Kisah Kiai dan Calon Bupati yang Gagal.
Lumrah adanya jika musim Pilkada, banyak calon sowan kiai. Apalagi kalau bukan mencari dukungan dan doa tentunya. Sebab kiai punya jamaah banyak. Ibaratnya sekali tepuk, semua jamaah manggut-manggut tanda setuju. Jika tidak dukungan ya doa. Pasalnya doa kiai dianggap mustajab. Kasih amplop pasti mau mendoakan. Begitu sesat pikir yang sering digunakan.
Tapi tunggu dulu, tidak semua kiai model beginian. Termasuk kiai kita yang satu ini. Ya, ini masih cerita tentang kiai yang nangkep tuyul dan melepaskan pencuri kotak infaq kemarin.
Baca juga: Ketika Tuyul Beri Tips Aman Simpan Uang
Kisah berawal saat jelang Pilkada salah satu kabupaten di Jawa Tengah. Tak dinyana tetiba ada tamu sowan ke ndalem Pak Kiai. Intinya tamu tadi minta doa restu (dan kalau bisa harus kasih restu) agar Pak Kiai meridloi perjalanan karier politiknya. “Doakan saya ya, Pak Kiai,” ujar tamu tadi yang masih tampak lelah usai menempuh perjalanan berjam-jam.
“Jenengan niku mboten usah maju, tetap jadi pengusaha mawon, mboten usah dados cabup-cabupan,” (Kamu itu tidak usah maju, tetap menjadi pengusaha saja, tidak usah jadi cabup-cabupan-red), tegas Kiai.
“Tapi Pak, yang dukung saya maju banyak lho…”
“Ndak usah, sana pulang saja!”
”Ini sebagai mahar, Pak.” Tamu sodorkan amplop tebal.
“Mboten usah, sana pulang!” Pak Kiai tetap tegas.
“Baru kali ini saya ditolak, baik saya permisi dulu..” Tamu angkat kaki.
Sekira satu tahun berselang. Pak Kiai takziyah saudara yang meninggal di kawasan pantura (Jateng). Di lokasi rumah duka, ada sepasang mata yang terus mengawasi gerak-gerik Pak Kiai. Sampai akhirnya, “Bapak, nanti ikut saya ya, mampir rumah saya sebentar!” pintanya.
“Jenengan sinten nggih?” (Kamu siapa ya-red)
“Saya yang dulu pernah sowan ndalem jenengan pas mau nyalon bupati.”
Baca juga: Kiai dan Kisah Pencuri Kotak Amal Masjid
Pak Kiai menerawang mengingat tamunya yang pernah singgah ke ndalem satu per satu. Dan ingatlah Pak Kiai sosok orang yang mengajak ini.
“Ngapunten kula taksih wonten perlu, kapan-kapan mawon nggih kula mampir,” (Maaf, saya masih ada perlu, kapan-kapan saja ya saya mampir-red), elak Pak Kiai.
“Mboten Pak, sakniki jenengan harus mampir rumah saya,” katanya setengah memaksa.
Singkat cerita Pak Kiai dan rombongan berempat mampir. Di sana sang tuan rumah telah menyiapkan penyambutan. Anak buahnya banyak. Rupanya ia pengusaha sukses otobus.
“Pak Kiai, alhamdulillah dulu jenengan melarang saya maju cabup,” katanya mengawali dialog sambil menyeruput teh nasgitel. “Dan karena saya tidak jadi maju, maka uang saya sekian milyar selamat,” sambungnya. “Kula sekeluarga menghaturkan terima kasih kepada jenengan Pak Kiai, hanya jenengan yang berani melarang saya maju waktu itu,” tambahnya lagi.
Ia lantas bercerita, sepulang dari rumah Pak Kiai dulu, ia sebenarnya marah karena telah ditolak. Namun begitu sampai rumah, ia berpikir yang disampaikan Pak Kiai ada benarnya juga. Apalagi ditambah hasil musyawarah dengan istri, akhirnya tidak jadi maju.
“Iya Pak Kiai, coba suami saya nekat maju, mungkin kami jatuh bangkrut luar dalam,” istrinya menimpali.
Pak Kiai cuma senyum, “Syukur alhamdulillah. Tapi ini saya nggak bisa lama-lama, mau langsung pulang…”
“Pak Kiai, tentu kami tidak bisa menahan jenengan lebih lama di sini, tapi kami berharap jenengan kersa menerima ini.” Pengusaha itu menyodorkan amplop.
“Tidak usah, maturnuwun…” Pak Kiai menolak.
“Mboten Pak Kiai, tolong terima karena ini sebagai wujud syukur kami sekeluarga. Lagipula ini tidak banyak, cuma buat beli bensin karena jenengan mau mampir….”
Hening. Dan tuan rumah nekat memasukkan amplop ke saku baju Pak Kiai. Rombongan undur diri. Di perjalanan Pak Kiai dawuh, “Iki amplop dibuka.”
Isinya: Rp 5 juta. Pak Kiai langsung mentasharufkan, ketiga orang yang menyertainya diberi masing-masing 1 juta. “Yang 1 juta buat makan dan beli oleh-oleh, satu juta sisanya belikan paket sembako bagi ke tetangga kita…” dawuh Pak Kiai lagi.
Ketiga orang yang menyertai Pak Kiai cuma cengar-cengir. Blas nggak nyangka, ikut melayat malah dapat rezeki nikmat. “Baru ini ya kita takziyah, langsung pahalanya terlihat…” celetuk salah satu di antara mereka.
“Pak Kiai, kapan takziyah malih kita siap nderekke?”
“Hussss!”
Dan seisi mobil tertawa. Perjalanan pulang yang teramat ringan plus menyenangkan…
Ngoto, Agustus 2019
Bramma Aji Putra, Humas Kemenag DIY dan Pengurus LTN PWNU DIY
________________
Semoga artikel Kisah Kiai dan Calon Bupati yang Gagal ini memberikan manfaat dan barokah untuk kita semua, amiin..
simak artikel terkait di sini
simak video terkait di sini