Kisah Hikmah Tanah Suci: Para Wartawan Menggendong Ibu “Kritis”

Kisah Hikmah Tanah Suci: Para Wartawan Menggendong Ibu "Kritis"

Kisah Hikmah Tanah Suci: Para Wartawan Menggendong Ibu “Kritis”.

KH Helmi Hidayat, dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Para jurnalis itu telah “berhaji” di jabal rahmah.

Bumi yang semula terang tiba-tiba temaram lalu mendadak gelap. Tapi kepengapan akibat gelap itu tak lama dirasakan oleh Rahman Putra karena setelah itu ia mendadak disergap perasaan senang luar biasa. Wartawan TV One yang sedang bertugas meliput penyelenggaraan haji 2019 di Mekkah itu merasa sangat bahagia, terutama ketika anaknya yang telah wafat datang menghampirinya.

Rahman memandangi anak kesayangannya itu lamaaaaaa sekali tanpa bisa menyentuhnya, hingga tak terasa airmatanya menetes. Tak lama kemudian dua anaknya yang masih hidup juga menghampirinya, didampingi ibu mereka. Airmata yang menetes deras itu pelan-pelan diusap oleh Sitria Hamid, wartawan Media Indonesia, dan Agung Legiarta, jurnalis iNews TV. Kedua wartawan yang juga tergabung dalam tim Media Center Haji (MCH) itu berdiri di samping Rahman.

Ya …, Rahman memang tak mungkin menghapus airmatanya sendiri. Ia tengah terbaring tak berdaya di Klinik Kesehatan Haji Indonesia (KKHI) Mekkah ketika ‘’melihat’’ anaknya muncul dari alam barzah dan istri serta dua anak lainnya yang masih hidup menghampirinya dari Jakarta. Ketika keluarganya ‘’datang’’, ia sedang jatuh pingsan. Jarum suntik menghunjam lengannya bersambung dengan selang infus yang menggelantung.

Mimpi bahagia itu adalah penggalan paling akhir dari kisah heroik yang diingat Rahman usai ia dan kawan-kawannya sesama tim MCH menyelamatkan Siti Aminah Takrip Abu, perempuan usia lanjut asal Surabaya, Jawa Timur, yang jatuh pingsan saat mendaki Jabal Rahmah. Rahman kemudian tak ingat apa-apa lagi bahkan ketika Satwika, rekannya dari MetroTV, juga harus diinfus di sampingnya karena penyakit asam lambungnya kumat akibat panik. ‘’Kisah ini tak mudah kami lupakan,’’ kenang Denny Armandhanu, wartawan Kumparan.com.

Orang pertama yang melihat Aminah hampir pingsan adalah Fajar Hernanto, staf humas Kementerian Agama yang tergabung dalam tim (MCH). Saat itu ia sedang merekam fenomena ‘’Gunung Cinta’’ pada Rabu pagi menjelang siang, 31 Juli 2019, berama Didah Kholidah, rekannya sesama staf humas Kemenag. Fajar mendadak menghentikan rekamannya ketika kameranya tanpa sengaja merekam Aminah yang sedang terengah-engah di antara batu-batu besar gunung cadas itu. ‘’Woi, ada nenek-nenek jatuh pingsan, cepat bantu merapat,’’ teriak Fajar sambil berlari.

Fajar tak sendirian menggotong Aminah. Estafet memboyong perempuan tua itu segera dilanjutkan oleh Rahman. Ketika ia sudah terlihat lelah menuruni batu-batu cadas padahal ada Aminah yang terkulai lemas di kedua tangannya, Denny Armandhanu segera menyongsongnya membantu. Di samping Denny ada Fitria Herbiyanti, reporter TVRI yang terus-menerus menyemprotkan air ke wajah Aminah yang sudah pasrah. Sementara Widi Agustian, reporter Okezone, buru-buru mencopot sorbannya untuk menutupi aurat Aminah yang tersingkap.

Para jurnalis yang setiap harinya berkutat dengan pena ini tiba-tiba saja berubah jadi tim Avangers yang bahu-membahu menolong perempuan tua.

Denny awalnya menduga perempuan yang ia bopong adalah jemaah haji asal India, tapi ia tak peduli. Jemaah dari negeri mana pun, kata dia, akan tetap dibantu jika darurat. Apalagi ia mengaku pernah berkali-kali membantu menuntun banyak perempuan tua asal Turki atau Afrika Selatan turun dari gunung yang diyakini sebagai tempat pertemuan Adam dan Hawa itu.

’’Nenek yang saya bopong ini sudah lunglai, matanya setengah terbuka, mulutnya menganga. Saat itu juga saya menuntunnya mengucapkan talkin,’’ jelas Denny.

Para jurnalis ini kemudian menuju rumah sakit Arafah, tak jauh dari Jabal Rahmah. Tapi rumah sakit ini hanya buka di musim haji. Akhirnya, dengan mobil MCH, mereka ngebut membawa Aminah menuju KKHI. Mereka berpacu dengan waktu. Di dalam mobil sepanjang perjalanan, para jurnalis ini terus-menerus melantunkan tahlil, berharap keajaiban terjadi. Di tengah suara tahlil itulah kemudian tiba-tiba terdengar teriakan Rahman dari bangku depan: “Bagi air dong!” – itu tanda-tanda jurnalis TV One ini mengalami dehidrasi dan kelelahan.

Aminah tak lama berada di KKHI karena dokter langsung memerintahkan nenek itu diangkut ke RS King Fahd, Arab Saudi, dengan ambulans. Para jurnalis yang tadi panik itu tetap berada di KKHI, duduk di lobby sambil terus mendoakan Aminah semoga nyawanya terselamatkan. Nah, ketika itulah Rahman pelan-pelan roboh di sofa yang didudukinya, untuk kemudian tak sadarkan diri. Kepanikan kedua para jurnalis itu pun terulang kembali sampai pada akhirnya Rahman diinfus.

Sampai titik tertentu, para jurnalis ini sesungguhnya telah melakukan esensi ibadah haji yang paling mendasar di Jabal Rahmah – ya mereka telah melakukan ‘’haji’’ di Gunung Cinta itu!

Jika tawaf adalah adalah mengelilingi Kabah tujuh putaran, para jurnalis itu telah melakukan ‘’tawaf’’ dengan tergopoh-gopoh penuh cemas menuruni batu-batu cadas menggendong Aminah.

Jika sa’i adalah bahasa Arab yang berarti ‘’berusaha’’, mereka sungguh telah berusaha keras menyelamatkan satu nyawa. Menyelamatkan satu nyawa di mata Allah sama dengan menyelamatkan nyawa seluruh manusia.

Jika saat berhaji jemaah menggunakan baju ihram, simbol yang menandakan bahwa sejak berpakaian dua lembar kain itu mereka mengharamkan diri dari hal-hal yang dilarang Allah selama berihram, para jurnalis ini pun sejatinya sedang ‘’berihram’’ dengan baju seragam petugas haji yang mereka pakai. Bukankah akibat mereka mengenakan baju seragam itu, jemaah tak mau tahu apakah mereka wartawan, dosen, karyawan Setneg, kepala sekolah, atau direktur bina petugas, bahkan dirjen haji sekali pun? – semuanya adalah petugas haji yang layak dimintai tolong!

‘’Kami saat itu mengenakan seragam petugas haji, ini kan wajib dikenakan setiap saat, sehingga kamilah yang dimintai bantuan ketika ada masalah terhadap jemaah,’’ jelas Denny.

Dari semua itu, para jurnalis ini sejatinya tengah menggapai esensi haji yang paling mendasar, yaitu ‘’al-birr’’ atau kebaikan pada kemanusiaan. Orang yang sudah meraih ‘’al-birr’’ disebut ‘’mabruur’’. Biar pun seseorang telah berlelah-lelah wukuf di Arafah, berdiam malam hari di Muzdalifah, menginap di Mina, melempar tiang simbol setan, lalu berkeliling tujuh putaran di samping Kabah dan melakukan sa’i antara Shafa dan Marwah dalam melakukan ibadah haji, tapi setelah itu tetap saja sepulang ke tanah air ia melakukan korupsi, menindas orang, jahat pada keluarga, zalim pada binatang dan tumbuh-tumbuhan termasuk masih doyan buang sampah sembarangan, ibadahnya tetap saja tak dianggap ‘’mabrur’’ oleh Allah.

Saya sungguh kagum pada ketulusan dan keseriusan mereka bekerja sesuai profesi masing-masing. Mereka betul-betul melakukan ‘’al-birr’’. Betapa serius mereka ingin menolong Aminah, para jurnalis yang setia menunggu Rahman siuman dari pingsan itu kaget luar biasa ketika seorang dokter KKHI menghampiri mereka lalu berkata lirih: ‘’Mas … Mbak … Aminah tak tertolong, dia baru saja meninggal ….’’

Selamat jalan Aminah, kepergianmu diiringi para ‘’haji’’ yang tulus membela kemanusiaan …

1 Agustus 2019.

___________________

Semoga artikel Kisah Hikmah Tanah Suci: Para Wartawan Menggendong Ibu “Kritis” ini memberikan manfaat dan barokah untuk kita semua, amiin..

simak artikel terkait Kisah Hikmah Tanah Suci: Para Wartawan Menggendong Ibu “Kritis” di sini

simak video terkait Kisah Hikmah Tanah Suci: Para Wartawan Menggendong Ibu “Kritis” di sini

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *