Saya begitu antusias ketika mendengar bahwa Gus Baha’ akan mengadakan seminar di Madura tempo hari lalu. Namun saya sempat mengernyitkan dahi ketika Muhammad Ismail Al-Ascholy (En) mengupdate kabar bahwa ia sedang berada di Surabaya untuk menjemput Gus Baha’ di terminal Bungurasih.
“Lah emangnya beliau nggak bawa mobil.. ?” tanyaku heran.
“Masak..? Sekelas beliau ? Aku seakan tak percaya.
“Haha.. Iya , beliau emang orang pe-ngebis-an. Kemana-mana lebih suka naik bis,” Jawab En.
Gus Baha’ ternyata memang seperti itu orangnya. Bahkan di momen penting seperti akad nikahnya pun, Gus Baha’ lebih memilih naik bis kelas ekonomi dari rumahnya ke rumah mertuanya di Sidogiri. Beliau memang sesederhana itu.
Malam itu Gus Baha’ nggak jadi ngebis ke Surabaya, katanya gak dibolehin Gus Ghofur. Beliau akhirnya mengalah dengan menaiki mobil salah satu muhibbinnya di daerah Tuban. Beliau sampai di Bangkalan sebelum tengah malam. Saya langsung saja menuju makam Syaikhona Kholil ketika mendapat kabar bahwa beliau sudah sampai di sana. Awalnya saya berniat untuk mengaturi beliau masuk ke area dalam makam. Tapi melihat kesederhanaan beliau yang kebangetan itu, sepertinya beliau gak bakal kerso.
Betul saja, ketika sampai di Masjid Syaikhona Kholil, saya dan En kesulitan mencari di mana Gus Baha’. Setelah nolah-noleh kesana-sini akhirnya beliau ditemukan juga. Memakai peci hitam miring khas-nya, kemeja sederhana dan jaket putih. Beliau tampak ‘nyempil’ di tengah-tengah peziarah.
Ketika beliau selesai berziarah, kami lekas saja duduk mengerubungi beliau. Dan disitu rangkaian percakapan menakjubkan itu dimulai. Gus Baha’ mungkin berhasil menyembunyikan kealimannya di balik penampilan sederhananya itu, tapi ketika beliau berbicara beliau selalu gagal menampakkan bahwa beliau adalah orang biasa. Ketika berbicara Gus Baha’ benar-benar bagaikan lautan ilmu yang airnya meluber kemana-mana. Setelah mengetahui bahwa saya baru saja pulang dari Tarim, beliau langsung saja membahas tentang Yaman, Saadah Ba’alawi dan sejarahnya, hingga kritik beliau pada Kitab Ihya’ dan pengakuannya bahwa ia nyaris menghafal semua isi juz 3-nya.
Yang membuat saya kaget, Gus Baha’ ternyata juga membaca atau bahkan menghatamkan kitab Taujihunnabih yang berisi kumpulan kalam Habib Umar itu. Toh padahal kitab itu bisa dibilang sebagai kitab ‘khusus’ yang hanya diketahui santri-santri Habib Umar. Entah darimana beliau mendapatkan kitab itu.
Di masjid Syaikhona Kholil petang itu, hampir dua jam kami cangkruan ilmu bersama Gus Baha’. Terkadang beliau menukil ibarat-ibarat kitab kuning secara lengkap lewat hafalannya. Saya hanya bisa mengimbangi dengan sekali-kali bertanya atau mengemukakan sebuah maklumat. Dan beliau selalu saja bisa menjawab atau ‘sudah tahu’ dengan faedah yang saya munculkan. Sampai pada obrolan ketika beliau membahas tentang hubungan erat Indonesia dan Yaman. Saya berkomentar:
“Salah satu bukti nyatanya, gus. Banyak bahasa-bahasa Hadhramaut yang diadopsi dari bahasa Melayu.. Misalnya صارون (sarung), سليموت (selimut).. ”
“Oh iya ta.. “? Gus Baha’ tampak kaget.
“Enjeh.. Sampai-sampai suatu hari ada pelajar baru yang hendak pergi ke pasar Tarim untuk membeli selimut. Sebelum berangkat ia melihat di kamus bahwa bahasa Arab selimut adalah ‘lihaf’. Sesampainya di toko ia berkata pada penjual dengan bahasa Arab fashih:
“Uriidu an asytariya lihaafan.. ”
” Eisy… ? Lihaf.. ?” si penjual menggeleng tak mengerti.
“Aiwah.. Lihaf.. Ghitho’ linnaum.. ”
Namun si penjual masih saja nggak paham-paham. Setelah melihat kesana-kesini akhirnya pelajar tadi menemukan barang yang ia cari. Langsung saja ia menunjuk kepada si penjual yang spontan berkata:
” Owalah…Selimut too..”
Si pelajar bengong. Ngapain ribet-ribet buka kamus kalo Selimut bahasa Tarimnya ya Selimut bukan lihaf ghito’ atau semacamnya. ??
Gus Baha’ tertawa keras, apalagi ketika saya jelaskan bahwa orang-orang Tarim menjamakkan selimut menjadi ‘Salamiit’. Beliau lalu berkomentar :
“Kalo ini saya baru tahu.. ” ..
Yess.. Saya tersenyum penuh kemenangan. Akhirnya saya bisa memberikan sebuah faedah yang belum pernah diketahui oleh orang se-alim Gus Baha’.. Haha.
Di malam itu saya banyak belajar dari sosok Gus Baha’. Mulai dari tiap tetes ucapnya yang selalu mempunyai bobot keilmuan, kesederhaan dan ketawadhu’annya, hingga akhlak beliau yang apa adanya tanpa harus menjaga wibawa ‘kealimannya’ di hadapan siapapun. Tentunya saya sudah nggak kaget melihat sosok super alim tapi sangat sederhana seperti beliau.
Di Tarim banyak sekali ulama yang se-type dengan Gus Baha’. Beliau mengingatkan saya kepada salah satu guru saya. Syaikh Salim Bahraiys namanya. Tanyakan padanya ilmu apa saja. Fiqih, Hadits, Aqidah dll. Beliau akan menjawab dengan mudahnya. Beliau bahkan juga dipasrahkan untuk mengajar ‘kubrol Yaqiiniyat’ Kitab Syaikh Buthy yang super njlimet itu. Tapi siapa saja yang melihat penampilannya tak akan pernah menyangka bahwa ia adalah seorang alim yang kualitasnya bahkan diakui oleh Habib Salim Assyathiri. Dengan peci putih tanpa surban, kemeja lusuh dan sarung sederhana, penampilan beliau bahkan tak terlihat ‘beda’ dari penjual-penjual baju di pasar Tarim.
Orang-orang seperti Gus Baha’ dan Syaikh Salim seakan ingin menegaskan bahwa kemuliaan sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan penampilan atau pakaian. Sama seperti Sayyidina Umar yang kala itu diminta untuk mengganti bajunya yang dipenuhi oleh belasan tambalan. Beliau menjawab :
” نحن قوم اعزنا الله بالاسلام .. فإذا ابتغينا العزة من غيره اذلنا الله.. “
“Kita ini adalah kaum yang telah Allah muliakan dengan Islam. Jika kita mencari kemuliaan dengan selain Islam, maka Allah akan menghinakan kita.. ”
Bangkalan, 22 Januari, 2019.
Penulis: Ismael Amin Kholil (adalah cucu Syaikhona Kholil Bangkalan), alumni Pesantren Darul Musthofa Yaman asuhan Habib Umar bin Hafidz.