Allahu yarhamhu KH.Abdullah Syarifuddin ikut andil ketika menggugah menyemangati orang lain. Shodaqoh jariyah artinya shodaqoh yang pahalanya tetap mengalir meskipun si pemberi sudah meninggal.
Maisyah abahku untuk membesarkan anak-anaknya adalah dengan berdagang. Dari berdagang berhasil mengentaskan anaknya mencari ilmu (mondok dan kuliah) dan dapat membeli tanah untuk peninggalan anak-anaknya. 1 lokasi ditempati sebagai tempat tinggalnya dan adikku yang ragil, 1 lokasi sekarang ditempati mas ku, 1 lokasi dijual untuk tambahan ongkos naik haji abah ibuku, 1 lokasi dijual untuk membeli tanah yang sekarang aku tempati di Komplek Pondok Pesantren Al Hidayah.
Ketika berangkat haji tahun 1995, kebetulan ada beberapa di antara teman-temannya sesama jamaah Kulonprogo adalah bos Toko Material & Bahan Bangunan yang sukses. Dari hasil ketertarikan dorongan teman-temannya itu, ketika pulang haji abah belajar untuk membuka Toko Material, alhamdulillah sukses. Abah termasuk orang yang gigih. Baik dalam dalam rutinitas dakwah di masyarakat maupun dalam mencari maisyah. Baik dalam organisasi maupun hubungan dengan orang lain yang berkaitan dengan kemashlahatan umat. Prinsipnya yang luar biasa tidak lepas dari motivasi gurunya “Gus Mad” di Pondok Jampes Kediri “Sregep ngaji banyak rizki”.
Kegigihannya itu kalau kami sebagai anak-anak menyebutnya dengan “mrantasi” yaitu satu pekerjaan bagi orang lain baru dapat dilakukan beberapa orang. Sebuah contoh teladan yang sulit ditiru oleh orang lain, termasuk oleh kami sebagai anak-anaknya. Ketika ada yang mengatakan “Kyai kok bakul”, abah menjawabnya dan memohon untuk didoakan agar dari rizkinya dapat membesarkan anak-anak bisa mondok dan sekolah dengan harapan dapat meneruskan perjuangannya menjadi orang ‘alim dan shalih dan menjadi kyai.
Ada beberapa konsumen yang setahu saya kalau belanja material untuk pembangunan masjid / mushalla / pondok pesantren abah juga titip jariyah berupa material, kadang berupa genteng, keramik atau lainnya. Saat pembangunan Mushalla Nurul Hidayah Karangwuluh, sebuah mushalla yang dibangun di atas tanah yang diwakafkan kepada Yayasan Al Ma’had Al Hidayah, lalu oleh abah diarahkan untuk dibangun mushalla sebagai pusat pengembangan dakwah masyarakat sekitar yang kedua setelah masjid Al Hidayah.
Saat pembangunan hampir terhenti karena masalah pendanaan yang kurang, abah membantu jariyah berupa genteng. Abah menyembunyikan namanya dalam jariyah berupa genteng tersebut, masyarakat tidak mengetahui bahwa yang menyumbang adalah abah. Hal demikian dilakukan abah untuk memancing dan membangkitkan semangat warga untuk berpartisipasi pendanaan membangun mushalla tersebut. Setelah itu semangat warga untuk membangun mushalla bangkit lagi, dengan bukti setiap panen padi masyarakat yang mayoritas adalah petani selalu menyisihkan gabahnya untuk pembangunan mushalla, di samping sumbangan material ataupun uang.
Karena anak-anaknya sudah dianggap waktunya untuk berjuang di masyarakat, di tahun 2003 bersama dengan anak-anaknya mendirikan Pondok pesantren dengan nama Al Hidayah di atas tanah peninggalan simbah saya KH.Muhammad Nur ‘Alim yang memang sudah menjadi angan-angan simbah dengan mendorong anak cucunya untuk merintisnya.
Bahkan pembangunan Pondok Pesantren Al Hidayah mulai awal hingga yang terakhir adalah pembangunan Asrama Santri putra MTs Mafatihul Huda yang sudah berdiri 2 tahun lalu, abah juga menyemangati umat untuk membantunya, sehinngga banyak donatur yang tertarik untuk memberikan jariyahnya untuk pembangunan. Alhamdulillah semua pembangunan Pondok dapat berjalan dengan lancar dan mulai dari pondasi hingga pantas untuk ditempati santri dan digunakan untuk mencari ilmu.
Senantiasa kami anak-anaknya mohon doa untuk abahku yang sekaligus guruku.
“Urip iku nek iso duwe tinggalan” salah satu pesan dari abah.
Mohon doa barokahnya untuk amanah dan tinggalannya abah kepada kami 5 bersaudara : Panti Asuhan Darul Aitam-Pondok Pesantren Al Hidayah-Madrasah Diniyyah Al Hidayah-Majelis Dzikir Rotib dan Mejelis Taklim Syamsul Hidayah – Sekolah Calon Haji Hidayatun Nasikin – dan umat serta kegiatan masyarakat-.
(Penulis: Gus Latif, putra almarhum KH Abdullah Syarifuddin)