk dalam dzikrulLah begitu, yang sekaligus menandai permukaan hati telah terkikis dari kotoran-kotoran duniawi yang selama ini menariknya ke bumi, Allah Swt mengaruniakan ilham-ilham seiring dengan telah siapnya hati untuk menjadi pintu bagi masuknya cahaya.
Kondisi rohani yang sunyi ini –dan inilah di antara penjelas terhadap maksud beliau qaddasahuLlah sebagai “fananya hati dalam posisi dan keadaan mana dan apa saja, termasuk ketika sedang berada di keramaian yang hakikatnya dikehendaki Allah Swt kepadanya”—dapat dirasakan melalui tamsil perbedaan antara ahli ilmu yang masih berjibaku dengan tarikan gravitasi bumi dengan yang telah terbebaskan.
Yakni, ketika orang yang berilmu selalu sibuk dengan urusan menggali dan menimbang ilmu dengan akal dan pikirannya semata dan orang ahli ilmu yang telah mengenal hakikat terus sibuk dengan membersihkan dan mengilaukan hati melalui dzikir dan hal-hal yang bisa mendekatkan diri kepadaNya.
Mari cermati: bila bertambahnya ilmu menjadikan kita makin getol berdebat kusir dan menjatuhkan orang lain, sembari meninggikan diri sendiri sebagai si pintar, si hebat, dan si bernas, itu tanda nyata bagi terseretnya hati ke dalam kekelaman gravitasi bumi wadag itu. Dan begitu pula sebaliknya.
Ilmu karenanya, kerap dituturkan, tak mampu membawa kita kepada Kebenaran (Al-Haq) bila keadaan rohaninya tenggelam dalam kekelaman gravitasi duniawi tersebut. Maka ia mesti dibersihkan, dilepaskan dari belenggu gravitasi duniawi tersebut –atau dalam pelbagai ungkapan kadang diistilahkan sebagai “ilmu tersebut mesti dbuang”.
Syekh Abdul Qadir al-Jailani qaddasahuLlah menukil surat al-Anfal ayat 2 ini: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebutkan (nama) Alah Swt, gemetarlah hati mereka dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya, bertambahlah iman mereka, dan kepada Tuhannya lah mereka bertawakal.”
Beliau menjelaskan bahwa gemetar hati sang mukmin mengisyaratkan suasana rohani antara takut dan cinta kepadaNya. Inilah fase yang dapat kita rasakan dan seyogianya kita perjuangkan.
Derajat rendah hati yang gemetar ini merupakan buah dari dzikir kepada Allah Swt itu, yakni takut kepada azabNya, balakNya, dan segala bentuk hukumanNya, di dunia dan akhirat. Ini lazim beriring dengan rasa cinta kepada nikmat-nikmatNya di dunia dan akhirat pula.
Derajat rohani ini memang tergolong awalan, namun tetaplah mesti disyukuri sebagai suatu kemajuan bagi proses penjernihan rohani yang jalannya sangat panjang. Jangan lalu meninggalkan perjalanan ini dengan prasangka ia adalah kerendahan semata.
Teruskanlah, teruslah melaju dengan sabar dan istiqamah kepada derajat yang lebih tinggi, yakni tatkala takut dan cinta kepadaNya di dalam hati semakin bertambah dan bertambah seiring makin intens dan karibnya hati dengan asma-asmaNya. Ia akan membuahkan makin luruhnya keterikatan takut dan cinta kepada perkara-perkara kebendawian.
Mari catat tebal hal tersebut: “makin luruhnya keterikatan takut dan cinta kepada perkara-perkara keindahan kebendawian”.
Ia lalu berganti dengan perlahan menjadi rasa takut Allah Swt takkan mengangkat derajat rohaninya dari kekelaman atau derajat rendah tadi dan sekaligus cinta dengan segenap harap kepada semata karuniaNya untuk mengangkat derajat rohaninya semakin tinggi dan tinggi.
Kebendawian dan keduniawian sudah bukan lagi menjadi poin rohani takut dan cinta serta harapnya.
Akhirnya, dengan karunai Allah Swt, insya Allah ia akan bermuara kepada watak Hamba yang murni di hadapan Allah Swt sebagai Tuan Sejatinya, yakni semata ketawakalan dan keikhlasan atas segala kehendak dan ketetapanNya. Segala iradahNya diterimanya dengan hat lapang dan bersinar belaka. Maka, pada situasi rohani demikian, rasa takut dan sedih serta cemas takkan lagi melukasi rasa dan perasaannya.
Ala inna auliya-aLlahi la khaufun ‘alaihim wala hum yahzanun, ketahuilah sesungguhnya para wali (hamba) Allah Swt tiada rasa takut dan sedih pada diri mereka, begitu tutur surat Yunus.
Ini semua, sekali lagi, mesti diawali dengan dzikruLlah, beserta segala bentuk kepatuhan peribadatan kepadaNya. Bukan hanya yang bersifat wajib, tetapi juga sunnah. Lalu terus ditingkatkan, dimajukan, dan didalamkan, dengan istiqamah.
Awalan proses rohani ini adalah keniscayaan. Musykil diabaikan atau dilompati begitu saja. Termasuk musykil dilipat begitu saja oleh luasnya dan dalamnya ilmu kerohanian sekalipun.
Perlu betul bagi kita untuk menciptakan pelatihan pembiasaan yang intens dan mendalam hingga menjadi kegiatan diri yang telah mengikat dengan sangat ketat. Menjadi suatu habitat diri.
Pembiasaan pelatihan itu bila diitiqamahi dengan bertambah dalamnya penyelaman-penyelaman batiniah akan beranjak pelan demi pelan menjadi kekaguman kepada kemahakuasaanNya. Taskut dan cinta tadi telah terbingkai oleh kagum atas segala kemahaanNya.
Inilah proses penerbangan hati kepada Wajah Langit ‘Azza wa Jalla, sebagaimana dimaksud di bagian awal kajian ini.
Semoga Allah Swt mengaruniakan hidayah, taufik, dan inayahNya kepada kita semua untuk memulai semua proses tersebut, mengistiqamahinya, dan terus mengarunginya dengan hati yang semakin tunduk dan runduk hanya kepadaNya. Amin.
Wallahu a’lam bish shawab.
Jogja, 23 Agustus 2019
______________________
Semoga artikel Makna Dzikir Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani ini memberikan manfaat dan barokah untuk kita semua, amiin..
simak artikel terkait Makna Dzikir Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani di sini
simak video terkait di sini