Kiai Wahab Chasbullah, Penyeimbang Nalar Kebablasan dan Filosofi Pencak

Berbekal Kisah Semut Kecil, Mbah Wahab Damaikan Sunni-Syi'ah

Hemat saya, Kiai Wahab Chasbullah adalah pribadi penyeimbang di saat terjadi gerak ekstremitas ke kanan atau ke kiri. Kiai Wahab juga pengamal filosofi pencak. Tarung pencak tidak langsung hantam dan tubruk, tapi diamati dan diikuti gerak musuh dalam beberapa detik atau menit. Hal ini untuk melihat teknik serta kelemahan dan kekuatan lawan. Setelah itu bergerak dan sikat.

Saya memulai bicara tentang kenyataan bahwa tidak terasa kita sering melakukan apa yang saya sebut logika kebablasan. Pada masa penjajahan, rakyat Indonesia dikekang, lalu berkat rahmat Allah, Indonesia bisa merdeka. Saat itulah rakyat euforia dengan demokrasi. Demokrasi Indonesia pada era tersebut dinamakan demokrasi parlementer atau disebut juga demokrasi liberal. Efek dari demokrasi tersebut pemerintah seakan berjalan di tempat karena parlemen banyak berdebat dan sering terjadi pergantian kabinet yang menyebabkan agenda pemerintahan berjalan tidak terseok-seok.

Selanjutnya semua tokoh bangsa melakukan refleksi atas perjalanan demokrasi liberal. Demokrasinya dianggap kebablasan. Lalu muncul gagasan demokrasi terpimpin. Ternyata dalam era demokrasi terpimpin yang presiden Soekarno sebagai epicentrum demokrasi terjadi nalar kebablasan lagi. Semisal ada keinginan menjadikan Soekarno sebagai presiden seumur hidup.Tentu hal ini bukan gagasan Soekarno, tapi karena disepakati oleh partai politik yang ada, Soekarno menerima dan selanjutnya diangkat sebagai Presiden seumur hidup lewat Tap MPRS Nomor III/MPRS/1963. Akhirnya demokrasi terpimpin ambruk karena beberapa faktor.

Selanjutnya lahirlah Orde Baru dengan Golkar sebagai partai penguasa, dan Soeharto sebagai presidennya. Era ini disebut dengan demokrasi Pancasila. Pada masa Orde Baru, pemerintahan merasa perlu menggenjot pembangunan. Agar bisa membangun, diperlukan stabilitas.

Dalam hal ini, tentara bisa diandalkan untuk menjaga stabilitas. Konsekuensinya dilakukan optimalisasi fungsi tentara di ranah sipil yang saat itu disebut dengan dwi fungsi ABRI.Tentara memegang kendali jabatan eksekutif seperti gubernur, bupati, walikota dan lain-lain. Tentara banyak masuk di “relung-relung” masyarakat yang menyebabkan nafas demokrasi tersengal-sengal. Tentu ini logika politik kebablasan.

Mulailah timbul perlawanan, lalu lahirlah reformasi yang akhirnya menumbangkan kekuasaan Presiden Soeharto. Di era reformasi muncul lagi euforia sebagaimana pascapenjajahan. Keran kebebasan dibuka selebar-lebarnya. Saking bebasnya, muncul nalar kebablasan dalam berbagai hal. Semisal ada kelompok yang berupaya mengotak-atik NKRI dan Pancasila. Tentara “digiring” dalam baraknya dan dilarang memegang kuasa di bidang “nonketentaraan”. Tentu ini kebablasan, karena bagaimanapun juga di era modern ini NKRI butuh tentara dalam bidang-bidang tertentu selain tugas reguler tentara. Era Jokowi nampaknya memberi ruang lebih kepada tentara. Tentu ini kabar baik, walakin jangan sampai fungsi tentara kebablasan seperti era Orde Baru.

Lalu apa bukti bahwa Kiai Wahab penyeimbang nalar kebablasan dan pengguna filosofi pencak?

1. Pemaknaan demokrasi terpimpin oleh KH. Wahab Chasbullah. Beliau berkata, ”Demokrasi terpimpin tentulah demokrasi, dalam arti bahwa rakyat mempunyai kedaulatan yang dilindungi hukum dalam mengeluarkan pendapat dan cita-cita. Demokrasi memang harus terpimpin, yakni terpimpin oleh norma dan moral.Tanpa kepemimpinan itu akan menjurus kepada anarki. Demokrasi terpimpin titik beratnya pada kata demokrasinya. Sebaliknya, kepemimpinan tanpa demokrasi akan menjurus kepada diktator. Baik anarki maupun diktator, bertentangan dengan demokrasi itu sendiri.” Ini pemikiran Kiai Wahab untuk mencegah kebablasan.

2. Saat Masyumi tidak mau masuk kabinet Hatta terkait dengan keharusan melaksanakan perjanjian Renville, Kiai Wahab berargumen sambil membuat guyonan agar kita masuk saja di kabinet dg niat menghilangkan kemungkaran. Diterimalah gagasan Kiai Wahab oleh Masyumi. Jadi tidak ekstrem lepas dari kabinet, tapi juga tidak menerima total kabinet. Tapi ada penyeimbang agar tidak bablas, yakni ada unsur izalatul munkar.

3. Saat PRRI/Permesta memberontak, Kiai Wahab “terpaksa” ikut memberi fatwa wajib diperangi. Fatwa itu dikeluarkan dengan berat hati oleh Kiai Wahab. Tidak hanya itu, para kader NU turun ke daerah operasi untuk membantu kehidupan anak dan istri para pemberontak sehingga bisa sedikit tertolong. Jadi fatwa beliau tidak langsung lepas tangan bablas, tapi turun tangan.

4. Saat perebutan Irian Barat (Papua). Bung Hatta mengatakan bahwa Irian Barat bukan termasuk Indonesia maka tidak perlu dikembalikan ke wilayah Indonesia. Pendapat Bung Hatta ini didukung Masyumi dan PSI. Tetapi Bung Karno menolak dan mengatakan bahwa irian Barat adalah wilayah Indonesia sejak jaman dulu dikuasai oleh kerajaan Islam Ternate, Tidore bahkan juga pernah menjadi bagian kerajaan Mataram, Singasari dan Majapahit. Duta besar Amerika di Jakarta dan menteri luar negeri Amerika, John Foster Dulles secara bersamaan juga menuduh Bung Karno bahwa pengembalian Irian Barat adalah ambisi pribadi Bung Karno.

Melihat situasi seperti itu, Bung Karno meminta nasihat kepada Kiai Wahab yang kemudian nasehatnya dikenal dengan diplomasi cancut taliwondo.Menurut Kiai Wahab, politik ”Diplomasi Cancut Tali Wondo” memang memerlukan waktu karena pertimbangan keadaan dalam negeri.Tetapi bukan berarti harus berhenti. Diplomasi jalan terus dan ”cancut tali wondo” juga tidak boleh berhenti. lbarat orang mau adu-jotos, siasat yang digunakan dengan cara memperlama waktu menyingsingkan lengan baju sambil mu|ut terus mengeluarkan tantangan untuk membuat musuh menjadi gentar. Kalau musuh tiba-tiba menyodorkan kepalanya untuk memukul, dan kita belum siap, maka hindari dulu. Kalau perlu kita tambah waktu satu tahun lagi untuk menyingsingkan lengan baju. Kalau kita sudah ”punya keris” maka kita bisa bersikap keras.

5. Masalah PKI. Kiai Wahab bergaul biasa dengan orang nasionalis termasuk dengan PKI. Bahkan Kiai Wahab digelari kiai Nasakom walau bukan dalam arti pro komunis. Kiai Wahab berada dalam lingkaran mereka untuk mendampingi Soekarno dan sangat mungkin untuk menyelami pikiran dan strategi PKI. Setelah itu Kiai Wahab tegas menolak PKI di seluruh Indonesia. Bahkan ada kisah tentang PKI Kediri. Komandan korem Kediri kala itu Willy Sujono dipanggil presiden Soekarno ke istana negara dan ditanya mengapa anggota PKI di Kediri banyak yang dihabisi? Dengan tegas Willy Sujono menjawab bahwa tindakan itu atas restu Kiai Mahrus Ali serta Kiai Wahab Chasbullah Tambakberas Jombang. Sekalipun demikian, banyak anak turun PKI yang diampuni dan dipelihara serta bertetangga baik dengan warga NU.

Penulis: Ainur Rofiq Al Amin, dosen UIN Sunan Ampel Surabaya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *