Kiai Wahab Hasbullah, NU dan Sorban Diponegoro

Berbekal Kisah Semut Kecil, Mbah Wahab Damaikan Sunni-Syi'ah

KH. Wahab Hasbullah, salah satu pendiri dan penggerak Jamiyah Nahdlatul Ulama (NU) resmi dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional. Surat Keputusan (SK) penetapan diberikan Presiden RI Joko Widodo, Jumat (7/11/2014), di Istana Merdeka. Pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Kiai Wahab adalah sudah menjadi kewajiban negara atas perjuangan beliau dalam mengusir penjajah dari negara Indonesia. Kiai Wabah sendiri dikenal sebagai ulama besar, progresif, tokoh pergerakan nasional dari pesantren, aktivis organisasi, moderat dan pionir kebebasan berpikir, kiai politisi, tetapi juga ulama tauhid dan ulama fikih yang sangat luas dan mendalam pengetahuannya.

Di balik kebesaran namanya, Kiai Wahab adalah seorang ayah yang mesra dan penuh perhatian kepada anak-anaknya. Salah seorang putrinya, Hj. Mahfudhoh Ali Ubaid menceritakan bahwa meski Kiai Wahab sering pergi berhari-hari keluar kota untuk menjalankan tugas kenegaraan atau aktivitas ke-NU-an sesampai di rumah beliau memasak sendiri lalu anak-anaknya dipaggil satu per satu, dan beliau bagi-bagi sendiri keanak-anaknya.

Bacaan Lainnya

Selain itu, hal penting yang selalu ditanamkan oleh Kiai Wahab adalah kedisiplinan.“Ketika beliau di rumah kita harus sudah dalam kondisi siap. Kita harus bisa membaca Safinah dan Fathul Qorib tanpa jenggot (harakat dan makna). Saat mengajar anak-anaknya itu jalin (rotan) sudah dipegang, kalau salah sedikit langsung cterrr,”katanya.

Sorban Kepahlawanan

Sisi lain dari Kiai Wahab adalah tak bias lepas dari sorbannya. Zaman dulu ketika mobil-mobil masih harus diothei, jika ada orang pakai sorban nyetir mobil, bias dipastikan bahwa itu adalah Kiai Wahab.

Suatu ketika Kiai Wahab akan berbicara dalam Parlemen. Sebelum naik ke podium, beliau berdiri dan membetulkan letak sorbannya. Sekelompok anggota Parlemen ada yeng nyeletuk: Tanpa sorban kenapa sih? Sambil menunjuk kesorbannya Kiai Wahab kontan  menjawab: Sorban Diponegoro! Begitu berdiri diatas podium, Kiai Wahab menunjuk lagi kearah sorbannya sambil mengatakan: Pangeran Diponegoro, Kiai Mojo, Imam Bonjol, Tengku Umar semuanya pakai sorban. Keruan saja ruangan sidang seren tak gelak tertawa!

Ketika PKI menguasai Madiun. Kiai Wahab menyamar, agar tidak tertangkap. Sorban beliau ditanggalkan dan dipakai di lapisan dalam sarungnya. Tanpa sorban, PKI sukar mengenalinya. Lalu, bagaiman dengan kopyah putihnya? Tiba-tiba ada seorang pemuda yang mengenakanpecihitam. Kiai Wahab mendekati dan diplomasi dijalankan. Entah karena dibeli atau karena diberikan, pecihitam itu akhirnya pindah dikepala KiaiWahab. Di sinilah bagaimana sorban sebagai identitas seolah berbicara tentang titah perlawanan simbolik terhadap penjajah. Sorban Kiai Wahab menyiratkan pesan kepahlawanan sebagaimana yang hidup dan dihidupkan oleh para pahlawan terdahulu, seperti pangeran Diponegoro, Kiai Mojo, Imam Bonjol, Tengku Umar.

Warisan Penting

Sebagai ulama besar pelopor kebebasan berpikir dalam keberagamaan di kalangan umat Islam, di Surabaya tahun 1914 M Kiai Wahab membentuk kelompok diskusi Tashwirul Afkar(PergolakanPemikiran). Forum ini menjadi ajang komunikasi dan saling tukar informasi antar tokoh nasional sekaligus jembatan bagi komunikasi antara generasimu dan generasi tua. Tashwirul Afkar merupakan warisan terpenting beliau kepada kaum muslimin Indonesia.

Kiai Wahab bersama para pemuda juga membentuk Syubbanul Wathan (Pemuda Tanah Air).Organisasi inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya Gerakan Pemuda Ansor. Sebuah gerakan penolong, pejuang dan pelopor dalam menyiarkan, menegakkan dan membentengi ajaran Islam. Selain ahli dalam bidang politik, Kiai Wahab adalah seorang ulama tauhid dan juga fiqih yang sangat mendalam dan luas pengetahuannya.

Beliau menerapkan prinsip-prinsip fiqih dalam kehidupan modern secara progresif, termasukdalam bidang fiqihsiyasah. Kitab yang ditulisnya Sendi Aqoid danFikih Ahlussunnah Wal Jama’ah, menunjukkan kedalaman penguasanya di bidang ilmu dasart ersebut. Ini yang kemudian menjadi dasar bagi perjalanan Ahlusunnah Wal Jamaah di lingkungan NU.

Kiai Wahab juga merintis beberapa majalah dansurat kabar seperti Berita Nahdlatoe lOelama, Oetoesa NahdlatoelOelama, Soeara Nahdlatol Oelama, Duta Masyarakat, dan sebagainya. Propaganda melalui media sangat strategis dalam mepropagandakan gerakan NU dan pesantren ke publik. Gagasan itu semakin memperoleh relevansinya ketika KH. Mahfudz Siddiq dan KH. Wahd Hasyim turut aktif dalam menggerakkan pengembangan media massa itu. Kiai Wahab wafat pada tanggal; 29 Desember 1971, empat hari setelah beliau terpilih kembali sebagai Rais Aam pada Muktamar NU di Surabaya. (Joko)

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *