Pada zaman Belanda rumah beliau pernah dijadikan sebagai camp markas para pejuang kemerdekaan. Menantu beliau bercerita bahwa ketika itu ada seseorang yang mau minta makan kepada Mbah Idris :”Mbah ajeng nyuwun maem’me”, kemudian Mbah Idris menjawab :”Raono panganane wis tak wehke tentara” jawab Mbah Idris kepada peminta tersebut.
Setelah itu peminta tersebut lari hendak melaporkan infomasi tersebut kepada Belanda dan akhirnya dikejar mati di tembak oleh tentara, ternyata dia adalah telik sandi Belanda. Dalam hal bersedekah beliau tak tanggung-tanggung akan tetapi beliau sangat anti bila mentasyarufkan hartanya kepada hal yang tak ada manfaatnya, apalagi berfoya-foya.
Beliau sosok yang sangat dermawan, ketika itu pernah memberikan sawah kepada salah satu penduduk yang sering membantu beliau di sawah. Dalam membina 30 santrinya, beliau menanggung seluruh kebutuhan santri setiap harinya baik makan ataupun pakaian. Semua santri pun demikian, semuanya senantiasa membantu segala kerepotan Mbah Idris, khususnya dalam mengolah sawah olahan beliau. Bahkan beliau sering membagi-bagikan mukena kepada masyarakat.
Karomah Mbah Idris
Ketika itu beliau juga memiliki Kuda dengan nama Kuda Sukro, sebagai kendaraan dalam mengantar perjuangan beliau. Menurut penuturan salah satu santri beliau, Mbah Idris juga memiliki kemampuan untuk berjalan cepat, atau sering dikenal dengan Ilmu Lempit Bumi. Ketika itu sang santri menemani Mbah Idris untuk berdakwah di desa Butuh Selopampang, berangkat dari Plumbon hampir maghrib dan sampai di Butuh masih maghrib, padahal jarak Plumbon—Butuh berkisar 10 KM dengan medan yang terjal. Pernah pula, Mbah Idris berjalan dari Wonoroto Windusari pulang menuju Plumbon bersama santrinya menempuh perjalanan satu puntung rokok pun tidak habis. Selain itu Mbah Idris juga akan tahu kesalahan seseorang dalam membaca dalam Al Qur’an, padahal itu dalam usia yang cukup senja, ketika mendengar kesalahan tersebut Mbah Idris langsung menghardir si pembaca Qur’an tersebut.
Beliau juga terkenal sebagai pengamal ‘Dawamul Wudlu’ atau melanggengkan dalam keadaan suci dari hadas. Ke-winasisan Mbah Idris juga menetes kepada salah satu salah satu putra beliau, yakni KH. Djufri. Ketika dimintai pendapat keponakannya, yang ketika hijrah untuk bekerja di Jakarta. Keponakannya bermimpi bahwa, Ia sering diikuti babi hutan, Ia menanyakan tafsiran mimpi tersebut kepada KH.Djufri walhasil KH.Djufri memberikan tafsiran bahwa dalam Ia mencari nafkah di Jakarta, kebanyakan mendengati perkara yang di haramkan. Kemudian Beliau menyarankan untuk pulang dan menempuh pendidikan nyantri di Pondok Pesantren I’anatut Mujtahidin Blembeng Magelang di bawah asuhan Simbah KH.Mukhlasin—santri dari Simbah Chudlori Tegal Rejo.
Suatu waktu beliau juga sempat berujar kepada keponakannya, bahwa suatu ketika kamu akan mendirkan pondok pesantren di tempat itu. Tunjuk KH.Djurfi kepada keponakannya tersebut, dan kini terbukti keponakan beliau yang bernama Abdul Rosyid telah mendirikan Pondok Pesantren Salafiyah Plumbon di tempat yang Beliau tunjuk tersebut sebagai penerus perjuangan Simbah Idris Plumbon. Kini dalam melanjutkan perjuangan Mbah Idris dan KH.Djufri itu, Kyai Abdul Rasyid melanjutkan Pengajian Kemisan yang merupakan wiridan Mbah Idris ketika itu.
Pada tahun 1960 beliau mendirikan pengajian di desa Ngemplak Petung Windusari bersama Pak Bakin, ditengah perbincangan dengan Mbah Bakin—tokoh Ngempak—beliau pernah berkata bahwa yang menjadi Presiden setelah Pak Karno adalah Soeharto,”Kin, saiki dewe wis duwe presiden anyar jenenge Soekarno, sak lebare Soekarno sesuk jenenge Soeharto”, kata Mbah Idris kepada Pak Bakin. Dan hingga kini pengajian selapanan itu masih dilestarikan oleh cucu beliau. Tiap tanggal 8 Syawal di adakan Pengajian Syawalan dan Haul Simbah Demang Surwo Purwoto.
Menurut penuturan simbah Son Haji Sumber Ketandan(Alm) : beliau menuturkan bahwa di alam barzah Mbah Idris terlihat duduk nyaman dan berlapiskan Karpet Hijau tebal yang tebalnya tidak dapat di ukur dengan jemari tangan (berkisar 15-san cm) ini menjadi salah satu pertanda kemuliaan beliau.
Di tengah-tengah perjalanannya belia sering mengamalkan bacaan Hauqolah(bacaan Lahaula Wala Quwwata Illa Billahil ‘aliyyil ‘adzim) dan Hizib Autad 7 kali setelah sholat maktubah, serta tak pernah putus dalam bertahajud.
Mbah Idris Dirindukan Sang Kholik
Malam kamis legi Pukul 19.30 17 April 1976 bertepatan 29 Robi’ul Akhir malam, rupanya Sang Kholik telah merindukan kehadiran Mbah Idris, beliau menghadap Sang Kholiq pada usia 106 tahun. Usia yang di habiskan untuk mengabdikan diri kepada agama dan masyarakat. Dalam sambutannya kewafatan Mbah Idris, Mbah Raden Alwi—Randucanan Bandongan Magelang—menuturkan bahwa : “Niki sing ajeng ngantos benjing putro ragil nak Djufri”. Terbukti kurun waktu setelahnya KH.Djufri-lah yang melanjutkan pesantren Mbah Idris.
(Penulis: Slamet Ja’far, Sekretaris Redaksi Majalah Kontinu Temanggung)
Sumber Tulisan :
- Wawancara dengan Menantu Mbah Idris Nyai Hj.Muntikanah (istri dari KH.Djufri—Putra ke-7 Mbah Idris) dan Bapak Abdurolrohman Cucu kesayangan Mbah Idris—Putra terakhir dari KH.Djufri.
- Wawancara pada Ahad, 4 September 2016 bertepatan 2 Dzulhijjah 1437 Hijriyah di rumah Nyai Hj.Muntikanah Plumbon Selopampang Temanggung.