Kisah Wali Jadzab Ra Lilur Memberi Pesan Singkat bagi Pencari Ilmu

Fatihah untuk Melihat Wali Jadzab Ra Lilur, Seorang Habib Mempraktekkannya

Waktu itu di tahun 2008, Syaikh Muhammad Ismail Al-Ascholy akan menimba ilmu di pesantren untuk pertama kalinya, sebelum berangkat mesantren, umminya mengajaknya sowan ke Kiai Kholilurrahman(Ra Lilur) cicit Syaikhina Kholil Bangkalan, seorang Waliyullah Majdzub yang juga paman dari sang Ummi.

Setelah mengutarakan niat untuk menuntut ilmu dan meminta doa, Ra Lilur memberinya secarik kertas, isinya adalah sebaris bait bahasa arab dengan tulisan tangan beliau sendiri

و بالسادة الطهر الكرام أولي التقى * بني علوي من حووا كل سؤدد

Yang artinya:

“Dengan barokah “Saadah”(para Sayyid) dari golongan Bani ‘Alawy yang suci, mulia, dan memiliki sifat Taqwa, mereka yang telah menggapai semua kemuliaan ”

Sebuah pesan yang singkat tapi memiliki makna yang begitu dalam. Beliau seakan memberi isyarat bahwa menuntut ilmu – layaknya amal-amal lainya- adalah upaya untuk meraih Ridho Allah. Ridho Allah hanya bisa diraih dengan Ridho Rasulullah Saw, sedangkan pintu utama menuju Ridho Kanjeng Nabi hanya bisa dibuka dengan barokah mencintai keluarga dan keturunannya, lebih-lebih mereka yang berasal dari kalangan Ba’alawy, salah satu garis keturunan Rasulullah Saw yang dikenal selalu menelurkan ribuan ulama dan ‘auliya’ di setiap generasinya.

احبوني لحب الله و أحبوا اهل بيتي لحبي

Ajibnya, Ra Lilur bukanlah tipe ulama yang rajin berkumpul dengan para habaib dalam satu majlis layaknya kiai-kiai lainnya. Beliau lebih suka menyendiri di tempat uzlahnya, menjauhi keramaian dan hiruk pikuk dunia. Meski begitu, beliau tetap memiliki rasa cinta dan ta’dhim khusus kepada ahlubaitinnabi, sampai-sampai beliau tak sungkan untuk bertawassul dengan barokah mereka seperti bait yang beliau tulis di atas.

Ini semakin menegaskan, bahwa para kiai, ulama dan awliya’ Nusantara, baik yang Aam atau Khos, entah yang masyhur ataupun mastur, semua dari mereka pasti memiliki ikatan yang erat dengan para dzurriyah Rasul. Ini adalah sifat khas ulama Indonesia sedari dulu, semakin “keramat” seorang kiai maka akan semakin tinggi pula mahabbahnya kepada para dzurriyah Nabi. Dan dari merekalah (para kiai) masyarakat mengetahui bagaimana menjunjung tinggi akhlak terhadap keturunan Nabi.

Dari merekalah kita belajar bahwa menghormati Habaib itu wajibun minal waajibat Al islamiyah, tak kalah wajibnya dari kewajiban sholat, zakat dan puasa.

Oleh karena itu, ketika salah satu pemuka dan pemimpin Habaib Ba’alawy (yang tak perlu lagi dijelaskan bagaimana keilmuan, akhlak dan ketaqwaannya) Al Habib Umar Bin Hafidz menginjakkan kakinya di tanah air, saya yakin bahwa kiai-kiai Nusantara adalah pihak yang paling antusias dan bahagia dengan kunjungan beliau ini. Andai bukan karena jadwal habib yang begitu padat, merekalah yang akan ada di garis terdepan berlomba-lomba menjamu dan memuliakan Habib di rumah-rumah mereka.

Penulis: Ismael Amin Kholil, alumnus PesantrenAl-Anwar Sarang Rembang dan Pesantren Darul Musthofa Yaman.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *