Kisah Imam Ghazali Berpakaian Kumal Penuh Tambalan di Pedalaman Hutan

Kisah Imam Ghazali Berpakaian Kumal Penuh Tambalan di Pedalaman Hutan

Kisah Imam Ghazali Berpakaian Kumal Penuh Tambalan di Pedalaman Hutan.

Yang terkenal di langit. Ketika sakaratul maut menghampiri Imam Junaid al-Baghdadi, muridnya, yakni Syaikh Abu Muhammad al-Jariri mendekati dan bertanya pada beliau:

“Apakah anda punya keinginan?”

“Iya. Jika aku mati, mandikan, kafani, dan shalati aku,”

Seketika Syaikh Jariri menangis pilu, dan di ikuti para santri yang bersamanya.

“Aku punya keinginan lain,” sambung Imam Junaid al-Baghdadi.

“Apa itu?”

“Tolong buatkan makanan walimah untuk para santri. Ketika mereka bubaran dari pemakaman jenazah, agar kembali lagi kesini untuk makan. Itu agar hati mereka bersatu, tak terpecah, terserak!”

“Huaaaa!!!!” Syaikh Jariri tambah keras tangisnya.

Dan setelah kewafatan Imam Junaid. Segala pesannya dilakukan sebaik-baiknya oleh para santri.

Waktu itu. Imam Junaid punya tetangga yang tertimpa musibah dan suka berteduh di reruntuhan perumahan; tempat sepi. Mengetahui kewafatannya. Ia langsung berlari menuju dataran tinggi dan berteriak sekerasnya:

“Hoiiii!!! Susahnya aku! Berpisah dengan kaum yang laksana lentera dan benteng. Mereka bak kota, bagai awan pembawa hujan, laksana gunung. Mereka bagai bumi subur aman yang nyaman ditempati.

Malam-malam tak menggoyahkan kami, hingga kematian merenggut mereka.

Setiap percik api dari mereka, bagi kami menjadi penjaga-penjaga hati. Dan setiap tetes air dari mereka, bagi kami, menjadi lautan!”

***

Pernah suatu ketika, ada seorang ulama melihat Imam Ghazali radhiyallahu anhu berada di pedalaman hutan. Beliau hanya berpakaian kumal penuh tambalan dan di tangannya memegang tongkat serta wadah air dari kulit.

Karena penasaran. Ia menghampiri dan bertanya pada beliau:

“Ya, Imam! Bukankah mengajar di Baghdad lebih baik dari ini?”

Imam Ghazali melirik tajam, tanda tidak senang. Lalu berkata tenang:

“Ketika keberuntungan bak rembulan nampak di cakrawala kehendakNya. Dan ketika sorot mentari wushul terlihat jelas (Keadaan dimana seorang hamba mampu merasakan kehadiran sang pencipta), kutinggalkan kesenangan dan kebahagiaan malamku dalam pengasingan. Lalu ku kembali ke yang pertama kali disanding di tempat peristirahatan. Mereka yang lebih dulu kasmaran berkata padaku: ‘Pelanlah, sebab ini adalah tempat yang dicinta. Pelanlah, dan bertempatlah di sini.’”.

Itulah Kisah Imam Ghazali Berpakaian Kumal Penuh Tambalan di Pedalaman Hutan.

***

Mensifati rejalullah (para lelaki pilihan Allah) dan khalifah-khalifahNya, Amirul Mukminin Sayyidina Ali karramallahu wajhah berkata:

“Mereka sangat sedikit jumlahnya. Namun, sangat agung derajadnya disisi Allah. Dengan perantara mereka, hujjah-hujjah Allah tegak! Mengalahkan penentangnya. Bak tanaman, mereka tanamkan ilmu-ilmunya di hati para pencabarnya. Mereka anggap lunak, apa yang orang-orang benci. Mereka anggap bahagia, apa yang membuat orang-orang bodoh gelisah. Badan mereka bergerak di dunia, namun arwahnya menatap lekat pada yang maha tinggi. Merekalah para khalifah Allah ta’ala di negara-negaraNya. Para pendakwah agamaNya. Ah. Ah. Ingin sekali hati melihat mereka.”

أُولَٰئِكَ حِزْبُ اللَّهِ ۚ أَلَا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya Hizbulloh itu adalah golongan yang beruntung.” (Qs. AlMujaadilah 22).

Wallahu a’lam bis-Shawaab.

Sumber: Kitab Dakwatut-Taammah Imam Abdullah al-Haddaad. 27-28.

Penulis: Gus Robert Azmi, Nganjuk.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *