Kisah Hidupku Bersama Mbah Yai Maimoen

Cara Mbah Maimoen Didik Anak-anaknya

Saat itu, tahun 2003 saya diantarkan mondok oleh Salah satu Alumni Pondoknya Mbah Yai, Pak Muhaimin kamar 48.

Setelah itu saya ikut grup Hadroh Pondok Pesantren Al-Anwar. Saat itu 2003, Beliau memberikan naskah “Sa’duna” kepada anak hadroh pondok. Sehingga selalu dilantunkan saat haflah mulud. Teks itu pun difotokopi dan saya juga menyimpan copiannya.

Pada saat lulusan Muhadloroh angkatan tahun 2007/2008, anak kelas enam membuat memori kelas enam yang berjudul “Zayyanna”. Pada waktu itu, saya mengusulkan kepada team memori untuk memasukkan teks “Sa’duna” pada memori.

Bacaan Lainnya

Mulai saya kelas lima dan pada waktu itu ketua jomblo adalah pak dawam, saya mulai meneliti dan menulis pujian-pujian sebelum sholat di Musholla Pondok. Setelah itu, tulisan itu diprint dan ditempelkan di dinding musholla bagian selatan dan utara.

Karena seringnya mendengar doa Yai setelah sholat, saya sedikit banyak sudah hafal doa itu, dan mulai menulisnya. Setelah tertulis dan diprint, saya tunjukkan tulisan wiridan serta doa Yai kepada Yai sendiri, dengan maksud ditashih oleh Yai. Dan seingat saya pak dawam pun juga saya repoti pada waktu itu.

Setelah beberapa kali bolak-balik karena tashihan (edit, matur, edit, matur) maka wiridan dan doa Yai sudah siap untuk pribadi saya. Itu pada tahun 2006 akhir.

Agar manfaat untuk para santri dan alumni, Saya minta izin untuk dicetak, saya beralasan kepada Yai agar para santri dan alumni yang di rumah bisa wiridan dan berdoa seperti doa beliau.

“Kanggo opo?”.

“Supados santri soho Alumi saget wiridan kados njenengan”.

“Iyo-iyo, Kowe iku santri cilik aneh-aneh”.

“Yai, angsal kulo cetak?”.

Akhirnya, Yai mengizinkan saya. Saat memberikan izin, Yai saat itu berada di ruang di antara Ndalem Yai dan Ndalem Gus Idror sekarang. Tulisan yang berupa wiridan setelah sholat beserta doanya, pujian sebelum sholat di Musholla itu dicetak pertama kali bersama dengan Yasin Fadlilah perubahan pada tahun 2008 (Romadlon 1429 H). Dan berbentuk buku saku lumayan tebal, bersampul hijau.

Sayyid Muhammad wafat tahun 2005 dan doa pada Yasin Fadlilah masih tetap kepada Sayyid, tidak dirubah. Baru pada tahun 2007 Awwal (seingat saya) baru mulai merubah doa pada Yasin Fadlilah.

Pada awalnya, Doa yang ditulis menggunakan redaksi:

…عبديك الشيخ ميمون زبير والسيد أحمد بن محمد.

Tetapi karena tawadlu’ Yai, beliau tidak mau didahulukan. Sehingga redaksi pun dirubah menjadi:

…عبديك السيد أحمد بن محمد والشيخ ميمون زبير

Beliau merasa tidak pantas mendahului Sayyid Ahmad, cucu dari Sang Guru, Sayyid Alawi.

Setelah lulus dan menjadi mutakhorrij Muhadloroh, sedikit demi sedikit menulis (mengetik) dziba’, barzanji, dan doa atau bacaan pada saat kegiatan pondok atau yang diamalkan oleh Yai di musholla seperti sholat Sunnah Lidaf’il bala’ (Rabu wekasan), kegiatan nishfu Sya’ban. Dan itu diambilkan dari kitab Kanzun Najah Wassurur. Saya pinjam kitab Kanzun Najah milik Yai untuk diambil dua doa pada kegiatan itu. Hal itu karena dulu Yai pada saat Nishfu Sya’ban dan Rabu wekasan selalu membawa kitab itu ke Musholla.

Sebelum itu, saya perhatikan beliau selalu membaca doa setelah Yasin di Musholla (Selasa Jum’at), dan njanggol-njanggol untuk melihat kitab yang dibaca. Ternyata Syawariq. Maka itu pun dibuat referensi untuk menambah tulisan.

Dan banyak lagi… Perjalanan untuk setiap huruf yang tertulis.

Setelah diprint dan berbentuk buku, setiap kali diba’an saya selalu membawa buku itu. Suatu saat pak Syauqi lekok Pasuruan melihat buku itu, ia mendorong untuk dibukukan secara resmi. Saya tidak berani melakukannya sebelum lumayan lengkap dan minta izin Yai.

Setelah mendapatkan izin untuk dicetak, maka buku yang dulu pernah saya sowankan kepada Salah satu Putra dan diberi semacam nama:

الأوراد والأذكار والأدعية والمدائح النبوية
المقروءة في المعهد الديني الأنوار

Karena saat proses pengetikan di komputer salah satu Putra Yai yang lain, maka harus meminta izin kepada pemilik komputer. Dan diberi nama:

النبذ الميمونية
وفوائد الأخيار
في الأوراد والأذكار والأدعية والمدائح النبوية
المقروءة في المعهد الديني الأنوار

Karena berbagai macam proses, maka saya matur lagi kepada Yai tentang nama buku itu. Oleh Yai, kata الميمونية diperintahkan untuk dihapus. Saya bingung harus bagaimana, sehingga akhirnya matur lagi kepada Yai dan Yai dawuh:

نبذة الأنوار

Selesai sudah soal nama. Dengan berbagai pertimbangan, maka buku yang sudah jadi dan beres itu diserahkan kepada Pondok untuk dicetak. Sebelum itu, tentu sudah saya mintakan ijazah kepada Yai dan buku itu tertib tanpa ada nama dan saya tidak mengambil keuntungan satu rupiah pun dari itu.

Mengapa harus menyebut begitu?. Karena saat awal proses, saya dianggap mencari untung rupiah dan untuk nama.

Syaikhona pun akhirnya juga memberikan kalimah taqridl untuk itu. Dan setelah itu, Beliau sering menanyakan kapan dicetak kapan dicetak.

Saya bingung karena ada masalah. Karena sumpek, saya mengadu kepada Mbah Zubair. Saya mengadu kepada ALLOH lewat Ziarah Mbah Zubair. Setelah itu, belum sampai dua hari saya mengadu, Alhamdulillah:

سيجعل الله بعد عسر يسرا

Sebelum dicetak, buku itu telah dibaca khatam dua hari pada akhir-akhir bulan Romadhon 1433 di Maqbaroh Mbah Zubair, Simpek.

Akhirnya, buku itu dicetak pertama kali oleh LTN Pondok pada bulan Robi’ul Awwal, pada saat ketua Pondok pak Ahmad Muntaha, dengan layout pak Shofiul Fuad. Setelah dibaca oleh beberapa tetua Pondok, dan disowankan kepada semua putra maupun putri Syaikhina.

Pada sambutannya, Beliau mengharapkan agar buku itu bermanfaat bagi kita (santri) dan ikhwan.

Semoga kita tetap bisa mengamalkan amalan yang dulu diamalkan di Pondok, sedikit demi sedikit.

Setelah beberapa waktu mondok dan berkhidmah, 23 hari sebelum wafat, Yai memerintahkan santri kecil ini untuk muqim di daerah yang jauh dari Sarang. Saya pulang dengan meneteskan air mata, karena saya masih berkeinginan untuk bolak-balik Kramatsari-Sarang. Saat bertemu Yai, Beliau tidak berkenan saya bolak-balik.

Akhirnya pulang, tapi saya merasa lebih dekat dengan Sarang saat jauh dari Sarang. Jauh di mata, tapi semakin bertambah dekat di hati.

Semoga buku itu menjadi Salah satu Atsar atau tinggalan baik Syaikhina yang dengan sabarnya melayani kengeyelan dan ngambeknya santri kecil ini.

إنا نحن نحيي الموتى ونكتب ما قدموا وآثارهم، وكل شيء أحصيناه في إمام مبين.

Setelah beberapa hari, rasa kangen bersama Yai itu muncul. Saya menulis sesuatu dan saya kirimkan di fb sebagai pengobat rasa rindu, sehari/dua hari sebelum beliau berangkat haji. yakni: Perpisahan ini bukanlah untuk berpisah.

Dan akhirnya memang tidak bisa terulang lagi.

Ditulis dan diterbitkan di Kramatsari, Pekalongan Barat, Kamis Pahing, 14 DzulHijjah 1440 H/ 15 Agustus 2019 M, setelah memperingati tujuh hari wafatnya Syaikhona Maimoen Zubair.

غفر الله له ونور ضريحه ورحمه رحمة الأبرار، برحمة الله العزيز الغفار، وصلى الله وسلم على سيدنا محمد المختار، وعلى آله الأطهار، وأصحابه الأخيار، ما دام اختلاف الليل والنهار، آمين آمين آمين والحمد لله رب العالمين.

Penulis: Kanthongumur, santri Sarang.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *