Kisah Prof Soleh, Alumni Pesantren Lirboyo yang Jadi Profesor Tahajjud

Kisah Prof Soleh, Alumni Pesantren Lirboyo yang Jadi Profesor Tahajjud

Kisah Prof Soleh, Alumni Pesantren Lirboyo yang Jadi Profesor Tahajjud.

Suatu sore saat itu (25/4/2015), menjelang maghrib tiba, meski badan yang cukup penat setelah Pembekalan Pengabdian Masyarakat bersama LP2M UIN Maliki bersama Bachrul Saaduddin, aku meluncur menuju Kota Kediri. Meski Hari Mulai Petang bismillah kami berangkat menuju Kota Tahu dengan motor Honda Revo pinjaman dari Firdaus Imadudin. Diselingi sholat maghrib di Masjid di Desa Tlekung Batu akhirnya memulai perjalanan yang memacu adrenaline.

Melintasi Lereng Pegunungan yang gelap gulita antara Batu-Kasembon sejauh +/- 25 KM untuk pertama kalinya. Meski pandangan yang sering kabur karena silau akan cahaya mobil yang berseliweran dan harus berhenti di tiap kecamatan akhirnya sampai juga di Dusun Kwangkalan Desa Tempurejo Kecamatan Pesantren Kota Kediri meski sebelumnya sempat istirahat sejenak di masjid di sekitar Kecamatan Gurah, Kediri.

Di pelosok desa ini yang dihimpit persawahan dan tanaman tebu. Puluhan motor dan mobil berjejer di pinggiran jalan dusun yang kecil ini. Ketika itu waktu masih menunjukkan pukul 22.30, cukup waktu sejenak tuk beristirahat dan bercengkrama dengan jama’ah ang berasa dari Ponorogo, Bojonegoro, Lamongan, Sidaorjo, dll. Dan akhirnya pukul 01.00 tepat lonceng berbunyi menandakan ritual tahajud kubro akan dimulai. Riyadhoh memang diselenggarakan pada Ahad Petang akhir bulan.

Sebelum tahajud, Prof. Soleh begitulah akrab disapa mengajak jam’ah untuk muhasabah diri dan membuang jauh rasa iri, dengki, hasut tuk membersihkan diri sebelum melaksanakan sholat tahajjud. Dan kemudian tahajjud yang bertempat di halaman rumah beliau dengan beratpakan langit dan beralsakan tikar pun dimulai, Rokaat pertama imam membaca ayat kusi 7 kali dengan kali dan rakaat kedua membaca Al-Insyirah 7x. Setiap gerakan tak kurang 10 menit dan jika ditotal Tahajjud 2 Rokaat dan Witir 3 Rokaat tak kurang 2 jam. !!!

Setelah tahajjud sekitar pukul 3.00 jamaah diperkenankan istirahat sampai datang waktunya subuh. Dan setelah berjamaah sholat subuh kami dijamu makan pagi. Tak kurang 200 Jamaah menyantap sajian gratis dari Putra Asli Kediri ini. Meski hanya beralaskan tikar di tengah dinginnya udara subuh begitu nikmat menikmati kebersamaan ini bersama jama’ah yang mayoritas dari paruh baya ini.

Setalah itu ikut bersama bersih-bersih dengan mengangkat piring dan memunguti sampah, dan memasuki rumahnya yang cukup luas ini. Melihat almarinya yang berjibun dengan buku dari berbagai studi ilmu, mulai kedokteran, psikologi, kamus sampai kitab-kitab kuning. Bahkan 2 lemari besar pun tak mampu tuk menampungnya sampai sebagaian buku diletakkan di atas karpet.

Tak lama kemudian keluarlah beliau dari kamarnya dan duduk di sofa. Dengan segera kujabat tangannya dan beliau langsung menawari duduk disampingnya. Sungguh begitu akrab sosok Guru Besar UIN Surabaya yang saat ini adalah pertemuan kedua setelah sebelumnya dalam seminar di auditorium Fakultas Saintek UIN Maliki Malang.

Prof. Dr. Moh. Sholeh, M.Pd, PNI begitulah nama dan gelar lengkapnya. Lahir 9 Desember 1960 di Kota Kediri. Sebagai bagian dari keluarga ‘besar’ dengan 8 saudara kandung membuat Sholeh terbiasa hidup sederhana. Kondisi keluarga yang terbatas, menyebabkan tidak semua saudara Sholeh bisa mengenyam dunia pendidikan. Hal ini lantas membuat Sholeh berpikir, Apakah hanya orang yang punya uang yang bisa sekolah?

Berbekal pemikiran bahwa Islam tidak membatasi keinginan setiap orang untuk belajar, Sholeh pun berjuang. Saat itu lulusan madrasah dari Pesantren tidak bisa melanjutkan ke perguruan tinggi. Namun Sholeh tidak hilang akal, dia mengikuti ujian persamaan di MtsN (Madrasah Tsanawiyah Negeri) dan Madrasah Aliyah Negeri (MAN) hingga diterima kuliah di Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Tribakti Kediri. Untuk membiayai kuliahnya, selama kuliah Sholeh mencari dana secara mandiri dengan berjualan.

Lulus sebagai sarjana muda tidak lantas membuat Sholeh puas. Berbekal keinginan memperoleh ijazah sarjana (S1), Sholeh mendaftar dan diterima sebagai mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Setelah sebelumnya gagal ujian Masuk IAIN Malang. (Sekarang UIN Maulana Malik Ibrahim Malang) Tiga tahun setelah lulus, Sholeh mendapat kesempatan melanjutkan belajarnya di S2 Fakultas Psikologi Konseling IKIP Negeri Malang (Sekarang Universitas Negeri Malang). Selepas itu dia melanjutkan S3-nya di Jurusan Imunologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya.

“Awalnya untuk program doktor, saya mau memilih psikologi juga, tapi malah ditawari masuk fakultas kedokteran oleh salah seorang profesor. Namun ada syaratnya memang, yaitu saya harus bisa menciptakan sebuah ide baru dalam bidang kedokteran. Awalnya saya pikir apa saya bisa, mengingat selama ini saya tidak pernah menekuni dunia kedokteran, tapi saya coba saja. Apalagi saya memang sudah terbiasa tahajud dan merasakan manfaatnya. Maka dari kebiasaan menerapkan ilmu tahajud, lalu coba saya teliti.”

Insiprasi Penulis Buku Best Seller “Misteri Sholat Tahajjud“ ini bermula, sejak masuk pesantren saya mengalami sakit yang tidak kunjung sembuh,” kata santri jebolan dari Pesantren Lirboyo Kediri ini. Sakit itu ternyata berupa sejenis kanker kulit yang membuat seluruh tubuhnya melepuh. Tak hanya sakit, orang lain pun menjadi jijik melihatnya.

Sakit yang berlangsung selama bertahun-tahun itu tidak kunjung sembuh meski Sholeh sudah berupaya berobat kesana kemari. Hingga akhirnya, Sholeh memasrahkan dirinya pada Allah. Dia kembalikan semua masalah sakitnya ini pada pemilik penyakit dan pemiliki kesembuhan, Allah swt dengan memohon kesembuhan secara sungguh-sungguh.

“Maka saya matikan lampu dan saya pun berduaan dengan Allah,” ungkap pendiri rumah sehat Avicenna. Ajaib, setelah pasrah total kepada Allah dan rutin bertahajud, justru penyakit Sholeh sembuh dengan sendirinya. Boleh dikata, itulah tahap awal Sholeh menerapkan terapi tahajud pada dirinya sendiri.

Dan berangkat dari itulah timbullah kesadarannya untuk meneliti Tahajjud dalam sisi Medis dan Psikologis. Sampai akhirnya beliau dinobatkan menjadi Guru Besar Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Ampel Surabaya dengan spesialisasi Psikoneuroimunologi (Kajian yang mencoba menghubungkan antara kesadaran dengan fungsi otak atau syaraf perifer dan fungsi imun).

Dan saat ini beliau adalah Dekan Fakultas Sains Teknologi dan Psikologi Dan Kesehatan UIN Sunan Ampel Surabaya ini. Dekan yang secara tidak langsunng membawahi 3 fakultas. Dari pengkauan beliau jabatan Dekan berdasarkan tawaran langsung dari Rektor UINSA Prof. Dr. H. Abd. A’la, M.Ag.

Meski menjadi Dekan di universitas islam ternama beliau masih setia pulang Pergi (PP) dari Kediri Malang, menngingat beiau juga direktur Rumah Sehat Avicenna. Dan itu beliau jalani dengan naik kendaraan umum baik bis maupun angkot. Beliau menambahkan “sebenarnya saya juga ditawari Prof Imam Suprayogo mantan Rektor UIN Maliki Malang untuk mengajar disana stelah menyelesaikan Doktor di UNAIR tetapi harus terhalang karena status PNS di UINSA”

Pembicaraan kami yang cukup panjang akhirnya kami sudahi dan kemudian diselingi foto bersama sosok yang menghabiskan waktunya selama 7 tahun di Pesantren ini. Tuk Kemudian ziaroh ke Pondok Pesantren Lirboyo, silaturrahmi ke rumah saudara di Badas Kediri dan Pujon dan Balik Menuju Kota Malang.

Demikian Kisah Prof Soleh, Alumni Pesantren Lirboyo yang Jadi Profesor Tahajjud, semoga bermanfaat.

Muhammad Abid Muaffan, Santri Backpacker Nusantara dan ngaji di Lirboyo.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *