Salah satu santri Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki Makkah yang masyhur di Indonesia adalah KH Najih Maimoen, beliau tak lain adalah salah satu putra Kiai Maimoen Zubair Sarang Rembang. Gus Najih, sapaan akrabnya, dikenal sosok yang ‘alim dan tawadlu’. Kealiman Gus Najih bahkan diakui langsung oleh ayahnya sendiri, Kiai Maimoen. Sejak di Makkah, Gus Najih juga sudah masyhur dikenal anak muda ‘alim yang reputasi keulamaannya sudah diakui banyak ulama.
Di balik kealimannya itu, Gus Najih juga sosok yang sangat tawadlu’. Dikisahkan, suatu hari Gus Najih diundang warga untuk mengisi acara hajatan warga. Tuan rumah (shohibu hajat) sangat senang dengan berkah kehadiran Gus Najih, sehingga ketika hendak pamit pulang, tuan rumah sudah siap-siap dengan amplop tebal yang disimpan rapat disakunya. Inilah kebiasaan warga nahdliyyin yang sangat cinta dengan ulama’nya.
Tanpa basa-basi, tuan rumah menyelipkan amplop berisi jutaan itu ke dalam saku Gus Najih.
“Nopo niki? (Apa ini),” tanya Gus Najih.
“Kersane bah, kersane…” (Mohon diterima Gus).
“Pun, mboten usah, mboten usah…” (Tidak usah), dengan tulus beliau meyakinkan kepada shahibul hajat bahwa beliau tidak berkenan jika shahibul hajat repot-repot untuk “ngamplopi” beliau.
“Kersane bah, niki nyenengne kulo…” (Mohon diterima Gus, demi menyenangkan saya).
Mendengar kalimat ini, Gus Najih langsung membuka amplop itu dan mengambil selembar dan berkata: “Pun, pun kulo tampi, ampun katah-katah…”(Sudah, sudah saya terima tak usah banyak-banyak).
Gus Najih hanya ingin menyenangkan yang “nyangoni” bukan ingin bayaran, apalagi pasang tarif.
Begitulah sosok Kiai Najih Maimoen Zubair Sarang Rembang. Sifat zuhudnya luar biasa, ilmunya juga sangat luas. Perpaduan yang sangat nyata dari sosok ulama’ yang menjadi panutan umat. Semoga Gus Najih selalu diberikan kesehatan, panjang umur, dan setia dalam membimbing santri dan umat. (Abu Umar/Bangkitmedia.com)