Kisah Warga Madura Menyaksikan Karomah Abah Guru Sekumpul

Rahasia Berwudlu dan Bekas Air Wudlu Menurut Guru Sekumpul

Kisah Warga Madura Menyaksikan Karomah Abah Guru Sekumpul.

Abah Guru Sekumpul dikenal masyarakat luas sebagai ulama’ yang ramah dan penuh kasih sayang. Setiap tamu yang datang dilayani dengan tanpa membedakan. Mereka datang dari berbagai penjuru Nusantara, bukan hanya warga Kalimantan saja. Nama Abah Guru Sekumpul melekat kuat di hati masyarakat, termasuk warga Madura.

Saat itu, jama’ah warga Madura merencanakan datang kepada Abah Guru Sekumpul. Dengan berjama’ah, mereka akhirnya datang di Sekumpul.

“Assalamu’alaikum Warahmatullah Wabarokatuh…,” kata pimpinan warga Madura itu.

“Wa’alaikumsalam Warahmatullah Wabarokatuh…,” jawab Abah Guru Sekumpul.

“Begini Abah Guru Zaini, kami ini dari Madura. Ingin sowan ke sini,” kata pimpinan warga Madura.

“Iya, alhamdulillah. Mari duduk di sini…”

Setelah itu, Abah Guru Sekumpul kemudian menyebut profesi dan pekerjaan warga Madura ini satu per satu, lengkap. Abah Guru Sekumpul dengan santai dan setengah guyon menyebut mereka dengan teduh dan menyejukkan sekali.

Saat itu juga, sebelum mereka menjelaskan maksud kedatangannya, sudah larut dalam kekaguman atas karomah yang sudah mereka saksikan. Di depan mereka, Abah Guru Sekumpul menjadi sosok ulama’ yang betul-betul maujud dengan penuh mukasyafah.

“Ini Abah Guru Sekumpul kok bisa ya menyebut satu per satu pekerjaan kami…” batin salah satu warga Madura.

Para warga Madura ini benar-benar menyaksikan sosok Abah Guru Sekumpul yang penuh kasih sayang dan penuh karomah. Mereka mendapatkan siraman ruhani yang sangat yang mendalam, yang selama ini ingin mereka dapatkan. (Abu Umar)

_______________
Semoga artikel Kisah Warga Madura Menyaksikan Karomah Abah Guru Sekumpul ini bisa memberikan manfaat dan barokah untuk kita semua, amiin..

simak juga artikel terkait di sini

simak video terkait di sini

Bonus artikel tambahan

Gus Dur dan Kecerdasan Tukang Becak Asal Madura

Malam makin larut. Satu-satu tamu di rumah saya di Clayton, Melbourne, pulang. Tinggal, mungkin, 5 orang tamu yang setia. Kiai Abdurrahman Wahid yang bersila di atas karpet, menyenderkan punggungnya di kursi panjang. Kursi yang dilengkapi tempat khusus meletakkan telpon itu saya beli di toko barang-barang second hand di Dandenong. Saya ingat, Ketut Mardjana (kelak pernah menjadi Dirut PT Pos) yang mengantarkan saya ke sana.

Tapi, kendati jumlah menipis, cerita-cerita kecil tetap berlanjut. Kali ini, Kiai Abdurrahman Wahid berkata:

Tahun 1950-an di Surabaya masih ada trem. Sebuah kenderaan umum mirip kereta, tapi lebih pendek, yang digerakkan listrik. Suatu ketika, trem tersebut melaju kencang di atas relnya. Tiba-tiba, sebuah becak yang dikayuh seorang Madura berhenti di lintasan rel itu. Jarak trem-becak hanya tinggal 15 meter.

Dengan gugup dan susah-payah, masinis menekan rem sehabis-habisnya. Dan trem berhasil terhenti hanya beberapa inci dari becak. Terengah-engah, marah dan penuh emosi, sang masinis melotot dan berteriak kepada tukang becak itu:

“Hai…! Kamu kok diri di situ?!”

“Tidak bisa mundur?”

Dengan tenang, tukang becak itu menjawab:

“Saya bisa. Sampean enggak.”

Demikian Cerita Gus Dur dan Kecerdasan Tukang Becak Asal Madura. Semoga bermanfaat.

Penulis: Fachry Ali, Sahabat Gus Dur

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *