Kisah Pertemuanku dengan D Zawawi Imron

pak zawawi

MAHAGURU

Ketika aku lahir (tahun 1966) ia telah menulis puisi Ibu, yang setiap kalimatnya membuatku menangis. “Kalau aku ujian lalu ditanya tentang pahlawan, namamu ibu, yang kan kusebut paling dahulu…” Belakangan kemudian aku tahu, bagaimana perjuangannya waktu itu.

Ia lahir di kampung Batang Batang Madura, dan dalam usia belasan harus berjalan kaki sejauh 12 kilo meter ke kota kecamatan hanya untuk bisa membaca koran yang ditempel di kantor pemerintahanan. Ia hanya sanggup menyelesaikan sekolah hingga tingkat dasar. Tapi kejeniusannya memancar pada setiap tulisan-tulisannya.

Ketika aku mulai belajar menulis, namanya sudah berkibar di mana-mana. Ia menjadi kolumnis tetap di sejumlah media, kolom-kolomnya selalu dimuat di halaman depan surat kabar terkemuka, dan puisi-puisinya, —selalu aku tak pernah berhenti mengaguminya. Puisi-puisinya liat, keras setajam gelombang, tapi indah melelehkan air mata, tapi kejam melambungkan sukmamu pada langit surga sekaligus neraka. Puisi-puisinya membuatmu berpikir tentang cita-cita mulia menjadi seorang manusia.

Ia salah satu yang pernah diundang secara terhormat ke istana negara oleh penguasa paling ditakuti pada rezim orde baru (Presiden Soeharto, kalian tahu, bahwa hanya orang istimewa yang bisa diundang secara terhormat ke istana negara, untuk bertemu sosok paling mengerikan di abad itu). Dan ia, adalah salah satu yang berani “bersalaman dengan kepala tegak”, di hadapan Soeharto. Ia berteman baik dengan Gus Dur, ia diundang secara terhormat oleh SBY, Habibie, hingga Jokowi.

Aku bertemu pertama kali dengan orang ini, di sebuah kampus (ia diundang sebagai bintang dalam sebuah acara sastra), dan di sanalah aku pertama kali menyentuh tangannya. Ia bertanya padaku, “namamu siapa?”. Saat itu ( tahun 1992), aku belum menulis, dan memang bukan siapa-siapa. Aku mencium tangannya, dan melihat dia membaca puisi. Aku bahagia pernah bertemu seorang bintang.

Lalu pertemuan ke dua di tahun 1997, —di Jakarta, di rumah Cak Nun (Emha Ainun Nadjib). Aku memang ikut Cak Nun, dan waktu itu sudah hampir satu tahun menjadi santri beliau, —tinggal di rumah beliau. Maka kadang aku bertemu orang-orang penting yang bertamu pada Cak Nun, kadang mendapat keberuntungan ikut menguping pembicaraan Cak Nun dengan orang-orang penting. Salah satu orang penting yang waktu itu datang, adalah beliau (penyair jenius yang pernah kucium tangannya pada tahun 1992, dan aku meminta didoakan untuk menjadi seorang penulis). Dia, Zawawi Imron, yang kemudian menatapku heran, “namamu siapa?” Lalu aku sebut namaku. “Kamu mau saya kasih hadiah?” Tentu saja aku mau.

Lalu dia mengajakku pada sebuah salon. “Hadiah dariku. Duduk baik-baik di sini. Kamu harus mencukur rambut (rambutku waktu itu memang gondrong), dan mencukur habis jenggotmu (jenggotku waktu itu memang panjang).”

Semenjak itulah, Zawawi Imron resmi menjadi guruku, dan aku resmi menjadi santrinya.

Maka setiap ketemu beliau, aku selalu mencium tangannya, dan memanggilnya dengan panggilan Pak Kiai. Bersama beliau, aku pergi ke mana-mana, berkeliling Indonesia. Entah sudah berapa ratus kali aku satu panggung dengannya.

Lalu kemarin, aku bertemu beliau di rumah saudara saya tersayang, Abdul Wachid Bs.

11 Maret 2019

Joni Ariadinata, sastrawan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *