Kisah Anjing Menolak Masuk Surga

Kisah Anjing Menolak Masuk Surga

Kisah Anjing Menolak Masuk Surga.

Oleh KH Helmi Hidayat, dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ini adalah hari terakhir Syekh Fathurahman Ad-Dimasqi dikurung di rumahnya sendiri. Orang-orang di kampungnya sejak tiga hari lalu mengepung rumah sufi asal Damaskus ini setelah mereka memergoki Syekh Fathurahman bersalam-salaman, bahkan berpelukan mesra, dengan tetangganya seorang Yahudi. Syekh Fathurahman tak boleh keluar rumah, isi pikirannya dikhawatirkan bisa merusak penduduk kampung!

Buat orang-orang kampung yang kebetulan satu agama dengannya itu, Yahudi adalah musuh yang tak boleh dikasihani. Begitulah tafsir mereka. Tapi buat Syekh Fathurahman, semua orang, baik Muslim maupun non-Muslim, adalah saudara sesama anak manusia. Sang sufi yakin Islam yang dia yakini memang demikian mengajarinya. ‘’Di mana salah saya mencintai manusia lain, baik dia seorang Muslim, Yahudi, atau Nashrani,’’ tanya Syekh Fahurahman pada orang-orang di kampungnya. ‘’Apakah gara-gara saya memilih satu agama tertentu lalu saya harus memusuhi orang lain berbeda agama?’’

Para tetangganya tak mau mendengar argumentasi sang sufi. Mereka tak memberi ruang buat Syekh Fathurahman berpikiran luas. Sebuah pikiran yang tak sesuai dengan pikiran mereka harus dianggap berbahaya. Karena itu, mereka memberangus pikiran Syekh Fathurahman dengan cara mengepungnya secara fisik di rumah. Ini sekaligus peringatan keras buat orang yang mengikuti jejaknya.

Siang tadi hukuman buat Syekh Fathurahman sebenarnya sudah berakhir. Tapi para tetangganya mulai malam ini lagi-lagi mengepung rumah sang sufi. Mereka marah. Tadi siang, di pinggir sumur yang airnya nyaris kering, beberapa orang memergoki Syekh Fathurahman memberikan segelas air bersih di tangannya kepada seekor anjing yang kehausan. Sang sufi lebih memilih tayammum dengan debu ketimbang membiarkan seekor anjing kudisan mati kehausan. Inilah alasan dia menyerahkan air yang cuma segelas itu kepada anjing, padahal dengan air itulah mestinya dia berwudhu untuk menyembah Allah.

‘’Bapak tua ini sudah menyebarkan ajaran sesat,’’ teriak tetangga dekatnya. ‘’Dia sengaja membuang air segelas di tangannya agar ada alasan bertayammum. Dasar pemalas!’’

‘’Anjing binatang najis. Mestinya diusir atau dibunuh. Mengapa sekarang justru diberi minum air suci untuk wudhu?’’ sergah tetangga lainnya.

‘’Syekh Fathurahman sudah kafir zindiq, sampah masyarakat. Dia menyebarkan ajaran sesat!’’ teriak lainnya.

Maka jadilah, sejak kasus siang tadi, lagi-lagi Syekh Fathurahman harus rela dipenjara di rumahnya tanpa proses pengadilan. Para tetangganya sudah menjadi hakim sendiri-sendiri, berebut menjatuhkan vonis sesuai tafsir di kepala masing-masing. Semakin galak tafsir mereka, semakin marah mereka akibat tafsir mereka sendiri. Korban kemarahan itu siapa lagi kalau bukan Syekh Fathurahman!

Sang sufi yang luas wawasan ini, terutama karena ia pandai membaca sejarah masa lalu dengan penguasaan huruf hieroglif, dengan sabar menerima kenyataan sosial di sekitarnya. Ia cuma bisa mengurut dada. Ia yakin, mendidik masyarakat memang butuh waktu lama. Pendidikan sosial adalah gerakan kultural, bukan struktural.

Selama dikepung, siang malam ia hanya beribadah pada Allah di kamarnya, bertayammum dengan debu-debu yang menempel di rumahnya. Hingga suatu malam, karena sudah tiga hari tiga malam tak makan tak minum, Syekh Fathurahman jatuh pingsan di atas sajadahnya. Matanya berkunang-kunang, kepalanya berat, ia lalu terkapar. Dalam pingsannya ia bermimpi sedang berdiri di Gurun Mahsyar bersama bermiliar-miliar umat manusia yang hidup lebih dulu maupun umat manusia yang datang sesudahnya.

Syekh Fathurahman sangat menikmati pingsannya karena dalam pingsannya itu dia justru diperlihatkan bagaimana setelah kiamat nanti, bermiliar umat manusia berdiri terdiam tak bersuara ketika satu per satu mereka dipanggil, entah untuk masuk surga atau masuk neraka. Keheningan itu terus berlangsung sampai suatu detik ia menyaksikan Gurun Mahsyar agak berisik. Ternyata ada seekor anjing yang menolak masuk surga padahal binatang ini, menurut catatan malaikat, selama tinggal di sebuah kampung di Damaskus selalu berbuat baik.

Kepada semua umat manusia, malaikat memperlihatkan bagaimana anjing ini berbuat baik, misalnya ia menjaga kampung dari maling, mengejar tikus-tikus pembawa hama, menjaga kebun kurma dari binatang pengerat, dan seterusnya. Tapi, begitu hendak dimasukkan ke surga, binatang ini menolak.

‘’Aku sebenarnya binatang yang terbuang, sampai pada akhirnya lelaki itu menyelamatkan aku dari kematian dengan segelas air yang disodorkan padaku,’’ jelas anjing kepada malaikat, sambil menunjukkan moncongnya ke arah Syrkh Fathurahman. ‘’Aku bisa berbuat baik di dunia karena dia telah menyelematkanku dari kematian. Jadi, bagaimana aku akan masuk surga lebih dulu jika dia belum masuk surga bersamaku.’’

Tentu saja Syekh Fathurahman kaget bukan main. Sekarang sang sufi teringat, gara-gara anjing ini dia sampai dipenjara oleh penduduk kampungnya sendiri. Tapi yang tidak dia sangka adalah, gara-gara segelas air yang ia berikan padanya, anjing itu lalu hidup dan sehat untuk kemudian menjaga kampung itu dengan setia sebagai rasa terimakasih padanya. Dengan menolong anjing itu, Syekh Fathurahman sejatinya telah melakukan inti dari shalat itu sendiri – berbuat baik kepada alam sekitar!

Maka alkisah, dalam pingsannya itu Syekh Fathurahman menyaksikan bagaimana permintaan sang anjing dikabulkan. Atas seizin Allah, sang anjing ditunda masuk surga, sementara ia sendiri dipanggil malaikat lebih awal untuk masuk ke surga yang indah.

Sebenarnya Syekh Fathurahman pun masuk surga akibat semua amal baiknya di dunia. Tapi, karena ia harus menjalani proses pengadilan lebih dulu antara dirinya dengan orang-orang di kampungnya yang memenjara dia di rumahnya, maka jadilah jadwalnya masuk surga tertunda. Proses pengadilan Tuhan sangat penting agar keadilan Allah tidak sia-sia. Di situ akan ditentukan, apakah penduduk kampung yang gemar menuding-nuding orang lain kafir hanya karena berbeda pikiran dengan mereka itu yang bersalah atau justru Syekh Fahurahman yang bersalah karena telah ‘’menyia-nyiakan’’ segelas air wudhu untuk seekor anjing.

Kini sang anjing yang menolak masuk surga itulah yang diminta berdiri antri bersama penduduk kampung yang dulu mengepung rumah Syekh Fathurahman. Ia diminta menunggu proses pengadilan yang akan tetap berlangsung antara dirinya dan mereka yang di kampung Syekh Fathurahman dulu gemar sekali merasa paling benar dengan pikiran mereka sendiri.

Di mana Anda?

Anda sekrang adalah saksi-saksi bisu untuk sebuah pengadilan yang sedang terjadi dalam mimpi panjang Syekh Fathurahman, untuk kemudian Anda diminta memilih. Apakah Anda ingin: memainkan peran sang sufi, peran anjing, atau peran penduduk kampung yang gemar merasa paling benar dengan tafsir di kepala masing-masing itu?

Madinah, 4 September 2019

______________________

Semoga artikel Kisah Anjing Menolak Masuk Surga ini memberikan manfaat dan barokah untuk kita semua, amiin..

simak artikel terkait Kisah Anjing Menolak Masuk Surga di sini

simak juga video terkait di sini

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *