Kisah Santri Rela Masuk Neraka untuk Menemani Kiai Ali Ma’shum.
Jelang maghrib kemarin (15 Agustus 2019), saya dapat berkah dengan kunjungan Kiai Muhaimin dari pondok Nurul Ummahat Yogyakarta beserta putri gadisnya dan para santriwatinya. Sebagai santri Kiai Ali Ma’shum selama 7 tahun dan santri Mbah Liem selama 3 tahun, KH. Muhaimin berkisah tentang sejarah dua kiai besar ini.
Di antara kisah yang akan saya sampaikan adalah tentang penerimaan para Kiai NU terhadap Pancasila sebagai asas tunggal yang saat itu banyak kecaman.
Saya kutipkan penjelasan dari Prof. Dr. Ali Haidar dalam bukunya yang berjudul “Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia”. Setelah KH. Achmad Siddiq menyampaikan makalah di Munas Alim Ulama tahun 1983 di Situbondo tentang penerimaan asas tunggal Pancasila, muncullah reaksi yang cukup keras.
Tidak kurang dari 34 orang yang menanggapi makalah itu, hanya 2 orang yang setuju, 32 lainnya menentang. Muncul pula selebaran yang disebarkan kepada peserta munas antara lain pernyataan yang ditandatangani 37 kiai dari 36 pesantren di Madura, pengurus besar HMI dan KAHMI (Korps Alumni HMI) Surabaya. Pernyataan pertama menegaskan hendaknya munas alim ulama NU tidak menerima asas tunggal Pancasila sebelum RUU keormasan ditetapkan menjadi undang-undang. Sementara pernyataan HMI dan KAHMI mendesak NU agar menolak asas tunggal Pancasila.
Reaksi peserta muktamar terhadap gagasan penetapan asas tunggal Pancasila bagi sebagian kiai NU umumnya khawatir hilangnya identitas Islam, sebab justru orientasi Islam bagi organisasi sosial keagamaan seperti NU menjadi jiwa dan denyut nafasnya. Tanpa Islam tidak lagi berarti bagi NU. Bahkan salah seorang peserta menolak inti makalah tentang Pancasila itu dan menuduh sikap menerima Pancasila sebagai tindakan murtad.
Akhirnya para kiai bisa memutuskan rumusan yang disepakati, yakni Pancasila sebagai asas organisasi dalam anggaran dasar dan Islam sebagai aqidah. Sekalipun demikian suara kritikan keras dan tajam masih terdengar.
Kritikan yang demikian ini membuat KH. Hasan Tholaby pengasuh Ponpes PESAWAT, pesantren al Qur’an Wates Kulonprogo gundah dan pedih. Saat Subuh ketika penerimaan asas tunggal Pancasila diketok, beliau mengajak beberapa santri Krapyak termasuk KH. Muhaimin kembali ke gothakan sambil ngendiko (berkata), “Umpama pergantian ini berakibat masuk neraka, saya bersedia menjadi penghuni neraka asal bisa menemani KH. Ali Ma’shum.”
Tentu maksudnya bukan nantinya benar-benar masuk neraka. Karena memang tidak ada yang tahu nanti kita masuk surga atau neraka. Walau kita pasti berpandangan mereka adalah ahlu jannah. Tapi maksudnya adalah begitu dahsyat kritikan celaan yang muncul seperti kata-kata murtad dan kafir yang ini mengakibatkan KH. Hasan Tholaby “sesak dadanya”. Para kiai termasuk Kiai Ali Ma’shum telah tulus dan sungguh-sungguh demi umat tapi masih distempel demikian. Kiai Ali Ma’shum dan para kiai lainnya begitu mencintai Tuhan lewat jalan kecintaannya kepada Indonesia, kepada Islam lewat NU dan kepada umat. Para kiai penuh perjuangan meyakinkan khalayak dan para tokoh agar bisa menerima Pancasila, dan begitu besar kesetiaan dan kecintaan para kiai kepada Kiai Ali Ma’shum seperti yang dicontohkan KH. Hasan Tholaby.
Untuk para kiai NU lahumul Fatihah
Penulis: Dr Ainur Rofiq Al Amin, Pesantren Tambakberas Jombang dan Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya.
_______________
Semoga artikel Kisah Santri Rela Masuk Neraka untuk Menemani Kiai Ali Ma’shum memberikan manfaat dan barokah untuk kita semua, amiin..
simak artikel terkait di sini
simak video terkait di sini