Kisah Sepeda Kiai Ali Maksum, Sang Legenda Phoenix.
Oleh : KH. Henry Sutopo, Santri KH Ali Maksum Krapyak
Sekitar tahun 1976 kalau habis maghrib kehidupanku berpindah dari Pesantren Krapyak ke kampung Dongkelan yang berjarak sekitar satu setengah kilometer, karena di Kampung Dongkelan aku mendirikan Madrasah Diniyah malam hari yang bertempat di Masjid Al-Hidayah. Dari Masjid inilah aku banyak menimba pengalaman antara lain pertama kali dipercaya menjadi Khotib Jumat dan Idul Fitri, ya di masjid ini.
Jika malam hari aku tidur di kamar gudang Masjid sekalian adzan subuh, selesai berjamaah mengajar ngaji Al-Qur’an anak-anak kampung Dongkelan baru pulang kembali ke rumah di Pesantren Krapyak.
Kejadian di akhir bulan Ramadhan, aku ikut rapat Takmir Masjid untuk persiapan sholat Idul Fitri, sehabis sholat tarawih. Rapat hampir jam 12 malam belum kelar karena masalah dana untuk membeli gedek anyaman bambu belum tercukupi, anyaman bambu itu rencananya untuk alas jamaah sholat Idul Fitri yang di halaman Masjid karena halaman masjid tanahnya becek kena hujan.
Waktu rapat aku sudah ngantuk dan capek pingin segera selesai. Pimpinan rapat menjelaskan bahwa ada kekurangan dana sebesar tiga ribu rupiah untuk membeli anyaman bambu itu. Masalah itu yang muter-muter bikin rapat molor.
Kebetulan saat itu aku punya uang tabungan yang baru saja aku buka dari celengan tanah liat berbentuk ayam Jago yang mau aku pakai untuk bekal berhari raya, yang jumlahnya kurang lebih tiga ribu rupiah. Bismillah, dengan niat ibadah di penghujung Ramadhan, wong jelas kemanfaatannya, ditambah biar rapat cepet selesai, aku menyanggupkan diri untuk beli anyaman bambu itu. Dan malam itu juga uang aku serahkan kepada Takmir.
Saat malam hari Raya tiba. Jujur, kecuali suasana takbir, aku sulit tidur mikirin nggak punya uang untuk pegangan berhari raya besok. Maklum masih kegolong anak muda, masak hari raya kantong kosong bolong.
Menjelang adzan subuh aku punya pikiran mendadak. Pokoknya habis subuhan mau jalan kaki pulang ke Pesantren Krapyak sambil membaca tasbih tanpa putus sebelum aku masuk ke dalam rumah, dengan niat semoga Allah mencukupi kebutuhanku berhari raya dan berwasilah dengan uang tiga ribu rupiah yang kuserahkan Takmir. Pilihanku untuk istighotsah membaca tasbih itu, karena malam harinya saat tadarus Al-Quran. Aku terngiang dengan ayat, “Yusabbikhuunal laila wannahaaro la yafturuun,” mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya (Al-Anbiyaa’ : 20), yang menceritakan para Malaikat itu kerjaannya siang malam membaca tasbih tiada henti. Ini yang menjadikan para Malaikat oleh Allah dikaruniai banyak keistimewaan. Aku bermaksud mohon kepada Allah semoga hari raya ini aku diberi keistimewaan yakni sederhana, pegang duit.
Sambil baca tasbih di jalan aku sempat ketemu beberapa orang yang menyapaku, kujawab seperlunya sambil terus membaca tasbih. Ketika aku berjalan lewat di depan ndalem Mbah Kyai Ali Maksum, aku agak terhenyak karena melihat beliau di pagi yang masih remang itu sedang duduk di depan ndalem sambil membawa sapu lidi. Aku mau menghindar sulit karena posisi sudah sangat dekat dan beliau memperhatikan aku. Tetap mulutku komat kamit baca tasbih sambil meneruskan langkah.
Jujur ada rasa nggak enak di benakku dengan posisi beliau membawa sapu lidi. Perasaanku jangan-jangan nanti aku mau disuruh menyapu halaman pondok yang cukup luas, dan saat itu tidak ada santri karena pada pulang berlebaran.
Tepat lewat di depan Mbah Ali beliau menyapa : “Siapa kamu?…”.
Tergagap aku menjawab :”Saya Mbah…!” sambil terus mulutku baca tasbih, karena kontraknya belum selesai sampai aku masuk ke dalam rumahku.
“Kebetulan, sini masuk!..” Kata Mbah Ali berdiri sambil menuju kamar beliau menyuruhku mengikuti beliau.
Di dalam kamar aku tetap komat-kamit baca tasbih. Aku lihat Mbah Ali mengambil gelas cangkir keramik putih sambil menuang susu coklat, dan air panas dalam Termos sambil berkata : “Kamu sudah nggak puasa to!.. nih tak buatin susu coklat, ayo diminum!”. “Nggih, Nggih Mbah… Matur nuwun”. Langsung aku minum. Alhamdulillah, seumur hidup aku tidak mengira mau diladenin dibuatin susu coklat sama Mbah Kyai-ku yang sangat kuhormati.
Mbah Ali kemudian kelihatan mondar-mandir membuka almari yang sangat sederhana di kamar beliau. Almari yang ada di kamar beliau hanyalah almari bekas santri yang sudah rusak kancingnya dan sudah dimodifikasi dan di-upgrade. Aku tetap posisi komat kamit sesekali melirik apa yang Mbah Ali kerjakan.
Tiba-tiba Mbah Ali terus mendekati aku sambil memasukkan tangan beliau ke saku bajuku. “Dah dihabisin susunya? Ini uang syukuran, sebab kamu membantuku mengurus Diniyah (Madrasah Diniyah Pondok Krapyak maksudnya yang saat itu aku Rektornya). Uang ini terserah mau dipakai beli kapur atau dipakai jajan terserah kamu. Dah pulang sana ikut nyiapin tikar di Masjid!” Kata Beliau sambil tersenyum.
Terbungkuk bungkuk aku kecup tangan beliau bolak-balik sambil menahan saku bajuku yang baru dimasukin tangan beliau. Sambil keluar kamar Mbah Ali, aku tetap komat-kamit baca tasbih.
Kira-kira 50 meter aku berjalan sampai di belakang ndalem Mbah Kyai Zaini, aku berhenti penasaran pingin tahu jumlah uang yang ada di saku pemberian Mbah Ali. Dengan tetap komat-kamit, alhamdulillah, subkhanalloh, laa ilaaha illalloh, allohu akbar, ternyata jumlahnya TIGA PULUH RIBU RUPIAH.
Uang segitu saat itu cukup besar. Seingatku yang delapan belas ribu rupiah bisa aku pakai beli sepeda phoenix baru, pakai boncengan yang tidak pernah aku membayangkan bisa beli, mungkin satu kampung baru aku yang punya.
Kalau sore hari sering aku pakai keliling kampung sambil sesekali belnya aku bunyikan… Krang kring… Krang kring….
Cewek-cewek kampung yang ngeliat pada melongo kagum, dan aku tahu pikiran mereka membayangkan pingin sekali membonceng di belakangku. Tapi cewek-cewek itu tidak mau berterus terang, padahal dalam hati aku juga berharap.
________________
Semoga artikel Kisah Sepeda Kiai Ali Maksum, Sang Legenda Phoenix ini memberikan manfaat dan barokah untuk kita semua, amiin..
simak artikel terkait Kisah Sepeda Kiai Ali Maksum, Sang Legenda Phoenix di sini
simak video terkait di sini