Kiai Mudjab Mahalli dan Kisah Daun Genjer

Puncak acara Haul Al-Maghfurlah KH. A. Mudjab Mahalli masih seminggu lagi, akan tetapi rangkaian acara sudah mulai terselenggara. Hari ini, Ahad 16 Juni 20189 di komplek Pesantren Al-Mahalli tengah dilangsungkan Khitanan Massal.

Hanya saja, tulisan kali ini belum akan menyinggung perihal khitanan massal tersebut, akan tetapi masih akan bernostalgia dengan Pendiri Pesantren Al-Mahalli, Al-Maghfurlah KH. A. Mudjab Mahalli, terutama sekelumit kenangan tentang kedudukan daun Genjer di sisi beliau.

Genjer, tumbuhan dengan nama internasional Limnocharis ini merupakan sejenis tumbuhan rawa yang banyak dijumpai di persawahan atau perairan dangkal. Biasanya banyak ditemukan bersama-sama dengan enceng gondok atau di sela-sela tanaman padi.

Oleh masyarakat kebanyakan, termasuk petani, tumbuhan satu ini dianggap sebagai tumbuhan pengganggu sehingga mesti dibersihkan dari area persawahan dan dibuang bersama-sama dengan tetumbuhan liar lainnya. Kalaupun diambil memanfaatnya, tak lebih sebatas sebagai pakan tambahan untuk ikan gurami dan sejenisnya.

Berbeda halnya dengan Al-Maghfurlah KH. A. Mudjab Mahalli. Kiai yang oleh Kementerian Agama RI dinobatkan sebagai Ulama DIY yang paling produktif menulis buku ini tidak memandang daun genjer sebatas sebagai pakan tambahan ikan gurami, apalagi sebagai tanaman penggagu, gulma, akan tetapi justru menjadi menu favorit yang sulit dicari duanya.

Itu sebabnya, setiap kali musim genjer, para santri, terutama Kang Wahid dan Haris Nashir, terjun ke area persawahan milik Pesantren, berburu daun genjer. Tak jarang bapak-bapak tani pun bertanya untuk apa mereka mesti blusukan berburu tanaman daun ‘penggangu’ ini. Jika sudah mendapat pertanyaan demikian, maka mereka tak pernah berani menjawab dengan jujur, untuk dikonsumsi. Akan tetapi mereka selalu memberikan jawaban pura-pura, “Kagem pakan grameh (Untuk pakan ikan gurami).” Malu.

Sesampainya akang-akang santri di pesantren dengan membawa satu sak daun genjer muda, kini giliran Kang Ahmad Fathoni yang bertugas memasak. Hanya Kang Fathoni, bukan yang lain, sebab memasak daun genjer ini memerlukan keahlian khusus. Sebab jika terlalu dalam masak rasanya menjadi pahit, demikian pula racikan bumbunya, terutama takaran terasi rembang dan terinya keringnya harus pas.

Daun genjer muda dicuci bersih, dirajang kecil-kecil memanjang seperti rajangan tembakau, lalu dioseng dalam wajan sembari dimasukkan bumbu-bumbu yang telah dipersiapkan sebelumnya. Setelahnya terus diaduk tanpa henti selama beberapa menit, daun genjer oseng pun siap saji.

Awalnya, yang bersedia menyantap masakan daun genjer ini hanya Pengasuh Pesantren, Kiai Mudjab, dan satu dua orang santri senior. Akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu dan mengetahui kegemaran Pengasuh Pesantren pada menu yang satu ini, pada akhirnya menu daun genjer menjadi budaya di Pesantren Al-Mahalli, hampir semua santri menyukainya.

Daun genjer, yang dalam mendapatkannya tak perlu keluar uang, yang oleh orang kebanyakan dipandang sebelah mata, kini menjadi menu favorit di Pesantren Al-Mahalli. Selebihnya, tulisan ini merupakan sekelumit cerita ketika seorang guru sedang mengajarkan kesederhanaan pada para santrinya. Tidak banyak kata, tetapi dengan memberikan teladan dalam kehidupan keseharian.

Penulis: H. A. Choiran Marzuki,

Pengurus Yayasa Al-Mahalli

Penulis dan Editor Penerbit Pustaka Pelajar.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *