Kisah Seorang Syekh di Arab yang Menikahi Saudaranya Sendiri

Kisah Seorang Syekh di Arab yang Menikahi Saudaranya Sendiri

Hikmah kali ini tentang kisah seorang Syekh di Arab yang menikahi saudaranya sendiri.

Dalam Islam, apabila seorang perempuan menyusui bayi anak orang lain sebelum berumur dua tahun, maka ibu yang menyusui itu disebut ibu susuan, anak orang lain yang disusui disebut anak susuan, suami pemilik susu (yang menjadikan ibu itu hamil dan mengeluarkan air susu) disebut ayah susuan, sedangkan anak-anak ibu susuan dan anak-anak susuannya yang lain disebut saudara sesusuan.

Mereka semua adalah mahram yang tidak batal wudhu’ dan tidak boleh dinikahi. Hanya saja, ulama berbeda pendapat mengenai jumlah kali menyusunya, ada yang berpendapat bahwa sekali menyusu, walaupun setetes, sudah menjadikan status hubungan susuan, ada yang mengatakan minimal harus tiga kali menyusu, sehinga kalau hanya dua kali menyusu tidaklah menjadikan status hubungan susuan, kemudian ada yang mengatakan minimal harus lima kali menyusu, sehinga kalau hanya empat kali menyusu tidaklah menjadikan status hubungan susuan.

Untuk jumlah minimal tiga dan lima itu yang dihitung bukan per teguk, melainkan per menyusu, misalnya sekali menyusu beberapa puluh teguk hingga selesai lalu beberapa menit kemudian menyusu lagi, maka itu dihitung dua kali menyusu.

Diantara cerita yang saya dengar langsung dari Abuya Sayyid Muhammad Al-Maliki adalah kisah sedih yang dialami oleh seorang Syekh pada zaman ayah beliau, Sayyid Alawi Al-Maliki, seingat saya nama Syekh itu adalah Syekh Abdul Aziz Al-‘Aliji, saya juga tidak ingat apakah Abuya menyebut anama tempat tinggal Syekh Abdul Aziz itu atau tidak.

Alkisah, Syekh Abdul Aziz memiliki ibu susuan yang kemudian tinggal di tempat yang jauh, mereka tidak pernah bertemu sejak beberapa tahun sebelum Syekh Abdul Aziz menikah. Dua puluh lima tahun setelah Syekh Abdul Aziz menikah dan memiliki banyak anak, datanglah ibu susuan itu mengunjungi beliau, beliau gembira sekali dengan kedatangan sang ibu susuan, beliaupun mengumpulkan istri dan anak-anak beliau untuk diperkenalkan pada ibu susuan beliau. Si ibu kemudian menanyakan tentang istri beliau, setelah dijelaskan tentang siapa orang tua istri beliau, si ibu terkejut dan berteriak “Ya Allah…” Semuapun terkejut dengan teriakan sang ibu.

“Ada apa, ibu?” Tanya Syekh Abdul Aziz.

“Dia ini saudaramu, nak”

“Saudara bagaimana, ibu?” Sergah Syekh Abdul Aziz dengan wajah panik.

“Dia juga menyusu padaku.”

“Menyusunya berapa kali, ibu?” Tanya Syekh Abdul Aziz, beliau berharap istri beliau tidak menyusu sampai lima kali sehingga beliau bisa mengambil pendapat ulama’ yang mengharuskan minimal lima kali untuk menjadi saudara sesusuan.

“Tidak terhitung, nak, sama sepertimu.” Jawab si ibu.

Syekh Abdul Aziz sangat terpukul dengan berita ini, wanita yang selama ini beliau cintai sebagai istri dan ibu dari anak-anak beliau ternyata adalah saudara sesusuan beliau sendiri, waita yang semestinya diperlakukan sebagai saduara layaknya saudara kandung dan tidak boleh dinikahi. Beliaupun menangis sejadi-jadinya menyelasi apa yang terjadi, beliau segera “berpisah” dengan “istri” beliau, mereka bukan lagi suami istri melainkan bersaudara, sebuah kenyataan yang pasti amatlah berat bagi siapapun. Hal itu membuat Syekh Abdul Aziz tidak mampu mengendalikan perasaan, sehingga beliaupun berhenti dari semua kegiatan sebagai ulama’, termasuk kegiatan mengajar di majlis beliau.

Beliau terus menangis didalam kamar dan tidak mau bertemu dengan siapaun. Semua teman beliau berusaha menemui dan menghibur beliau namun tidak ada yang berhasil, hingga akhirnya Sayyid Alawi menulis surat pada beliau, surat itupun dalam bentuk syair dan saya lupa kalimat Arabnya, arti syair itu begini:

“Tidaklah engkau melainkan seperti orang yang sedang bepuasa, kemudian Allah memberinya minum ketika dia minum dengan lupa.”

Setelah membaca syair yang dibuat oleh Sayyid Alawi itu Syekh Abdul Aziz langsung bangun dari keterpurukan beliau, beban yang selama ini menghimpit langsung terlepas dari hati beliau, beliaupun kembali beraktifitas seprti semula, termasuk mengajar dan berdakwah.

Catatan saya, ada yang menarik dengan keterpukulan Syekh Abdul Aziz itu. Sudah pasti, orang yang mengalami masalah seperti Syekh Abdul Aziz ini akan terpukul oleh beberapa hal: Pertama, karena merasa bersalah dengan menikahi saudara sesusuan dan berlangsung hingga dua puluh lima tahun. Kedua, karena harus melupakan rasa cinta sebagai suami istri yang sudah terbangun selama dua puluh lima tahun. Ketiga, karena perubahan status “anak-anak”, status mereka adalah anak syubhat dan bukan ahlis waris ayah biologinya. Keempat, karena akan menjadi pembicaraan orang dan itu bisa saja membuat seseorang menjadi malu, walaupun pernikahan sesama saudara sesusuan itu tidak disengaja.

Namun, melihat fakta bahwa Syekh Abdul Aziz langsung pulih begitu membaca syair Sayyid Alawi, dimana dalam syair itu hanya mengatakan bahwa Syekh Abdul Aziz tidak bersalah pada Allah, ibarat orang puasa yang mimum dengan lupa, hal itu menunjukkan bahwa yang membuat beliau terpuruk selama ini hanyalah rasa bersalahnya kepada Allah. Tentu saja beliau juga merasa sakit ketika harus melupakan rasa cinta sebagai suami istri yang sudah terbangun selama dua puluh lima tahun, tidak mudah untuk merubah perasaan cinta itu menjadi cinta biasa sebagai saudara sesusuan.

Bayangkan saya, selama dua puluh lima tahun hidup sebagai suami istri, saling menyanyangi dengan cinta asmara, saling mempergauli dan memperlakukan layaknya suami istri, tiba-tiba mereka harus berpisah dan melupakan semua yang terjadi selama dua puluh lima tahun itu. Menurut saya, kisah cinta Syekh Abdul Aziz ini lebih tragis daripada kisah cinta Qais dan Laila atau Romeo dan Juliet. Namun ternyata bukan itu yang membuat beliau terpuruk hingga berhenti dari semua aktifitas, melainkan karena merasa bersalah dan merasa malu pada Allah.

Orang yang cintanya telah penuh kepada Allah tidak akan menderita karena hal-hal menyakitkan yang bersifat duniawi, dia bisa melupakan hubungan apapun dan dengan siapapun bila Allah menghendaki itu, dia bisa melupakan cintanya pada siapapun dan sebesar apapun bila Allah menghendaki itu. Sebagai manusia biasa, merasakan sakit itu wajar, justru adanya rasa sakit adalah bukti ia bersabar demi cinta kepada Allah.

Demikianlah dengan Syekh Abdul Aziz, tentu beliau merasakan sakit yang tak terperi ketika harus berpisah dengan “istri” beliau, namun rasa sakit itu tidak sampai membuat beliau terpuruk, asal Allah tidak marah maka yang lain bukan masalah, tidak seperti orang biasa yang terkadang sampai mau bunuh diri hanya karena patah hati, apalagi patah hatinya dengan pacar yang belum tentu setia seandainya sudah menjadi istri.

Demikian kisah seorang Syekh di Arab yang menikahi saudaranya sendiri, semoga ada hikmah yang bisa kita petik bersama.

Penulis: KH Ali Badri Pasuruan, santri Abuya Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *