Oleh : H. M. Syukron Maksum, Santri Kiai Hafidz Abdul Qadir
Kiai Hafidz termasuk golongan kiai yang melakukan laku sederhana dalam hidupnya. Gaya sederhana ini berlaku dalam berbagai hal. Diantaranya, sederhana dalam berpenampilan. Saat penulis sowan beberapa bulan yang lalu, beliau bercerita dengan gaya khasnya: memegang teh hangat dengan kedua tangan dan diletakkan di sekitaran dada. Cerita yang yang mencerminkan kesederhanaannya, namun sering menjadi salah dimaknai orang lain.
Suatu hari Kiai Hafidz diminta untuk menjadi dewan hakim pada suatu MTQ di Bantul. Kiai Hafidz datang tepat waktu dan masuk ke sebuah ruangan tempat lomba, dengan pakaian sederhana dan gaya yang santai, seperti biasa. Suasana masih sepi dan tampaknya perlombaan belum juga akan dimulai. Jangankan peserta dan dewan hakim, panitia pun belum ada yang nongol.
Tak berapa lama, datang seseorang. “Hei, siapa kamu? Nggak boleh sembarang masuk ke sini. Ini tempat lomba,” hardik seseorang yang ternyata salah satu panitia, yang tidak tahu siapa Kiai Hafidz. Mungkin disangkanya orang yang hanya melihat-lihat tempat lomba. Diusirnya Kiai Hafidz seketika.
Dengan santai, Kiai Hafidz bergegas pulang ke rumah. Bukannya marah, malah bersyukur karena tak perlu repot-repot dan kecapekan mengikuti prosesi lomba MTQ yang tentu saja melelahkan.
Sesampai di rumah, panitia menelpon dan mengkonfirmasi mengapa Kiai Hafidz belum juga datang. Lagi-lagi dengan santai, beliau ceritakanlah apa yang terjadi, bahwa beliau sudah datang namun disuruh pulang.
Mendengar itu tentu saja panitia memohon maaf dan buru-buru menjemput Kiai Hafidz yang sudah berada di rumah. Dan panitia yang datang menjemput adalah yang tadi mengusirnya. Dengan wajah merah padam, berkali-kali si panitia ini meminta maaf dan mencium tangan beliau. Kiai Hafidz hanya tertawa menanggapinya.
“Memang wajahku ini bukan wajah kiai,” kata Kiai Hafidz pada panitia itu.
Kiai Hafidz juga sederhana dalam bersikap hidup. Dalam keseharian, kehidupan beliau sangat sederhana dan tidak neko-neko. Maka dari itu Kiai Hafidz berprinsip untuk tak mau berhutang. Jika menginginkan sesuatu dan sudah mampu ya beli, jika belum punya uang ya tidak memaksakan diri untuk berhutang.
Sering disampaikan pada penulis, biasanya dalam obrolan malam di depan asrama: “Gajiku dari sini segini, dari sini segini, dari sini segini… Makan keluargaku ya numpang pada uang pajegan kalian. Tapi alhamdulillah aku ndak punya hutang. Biar penghasilan pas-pasan tapi hidupku ayem. Dan alhamdulillah untuk biaya anak-anak sekolah ya cukup.”
Baca juga : Kiai Hafidz, Pengabdi Al-Qur’an yang Istiqamah
Termasuk soal pengangkatan beliau menjadi PNS di usia yang tinggal beberapa tahun lagi pensiun. Sederhana saja anggapan beliau saat penulis sowan dan bertemu untuk terakhir kalinya: “Ini mungkin rezekinya anak-anak.” Penulis ingat sekali, Kiai Hafidz mengucapkan kalimat itu berulang-ulang. Barangkali kata-kata ini juga pertanda akan perginya beliau secepat ini.
Ketiga, prinsip sederhana juga berlaku dalam pergaulan sehari-hari Kiai Hafidz. Betapa akrabnya Kiai Hafidz pada kami para santrinya. Kadang kala kami dirangkul sambil berjalan dari masjid usai shalat berjamaah hingga sampai asrama, sambil diajak ngobrol. Tak jarang pula kami diajak ngobrol dan guyon hingga larut malam, membahas hal-hal serius maupun hanya sekedar bersantai ria.
Yang jelas, Kiai Hafidz termasuk dalam kriteria yang menjadi ciri khas Kiai NU: lucu tur lemu. Siapapun yang pernah bergaul dengan Kiai Hafidz pasti mengakui bahwa beliau memiliki selera humor yang tinggi. Kiai Hafidz sering menyampaikan cerita yang mengandung humor yang menyegarkan dan menghapus jarak dengan kami, para santri yang diajaknya ngobrol. Penulis juga sering ditegur secara halus melalui cerita dan canda yang beliau sampaikan.