“Cung, nanti selepas ngaji Subuh, kita mancing ke laut ya. Ajak temanmu sing sela (yang luang). Kamu nggak usah sangu, aku nanti yang ntraktir!”
“Siap, Kiai”
Kiai kita ini punya hobi mancing. Ini kiai yang sama dengan cerita Ketika Tuyul Beri Tips Aman Simpan Uang
Hobi mancing pak kiai bukannya tanpa kritik. Pernah ada yang menegur, “Pak Kiai, semua makhluk hidup kan berdzikir kepada Allah, kalau ikan yang jenengan pancing lagi asyik tahlil pripun?”
Kiai menukas, “Ikan kepancing kan karena dia makan umpan. Makanya harus hati-hati menjaga mulut. Karena keselamatan manusia, juga makhluk karena mulut.” Santri yang menegur langsung diam membisu.
Kembali ke cerita mancing usai ngaji di atas. Begitu sudah siap, Pak Kiai juga membawa uang warna merah lima lembar. “Insya Allah lima ratus ribu cukuplah buat sarapan dan makan siang berlima,” batin Pak Kiai.
Dari emperan rumah, Pak Kiai ngendika ke santri yang menunggu di serambi masjid. “Cung, 500 ribu buat sarapan berlima cukup toh?” tanyanya.
“Cukup bahkan turah, Kiai,” jawab santri mantap. Belum sempat keluar rumah, tetiba adik Pak Kiai datang langsung menodong, “Kang, ana duit gak? Aku perlu buat bayar sekolah anak.”
“Berapa?”
“500 ribu.”
Deg, pas banget dengan uang di kantong. “Ya iki, dinggo wae.” (ya ini dipakai saja-red)
“Wah maturnuwun sanget ya Kang.” (wah, makasih banget ya kang-red), Sang adik kegirangan.
Kini Pak Kiai gak punya sangu. Ia pun mau pinjam ke istri Rp 200 ribu. Belum kesampaian, mendadak ada tamu datang. “Pak Kiai, tolong air ini disuwuk, ibu saya sakit,” pintanya.
“Nyuwun pangapunten, mangke mawon nggih, bakda Maghrib, ini kula ajeng budhal mancing,” (mohon maaf, nanti saja ya. Setelah Magrib, ini saya mau berangkat mancing-red), tolak Kiai halus.
“Mboten Pak Kiai, kula nyuwun tulung saestu, ibu kula mantep kalih jenengan, mangke kula didukani ibu menawi gagal bekta toya saking jenengan,” (Tidak Pak Kiai. Saya minta tolong beneran. Ibu saya yakin dengan Jenengan. Nanti saya dimarahi ibu kalau gagal bawa air dari Jenengan-red), memelas tamu tadi.
Sorot mata sang tamu memancarkan kesedihan dan hampir putus asa. Pak Kiai tidak tega.
“Nggih sampun sekedap,” (Yaudah, sebentar-red), Pak Kiai mengalah. Ia berujar ke para santri yang menunggu dari tadi, “Cung, enteni dilit ya!” (Cung, tunggu sebentar ya-red)
“Siap Pak Kiai!” jawab mereka kompak.
Sepuluh menit berselang. Air doa pun diangsurkan ke pembawanya. “Ini diminum dan diusapkan ke wajah Ibu jenengan nggih,” dawuh Pak Kiai. “Inggih Pak Kiai, siap insya Allah,” sumringah tamu sambil menyodorkan amplop, “Menika kagem Pak Kiai.” (Ini untuk Pak Kiai-red).
Kiai menolak. “Mboten usah, mboten usah, monggo dibekta mawon!” (Tidak usah. Tidak usah. Dibawa saja-red)
“Mboten Pak Kiai, niki pokokmen kagem jenengan!” (Tidak Pak Kiai, Ini pokoknya untuk Jenengan-red)
“Mboten usah!” (tidak usah), Tegas Pak Kiai.
“Nggih sampun, kula pamit rumiyin nggih..” (Yaudah, saya pamit dulu ya-red)
Pak Kiai pun bersiap mancing dengan empat santrinya. Putri ragil Pak Kiai yang masih madrasah ibtidaiyah kelas lima, menghampiri. “Bah, niki amplop saking tamu wau, diseselke ting tas kula…” (Bah, ini amplop dari tamu tadi, diselipkan di tas saya-red)
Dibuka: 1,5 juta rupiah!
“Iki Cung jenenge min haitsu la yahtasib, aku mau ucul 500 ribu, langsung kontan diganti Allah 3 kali lipat.” (Ini cung, namanya min haitsu la yahtasib, saya tadi hilang 500ribu, langsung kontan diganti Allah 3 kali lipat-red)
Pak Kiai pun mengambil 500 ribu untuk ntraktir para santri. Sementara sisanya dibelikan paket sembako dibagi ke tetangga kanan kiri.
Ngoto, Juli 2019
Penulis: Bramma Aji Putra, Humas Kemenag DIY dan Pengurus LTN PWNU DIY