Kisah Nyata dari Madinah: Salam di Makam Nabi, Getarnya Sampai ke Jakarta

Ibnu Taimiyyah Mengharamkan Ziarah Kubur Nabi Serta Penjelasannya

Oleh KH Helmi Hidayat, petugas haji dan dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Rabu 24 Juli 2019 adalah hari ajaib kedua buat saya selama tinggal di Madinah. Usai salat subuh, dua menit sebelum ceramah di depan jemaah yang berkumpul di pelataran Masjid Nabawi, saya masih sempat melihat Whatsapp group keluarga.

Darah saya berdesir cepat. Anak saya, Karbala Madania, mengirim foto istri saya sedang duduk di ruang dokter,. Di atas foto itu dia sempat menulis: ‘’Papah, Tazki, Haekal, doain Mamah ya hari ini tindakan di rumah sakit, harus CT scan untuk periksa jantung pakai alat … ‘’

Pagi tadi saya tidak tuntas membaca pesan di grup Whatsapp itu. Mata saya langsung nanar, jantung saya berdegup cepat. Apa-apaan ini? Sebelumnya istri saya sama sekali tidak pernah memberi kabar bahwa dokter akan melakukan tindakam apa pun. Mungkin dia tak ingin membuat saya galau selama saya menjalankan tugas di Madinah. Tapi kalau caranya seperti ini — tiba-tiba saya melihat foto istri saya di ruang dokter, apalagi saya melihat foto itu di menit-menit terakhir menjelang ceramah — ini teror namanya. Ingin sekali pagi itu saya batalkan ceramah.

Meski pada akhirnya saya berhasil menuntaskan ceramah dengan lancar, kegalauan di hati saya sesungguhnya tetap menggumpal. Saat itu rasanya saya ingin loncat ke dalam masjid untuk bersujud pada Allah, Tuhan yang tak pernah sakit, memohon agar tindakam dokter atas istri saya berjalan lancar. Tapi itu tak mungkin. Kata Arif Rahman, pembimbing ibadah Sektor II yang selalu mendampingi saya setiapkali saya memberi ceramah ziarah dan manasik, saya harus ceramah sekali lagi di hadapan jemaah dari kloter lain di tempat berbeda. Duhhhhh …, paniknya!!

Usai ceramah saya segera kembali ke kamar hotel, sarapan, mandi sebersih mungkin, lalu saya ganti semua pakaian yang tadi saya pakai. Saya terbiasa menjaga sopan santun kepada Allah dengan tampil sebersih mungkin setiapkali memohon sesuatu yang saya rasa sangat berat. Maka, usai salat duha dan salat hajat di Masjid Nabawi yang besar dan megah, saya segera tenggelam dalam zikir, salawat, juga doa-doa yang menghanyutkan. Saya menangis sendirian di samping tiang besar. Saya sadar, beberapa meter di hadapan saya ada Rasulullah SAW, yang biasanya berjarak ribuan kilometer.

Pagi itu rasanya saya tak ingin berhenti bercengkerama dengan Allah. Ada keasyikan tersendiri yang sulit saya lukiskan setiapkali saya menangis dalam doa-doa. Terkadang seperti hanyut dalam ombak besar, terkadang seperti terbang di atas awan. Saya biasanya tak ingin diganggu jika sedang tenggelam dalam dimensi aneh itu, yang tak selalu datang setiapkali saya berdoa. Tapi pagi tadi, meski tengah hanyut dalam keasyikan yang menenggelamkan, entah mengapa ingin sekali saya membuka handphone. Sebuah keajaiban rupanya tengah terjadi. Persis ketika saya membuka alat komunikasi itu, saat itu juga istri saya tengah mengirim pesan bahwa tindqkan dokter telah selesai dan ia selamat. ‘’Allaahu akbar,’’ saya kontan bersujud pada-Nya berucap sejuta syukur.

Mengapa semuanya terkesan seperti serba gampang? Sebenarnya tidak juga. Ada proses spiritual yang sangat mistis, yang untuk ukuran tertentu bisa dijelaskan secara rasional. Di tempat suci itu tentu ada begitu banyak malaikat yang tak pernah meninggalkan masjid suci ini selama zikir-zikir dibacakan. Para malaikat ini adalah makhluk-makhluk super halus yang menggemari kalimat-kalimat baik dan zikir-zikir (QS al-Hajj ayat 24).

Ketika sedang berzikir pada Allah terutama saat bersalam salawat pada Rasulullah SAW usai salat duha, entah mengapa tiba-tiba saya teringat begitu saja pada perang Badar. Ingatan saya itu persis terfokus pada penggalan kisah ini: Di malam usai perang Badar, Rasulullah SAW berdiri di depan kuburan kaum musyrik yang tewas dalam pertempuran. Mereka dikuburkan di satu lubang secara massal. Nabi kemudian berbicara sendirian di depan kuburan itu: ‘’Wahai penghuni lubang, Utba’ bin Rabiah, Syaiba bin Rabiah, Umayya bin Khalaf, wahai Abu Jahal bin Hisyam … adakah yang dijanjikan Tuhan kalian itu benar-benar ada? Aku telah mendapatkan apa yang dijanjikan Tuhanku benar-benar terjadi.’’

Para sahabat tentu saja heran. ‘’Ya Rasulullah, mengapa Engkau berbicara pada orang-orang yang sudah mati?’’

Rasulullah menjawab singkat: ‘’Mereka lebih mendengar apa yang baru saya katakan dibandingkan kalian, hanya saja mereka tak bisa menjawab.’’

Cerita inilah yang teringat oleh saya ketika tadi saya berzikir dan bersalawat atas Nabi. Sebagai orang beriman, tentu saja saya harus percaya pada kisah ini — bahwa orang-orang yang terlihat sudah mati sesungguhnya masih hidup dengan cara dan karakter yang tidak kita ketahui. Maka, jika orang-orang musyrik yang telah tewas dalam perang Badar itu saja masih hidup dengan cara dan karakter kehidupan yang entah seperti apa, apalagi Rasulullah SAW. Dalam satu hadis riwayat Imam Abu Dawud, Nabi SAW pernah bersabda: “Setiapkali ada orang mengucapkan salam kepadaku, Allah mengembalikan ruhku hingga aku membalas salamnya.”

Hadis ini memang sulit dicerna oleh logika. Tapi dengarkan cerita saya berikut ini:

Pada 6 Juli 2019, di hari kedua saya menginjakkan kaki di Madinah, Hilda Rahmani, kakak saya yang kini berada di Jakarta, mengirim pesan Whatsapp kepada saya dengan logat Betawi. Dalam dialog itu saya menyebut diri saya ‘’Ami’’, sedang kakak tertua saya ini dipanggil oleh adik-adiknya dengan sebutan ‘’Ci Endah’’, maklum keluarga Betawi. Berikut dialog kami yang saya kutip apa adanya tanpa editing sama sekali:

‘’Assalamualaikum adikku sayang….lagi di mana skrng? Kok tiba2 cndh kangen banget ama ami ye?? Sehat kan mi?’’

‘’Waalaikum salam. Alhamdulillah sehat Ci Endah. Kemarin usai salat maghrib Ami ziarah ke makam Rasulullah SAW. Di depan makam hanya nama Ci Endah yg Ami sebut sesuai pesan di grup.’’

‘’Subhanallaah. Syukran mi. Jadi kangen Madinah.’’

‘’Mungkin karena itu tadi Ci Endah jadi kontak batin. Hebat Allah ya.’’

Di grup Whatsapp keluarga besar, yang anggotanya terdiri atas kakak-kakak dan adik-adik saya, hanya kakak saya Hilda Rahmani yang menitip pesan secara verbal agar saya menyampaikan salamnya pada Rasulullah SAW. Amanat itu saya kerjakan saat saya berziarah ke makam lelaki paripurna itu. Di depan kuburan Nabi, usai saya mengucapkan salam kepada beliau dan kepada sayyiduna Abu Bakar dan sayyiduna Umar bin Khattab, saya berucap dengan bahasa Indonesia: ‘’Ya Rasulallah, kakak saya Hilda Rahmani berkirim salam. Assalamu alaikum ya Rasulallah.’’

Esok hari saya baru tahu, salam yang saya sampaikan di Madinah itu ternyata bergetar sampai Jakarta.

25 Juli 2019

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *