KH. Ahmad Marzuqi Romli atau Mbah Marzuqi sebutan akrabnya, merupakan ulama kharismatik yang berasal dari desa Giriloyo Imogiri Bantul Jogjakarta. Beliau merupakan pengasuh Pon. Pes. Ar-Romli (saat ini diteruskan oleh putranya, KH. Ahmad Zabidi Marzuqi_red). Ayahnya bernama KH Romli, ulama dari Giriloyo yang menjadi Mursyid Thariqoh Syathariah. Mbah Marzuqi lahir sepuluh tahun sebelum KH. Muhammad Munawwir mendirikan Pondok Krapyak, tepatnya tahun 1901 M, dan wafat tahun 1991.
Marzuqi muda merupakan tipologi santri pengelana yang mondok dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Tradisi nyantri seperti ini memang lazim terjadi pada zamannya, sehingga mereka mampu menjadi ulama yang berwawasan luas dan berjiwa tangguh. Mereka paham betul akan kerasnya kehidupan, sehingga mampu menghargai setiap jerih payah keilmuan.
Kisah nyantri Marzuqi kecil dimulai dari usia 4 tahun. Saat itu tahun 1905, oleh keluarganya ia dipondokkan di Pon. Pes. Kanggotan, Pleret, Bantul, dibawah bimbingan KH Zaini. Disana Marzuqi kecil belajar ilmu fiqih mulai dari Safinatun Najah, Fathul Qorib, dan lain-lainnya. Di pondok Kanggotan ini beliau belajar sampai tahun 1910 M di usia 9 tahun.
Selepas dari Kanggotan, ia melanjutkan rihlah ilmiahnya ke ke Ponpes Termas di Pacitan, Jawa Timur, dibawah asuhan KH. Dimyati. Beliau belajar berbagai ilmu agama, seperti fiqih, tasawuf, dan lainnya. Di pondok ini Marzuqi muda belajar selama 4 tahun, dari tahun 1910 sampai tahun 1914 M.
Sepulang dari Tremas, Marzuqi muda melanjutkan ngajinya di Pondok Pesantren Watucongol, Muntilan, Magelang, tahun 1915 sampai tahun 1918. Ia menjadi santri generasi awal dan santri kesayangan dari Kiai Dalhar. Bahkan Marzuqi muda turut membantu membangun pesantrennya Mbah Dalhar. Karena saking dekatnya, Nyai Dalhar ketika memiliki agenda ziarah ke Yogyakarta, selalu menyempatkan silaturahim ke Pesantren Ar-Romli, Giriloyo.
Pulang dari Watucongol, Kiai Marzuqi meneruskan pendikannya di Pondok Pesantren Somolangu, Kebumen, Jawa Tengah, dibawah bimbingan KH. Abdurrauf. Disana beliau mendapat kepercayaan sebagai badal atau pengganti kiai untuk ngajar apabila Kiai Abdurrauf sedang berhalangan atau sakit. Di Somolangu Kiai Marzuqi belajar selama 3 tahun, yakni tahun 1919 – 1922 M.
Tahun 1922 – 1925 M, beliau melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Lirap, Kebumen, Jawa Tengah. Kemudian pada tahun 1926 sampai tahun 1927, beliau pindah ke Pondok Pesantren Jamsaren yang ada di Solo Jawa Tengah. Pondok Jamsaren pada saat itu berada dibawah bimbingan KH. Idris. Sepulang dari Pondok Jamsaren ini beliau menunaikan ibadah haji untuk yang pertama kali dalam hidupnya.
Pada tahun 1927 selepas menunaikan ibadah haji, beliau melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta sampai tahun 1931. Dibawah bimbingan KH. Munawwir, beliau dididik dengan disiplin tinggi dan gemblengan yang matang sehingga bisa menghafal Al-Qur’an 30 juz.
Corak pendidikan Kiai Munawwir ini rupanya membekas pada pribadi Kiai Marzuqi. Dalam mendidik Al-Qur’an kepada keluarga dan santri-santrinya, beliau menerapkan disiplin tinggi. Tidak jarang para santri belajar Al-Fatihah menghabiskan waktu satu sampai tiga bulan. Bukan karena ingin mempersulit, tetapi demi kualitas kelimuan yang benar-benar mumpuni. (An/Md/Rk)
*) Tulisan ini merupakan hasil wawancara tim bangkitmedia.com dengan KH. Ahmad Zabidi Marzuqi, putra KH. Ahmad Marzuqi Romli, pada Senin (12/3/18)