Kisah KH Noer Muhammad Iskandar Ubah Sarang Jin Menjadi Sarang Santri

Kisah KH Noer Muhammad Iskandar Ubah Sarang Jin Menjadi Sarang Santri

Kisah KH Noer Muhammad Iskandar Ubah Sarang Jin Menjadi Sarang Santri

Keluarga besar Pondok Pesantren Asshiddiqiyah amat sangat berduka atas kembalinya KH. Nur Muhammad Iskandar, SQ. MA. ke haribaan-Nya, hari ini Ahad, 13 Desember 2020/ 28 Rabiul Akhir 1442 H.

KH. Noer Muhammad Iskandar, SQ. M.A, lahir pada 5 juli 1955 di Sumber Beras, Banyuwangi, Jawa Timur. Beliau merupakan putra ke sembilan dari sebelas bersaudara, dari pasangan KH. Iskandar dengan Nyai Robiatun.

Ketika berusia 27 tahun atau tepatnya pada tahun 1982, KH. Noer Muhammad Iskandar., S.Q., M.A melepas masa lajangnya dengan menikahi Siti Nurjazilah, putri KH. Mashudi asal Tumpang, Malang, Jawa Timur. Nyai. Nurjazilah juga pernah memimpin Pondok Pesantren Putri Cukir Tebuireng, Jawa Timur.

Pernikahan berlangsung di kediaman KH. Mashudi yang waktu itu hadir dua tokoh besar kiai Jawa Timur yaitu KH. Makhrus Aly sebagai wakil dari keluarga KH. Noer Muhammad Iskandar., S.Q., M.A, sedangkan dari Nyai. Hj. Nur Jazilah yaitu KH. Adlan Aly pimpinan Pondok Pesantren Cukir Tebuireng Jombang, Jawa Timur. Pada itu akad nikah di lakukan oleh KH. Adlan sedangkan yang menjadi khutbah nikah adalah KH. Makhrus Aly.

Seminggu setelah pernikahan beliau kembali ke Jakarta bersama istrinya setelah beberapa hari di Jakarta beliau masih belum mendapatkan tempat tinggal, beliau masih hidup dari satu rumah ke rumah teman lain. Hingga akhirnya beliau dengan terpaksa berbicara kepada keponakannya Dra. Marsyidah Tahir untuk menitip istrinya dengan alasan bisa menemaninya sebagai teman bicara dan berbagi cerita.

Kemudian beliau mulai memantapkan kembali yayasan al-Muhlisin di Pluit, setelah itu banyak sekali keberkahan yang di dapat mulai dari mengisi ceramah agama di radio CBB hingga banyak permintaan masyarakat untuk mengisi ceramah di berbagai daerah.

PENDIDIKAN

KH. Noer Muhammad Iskandar., S.Q., M.A memulai pendidikannya di pesantren tradisional Sumber Beras, Banyuwangi, Jawa Timur, yang langsung di asuh oleh ayahnya sendiri KH. Iskandar. Setelah menamatkan pendidikan dasar di madrasah ibtidaiyah, tahun 1967 beliau melanjutkan ke Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, Jawa Timur, yang pada waktu itu di asuh oleh KH. Makhrus Aly. Di Pondok Pesantren Lirboyo beliau pernah memimpin ikatan santri Banyuwangi. Pada tahun 1974 beliau lulus dari Pondok Pesantren Lirboyo kemudian melanjutkan kuliah di PTIQ (Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an) Jakarta.

MENDIRIKAN PESANTREN

Sebelum mendirikan pesantren, sahabatnya KH. Noer Muhammad Iskandar., S.Q., M.A, Ir.H. Bambang Sudaryanto kepala PPL Pluit datang kepadanya, ia bercerita kesuksesannya yang terkait pantai Mutiara Indah, Pluit. Kedatangannya kali ini, ingin berterimakasih atas doa yang telah Kiai Noer berikan padanya.

Ia memberi hadiah kios kecil dan biaya untuk berangkat haji, syukur tiada tara atas hal tersebut. Kemudian ketika hendak mendaftarkan diri untuk berhaji ternyata pendaftarannya sudah tutup hingga akhirnya Kiai Noer bertemu kawan lama H. Rosyidi Ambari yang telah menjadi asisten menteri agama saat itu. Ternyata H. Rosyidi sudah lama mencari Kiai Noer untuk diminta mengelola sebidang tanah di Kedoya untuk dijadikan lembaga pendidikan.

Untuk memberikan jawaban seperti biasa Kiai Noer harus menunggu isyarat langit, istikhoroh. Isyarat yang ia dapatkan bahwa lahan itu memang baik dan prospektif. Meski begitu kepada H. Rosyidi beliau masih belum memberi jawaban menerima atau menolak. Beliau tetap menjawab tawarannya sepulang dari tanah suci.

Saat itu, ia baru punya satu anak Noor Eka Fatimatuzzahra. Namun beliau tetap bisa mendiskusikan pada istrinya. Setelah mendengar berbagai pertimbangan dari beberapa kiai dan guru-guru. Pada tahun 1984, ia menyatakan menerima itu kepada H. Rosyadi Ambari, namun H. Rosyadi membawa beliau ke rumah H. Djaani sehingga seluas 2000 meter tanah wakaf.

Langkah pertama yang ia tangani adalah membangun musholah kecil dari triplek. Modal pembangunannya dari bapak H. Abdul Ghani putra ketiga H. Djaani. seperti kisah sukses pada umumnya, Asshiddiqiyah pun merintis dengan keprihatinan. Bahkan kini di Kedoya dari lahan wakaf yang seluas 2000 M telah berkembang menjadi 2,4 hektare, Batuceper sudah berkembang menjadi 6 hektare, yang di Cilamaya menjadi 11 hektare dan yang di Cijeruk menjadi 42 hektar. Semua cabang-cabang ini sudah dalam perencanaan besar untuk perkembangan perkembangan.

Kisah KH Noer Muhammad Iskandar Ubah Sarang Jin Menjadi Sarang Santri

Dari Sarang Jin Hingga Menjadi Sarang Santri

Dalam sebuah kesempatan upacara memperingati HUT Ri yang ke-71 dan Harlah Pondok Pesantren As Shiddiqiyyah yang ke-31 KH. Nur Muhammad Iskandar bercerita kepada santri-santrinya.

Ketika itu KH. Nur Muhammad Iskandar hendak kembali ke kampung halamannya di Banyuwangi, namun berkat perintah gurunya Kiai Makhrus Aly Lirboyo, KH. Nur Muhammad Iskandar diminta untuk tetap di situ (Jakarta) dan mewajibkan dirinya untuk tetap di Jakarta.

KH. Nur Muhammad Iskandar melanjutkan ceritanya bahwa dulu tempat ini (Pondok Pesantren) pada awalnya berupa semak belukar dan banyak lubang-lubang, ada kuburan dan santri-santri pertama dulu sering ketika berwudlu dikira menggunakan gayung tapi ternyata yang di pegang adalah tulang tangan manusia.

Tapi Alhamdulillah dulu di tempat ini yang dulunya adalah tempat Jin membuang anak, namun sekarang Alhamdulillah tempat orang-orang menitipkan anak untuk dikader menjadi ulama-ulama yang insya Allah akan manfaat, dan Alhamdulillah tidak hanya santri indonesia, namun juga ada santri dari Thailan.

Dalam akhir pesannya KH. Nur Muhammad Iskandar memberikan pesan kepada santrinya bahwasannya di Pondok Pesantren yang terpenting adalah mentati peraturan di Pondok Pesantren. Jika itu dilakukan InsyaAllah akan menjadi orang yang mulia.

Demikian Kisah KH Noer Muhammad Iskandar Ubah Sarang Jin Menjadi Sarang Santri. Semoga bermanfaat.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *