Diantara Guru Syaikhina KH Dimyati Rois adalah Simbah KH Mahrus Aly Lirboyo.
Setelah Mbah Dim boyong dari Lirboyo, beliau kembali ke Pondok Kauman Kaliwunggu. Yai Mahrus Aly mendatangi Mbah Dim guna menitipkan putranya Gus Abdulloh Kafabihi. Karena ta’dziman, Mbah Dim pun sendiko dawuh untuk ngulowentah putra gurunya tersebut.
Waktupun berjalan. Selang beberapa tahun, Mbah Dim nimbali Gus Kafa. Abah lebih suka memangil dengan pangilan Fabih.
“Bih, kamu mulai sekarang pulang saja.”
“Dospundi, Abah. saya belum bisa apa-apa?”
“Nanti kamu baca kitab Hadis Jawahirul Bukhori di Lirboyo dan nanti saya yang akan mengantar kamu,” jawab Mbah Dim.
Karena ini perintah guru, walau gundah-gulana Gus Kafa pun mau pulang ke Lirboyo dengan sarat unik, yakni Mbah Dim juga harus nginap di Lirboyo untuk beberapa bulan.
Akhirnya deal dan Gus Kafa pun mbalah Kitab Hadis Jawahirul Buchori bersama santri-santri. Karena Gus Fabih konsentrasi dengan ngajinya di minggu-minggu awal, Mbah Dim secara diam-diam kondur ke Kaliwunggu. Lama-lama, Gus Kafa tahu tentang hal ini. Beliau tidak melanjutkan kajianya malah berangkat lagi ke Kaliwunggu.
Mbah Dim kaget karena tahu muridnya sudah di pondok lagi.
“Lhoh, kenapa kamu balik lagi ke sini?”
“Lha wong Panjenengan kondor ke sini kok.”
“Ya sudah, kamu harus lebih sregep ngaji di sini.”
Walhasil, baik di pondok atau di sawah, ketika Mbah Dim mulang ilmu maisyah dengan para santri ndalem, Mbah Dim selalu menyempatkan mulang baik ilmu kitab ataupun ilmu lelampahan atau prilaku.
Satu waktu, Kiai Kafabihi muda sowan ke Mbah Dim. Beliau curhat perihal kok hari-hari ini di pesantren merasa gelisan.
“Ya sudah, kamu kalau mau tidur wudlu terus baca ta’awudz (audzubillah..) 3x, kemudian baca Bismillah 21x. Insyaalloh kamu saat malam akan bermimpi dan kamu ke sini lagi ceritakan mimpimu ke Abah,” jawab Mbah Dim.
“Injih, sendiko dawuh,” sahut Gus Fabih.
Terbukti poro rawuh, Gus Fabih bakdo subuh bergegas sowan matur ke Mbah Dim, bahwa mimpinya malam itu seakan-akan ia berada di pelaminan, akan tetapi mempelai wanitanya tidak ada.
“Kamu mulai hari ini jangan keluar!”
“Wonten nopo, bah?”
“Pokoknya jangan keluar-keluar pondok.”
Beberapa hari dari mimpi kejadian itu, ada berita bahwa Simbah Nyai Mahrus Aly Lirboyo wafat.
Sebenarnya Mbah Nyai Mahrus di hari-hari sebelum wafat akan mengantarkan adik-adik Gus Kafabihi, yaitu Gus Zam Zam dan Gua An’im Falahudin mengikuti jejaknya nyantri di Jagalan Kaliwunggu, tapi takdir Allah berjalan sesuai dengan skenarioNya.
Setelah 40 hari dari wafatnya Mbah Nyai, karena sudah menjadi cita-cita Hadrotussaih KH Mahrus Aly, maka Gus Zamzami dan Gus An’im dititipkan kepada KH Dimyati Rois yang juga murid kinasih Mbah Mahrus.
Ada dialog yang masih sangat Mbah Dim kenang dari Mbah Mahrus.
“Dim… Anak-anakku iki sopo sing paling ngalim…?”
“Mugi-mugi ngalim sedoyo Yai.”
Mbah Mahrus pun menangis haru.
Singkat cerita, berapa tahun kemudian Gus Zamzami muda matur ke Mbah Dim.
“Mbah Dim, kulo pingin ngalim tapi cepat, ngak pakai lama mondoknya?”
“Kamu itu aneh-aneh.. Mondok iku kudu tuli zaman, yo Zam.”
“Tapi saya pengin cepet, Mbah.”
Sambil Mbah Dim ngujeng, kemudian diam sejenak, lalu beliau dawuh.
“Pangilkan Nasrul, ya Zam.”
Nasrul adalah salah satu santri.
“Mengko Nasrul ke sininya bersama kamu.”
“Njih Mbah..” Gus Zam bergegas mencari Si Nasrul.
Singkat cerita, datanglah Nasrul di hadapan Mbah Dim.
“Nasrul, kamu mau tidak Ngaji Kitab Iqna’?”
“Injih nderek dawuh purun Mbah.”
Mbah Dim kemudian melontarkan pertanyaan ke Gus Zamzami.
“Zam, kamu berani tidak mbalah Kitab Iqna’?”
“Wantun mBah.”
“Sing bener..?”
“Wantun, Insyaalloh.”
“Pengen ngaji sama santri banyak atau cukup sama Nasrul saja?”
“Sama Nasrul saja mBah.”
“Ya sudah, sekalian kamu belikan Nasrul kitabnya ya.”
Walhasil, beliau memulai ngaji bulan Muharom dan khatam pada bulan Sya’ban di tahun yang sama.
Sebelum khataman sebagai tradisi di Pesantren Al Fadhlu dan mungkin di pesantren lain, si Qori’ sowan ke pengasuh untuk ijazahan sanad dan doa kemanfaatan ilmu. Gus Zam sowan ke Mbah Dim untuk meminta agar Mbah Dim yang berdoa Ikhtitam.
“Aku gelem ndongakno awakmu tapi ono sarate.”
“Saratipun punopo mBah?”
“Yo mengko sak bakdone ndongo tak omongno”
“injih mBah..”
Walhasil di hari yang ditentukan, Mbah Dim berdoa khataman kitab Iqna’. Setelah selesai, Kiai Zamzami muda berkata, “saratipun punopo mBah..?”
“Sarate awakmu boyong sekarang juga dan ini tidak boleh ditawar!”
Mbah Dim memuji bacaan kitabya Kiai Zamzami enak dan bagus seperti guru beliau Simbah Zubair Dahlan Sarang Rembang.
Penulis: Syukron Aghitsna, santri Mbah Dimyati Kaliwungu Kendal.