Kiprah, Pengabdian dan Perjuangan KH Ma’mun M Mura’i

KH Ma’mun Muhammad Mura’I yang wafat pada 19 Maret 2025 dalam usia 88 tahun, termasuk tokoh penting di kalangan Nahdlatul ‘Ulama. Semasa hidupnya, almarhum banyak berkiprah di NU, antara lain menjadi Rais Syuriah PCNU Sleman. Selain itu juga menjadi dosen di Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga (sekarang UIN) dan juga mengajar di Prodi Sastra Arab UGM.

Semasa muda, tulis Ajie Najmuddin di NU Online, Kiai Ma’mun nyantri ke Solo, berguru kepada Allahyarham KH Ahmad Umar Abdul Mannan di Pondok Pesantren Al-Muayyad Mangkuyudan. Sebelumnya, ia juga pernah mengaji di beberapa pesantren. Pada tahun 1960-an, Ma’mun muda nyantri di Mangkuyudan sekaligus kuliah di PTINU / UNNU Surakarta. Ia termasuk menjadi mahasiswa angkatan pertama kampus yang berdiri pada tahun 1958 tersebut. Termasuk satu angkatan dengannya, yakni Allahyarham KH Nuril Huda, salah satu pendiri PMII, yang juga nyantri di Mangkuyudan. Bersama Nuril Huda, Laily Mansur, Mustahal Ahmad, dan kawan-kawan lainnya, Ma’mun ikut terlibat saat mendirikan PMII di Kota Solo pada tahun 1960.

Di tahun yang sama, ia juga menjadi pengurus Pimpinan Cabang (PC) Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Surakarta yang diketuai Nuril Huda. Bersama Imam Muftaroch Abdul Muid (ayah Ketua MUI Surakarta saat ini, KH Abdul Aziz), Ma’mun dipercaya di bagian Pendidikan dan Pengaderan. “Waktu itu yang banyak membimbing saya Pak Mustahal kemudian Pak Niam Zuhri (cucu Kiai Asnawi Kudus, yang pernah menjadi Ketua PC GP Ansor Solo),” kata Kiai Ma’mun. Saat aktif di PMII, ia mengaku ikut terlibat dalam sejumlah agenda besar seperti Kongres (Muktamar) ke I PMII yang diselenggarakan di Tawangmangu, Karanganyar pada tahun 1961. Kemudian juga Training Course (TC) ke I PMII di Ponorogo pada tahun 1962.

Pada tahun 1963, KH Ma’mun kuliah ke Universitas Al-Azhar Mesir karena mendapat beasiswa PMII. Ia ke Mesir bersama kawan-kawannya dari PMII yang lain, seperti Moh Sanusi (Makassar), Harus Zaini (Malang), Arief Al Mahfudz (Yogyakarta), Abdul Gafar Umar (Ciputat), dan Tubagus Abbas Makmun (Bandung). Di Mesir, ia juga sezaman dengan Gus Dur.  “Saya dan Gus Dur itu seangkatan. Kemudian setelah saya ada Gus Mus. Ya akrab, kan asrama bareng. kemudian juga kadang nonton bareng,” ucap Kiai Ma’mun, mengenang momen waktu ia kuliah di Mesir.

Selesai kuliah di Mesir, Kyai Ma’mun pulang dengan menyandang gelar LML dan haji. Kemudian pada tahun 1968, ia menikah dengan Mariyah, putri dari KH Ahmad Shofawi, salah satu pendiri Pesantren Al-Muayyad Mangkuyudan. H Ma’mun juga kembali aktif di NU. Selesai pengabdian di IPNU, pernah juga ia menjadi Ketua Cabang GP Ansor Solo. Tak jarang, namanya juga muncul di Buletin Lensa Peladjar yang dikelola oleh PC IPNU-IPPNU Surakarta.

KH Ma’mun M Mura’i bersama KH Mustofa Bistri atau Gus Mus

Selanjutnya KH Ma’mun menjadi dosen di Institut Agama Islam Negeri (IAIN, sekarang Universitas Islam Negeri, UIN) Sunan Kalijaga. Di sana, ia pernah dipercaya menjadi Dekan Fakultas Adab dan Ilmu Budaya Periode 1992-1996. Di saat yang sama KH Ma’mun juga aktif di Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Sleman. Bahkan pernah mengemban sebagai rais syuriah PCNU Sleman yang berakhir pada Konfercab tahun 2005. Ia juga pernah menjadi Ketua MUI Kabupaten Sleman (hingga tahun 2018).

Dengan kapasitas keilmuannya, KH Ma’mun juga kerap masuk dalam ulama NU yang ikut dalam tim perumus Bahtsul Masail di tingkat Muktamar NU. Hal ini tampak dalam daftar Tim Perumus Bahtsul Masail ad-Diniyah Al-Waqi’iyah Muktamar ke-30 NU di Lirboyo tahun 1999. Sebagai seorang akademisi, KH Ma’mun Muhammad juga produktif dalam menghasilkan karya tulis mulai artikel opini di media massa, jurnal, hingga buku. Di antaranya pada tahun 1976 ia menulis artikel jurnal berjudul Abu Nasr Al Farabi (870 – 950 M) (Filsafat, Seniman, & Sufie) yang diterbitkan Al Jamiah, Vol.14 (13). Kemudian ia juga menerjemahkan karya Achmad El Ghandur dengan judul Perspektif Hukum Islam: Sebuah Pengantar yang diterbitkan oleh Pustaka Fahima, Yogyakarta, pada tahun 2006. Karya-karyanya tersebut menjadi banyak rujukan para mahasiswa dan pengajar.

Kiai Ma’mun mengaku, di masa lalu ia memiliki ketertarikan dengan tulisan-tulisan Mahbub Djunaidi, salah satu tokoh PMII dan NU yang pernah menjadi Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Ia juga memiliki kenangan akan ayah Mahbub, yakni KH Djunaidi, dalam konteks sebagai hakim agama. “Dulu para hakim di Mahkamah Islam Tinggi (MIT) saking hati-hatinya di pengadilan agama itu buka kitab, dalil mana yang paling kuat. Sekarang (ada yang) asal-asalan, bahkan tidak paham agama,” kata Kiai Ma’mun.

Sebenarnya masih banyak yang bisa diceritakan tentang kiprah, pengabdian dan perjuangan KH Ma’mun M Mura’i. Semua itu menjadi bekal menghadap Sang Khalik di alam baka. Al-fatihah…… (*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *