Dalam tradisi NU, kitab kuning menjadi ciri khas yang tak terbantahkan. Tetapi ada ciri lain yang juga sering dijalani santri NU, yakni ilmu kanuragan. Mereka yang ahli ilmu kanuragan bisa disebut pendekar. Para kiai selan ahli kitab kuning, biasanya juga ahli dalam kanuragan.
Para pendekar di NU banyak sekali, yang masyhur adalah almarhum Gus Maksum Lirboyo. Kalau di Yogya, kita bisa mengenal Kiai Chasan Tholabi Kulon Progo. Kiai Chasan, pendiri Pesantren Al-Qur’an Wates (Pesawat), selain dikenal sebagai hafidz Al-Qur’an, juga memiliki ilmu kanuragan yang mumpuni. Soal ilmu kejadugan ini, beliau mewarisi dari ayahnya, KH. Amiruddin bin KH. Abdullah Rosyad.
Dulu, Kiai Amir sering mengamankan Pondok Krapyak di era Kiai Munawwir. Ketika Krapyak diganggu oleh Belanda, diganggu oleh masyarakat yang tidak senang, atau diganggu makhluk ghaib, maka Kiai Amir yang turun tangan.
Hal ini rupanya menurun kepada Kiai Chasan. Ilmu kanuragan yang dimiliki Kiai Chasan pun tidaklah sembarangan, sehingga beliau dikenal sebagai pendekar NU DIY pada masanya. Saat itu, ketika Pesantren Krapyak di era Kiai Ali Maksum mengalami gangguan makhluk ghaib, maka Kiai Ali Maksum langsung memanggil Kiai Chasan untuk mengatasi. Begitu hebatnya Kiai Chasan, belum sampai diobati dan baru disebut nama Kiai Chasan, jin yang mengganggu langsung pergi. Begitu juga ketika Krapyak diganggu oleh orang-orang yang tidak senang, Kiai Chasan turun tangan.
Ketika berdakwah di Wates, Kiai Chasan juga dihadapkan pada tantangan yang cukup serius. Masyarakat di lingkungan sekitarnya mayoritas masih abangan dan simpatisan PKI, serta tanahnya dikenal banyak makhluk ghaibnya. Maka Kiai Chasan turun tangan untuk mengatasi persoalan tersebut.
Di awal-awal berdakwah, Kiai Chasan mendirikan mushala, yakni di Kota Wates, saat itu membuat heboh para tetangga. Banyak yang tidak suka dan menentang. Kiai Chasan tidak lantas putus asa. Semua halangan tersebut diterjang dan diatasi. Bahkan pihak-pihak yang ingin berbuat onar pun tidak dilawan. Semua dihadapi dengan sabar, hingga akhirnya masyarakat sadar sendiri dengan dakwah-dakwah Kiai Chasan. Masyarakat akhirnya juga tahu dan menjadi segan, karena Kiai Chasan ternyata orang yang sakti tapi tidak mau menampakkan di depan masyarakat awam.
Tidak heran saat itu Kiai Chasan dikenal sebagai salah satu pendekar NU DIY pada masanya. Bahkan beliau yang menjaga para kiai dari gangguan PKI. Pada tahun 1965, ketika itu masa yang genting, mencekam. Para kiai NU yang khawatir. Di sini, Kiai Chasan terdepan. Kiai Chasan menjadi penjaga gawang atas keselamatan para kiai NU DIY. Dengan gagahnya, Kiai Chasan keliling di berbagai daerah di DIY dengan memakai kendaraan Vespa klasik. Ceramah-ceramahnya dihadapan Ansor-Banser membuat gentar PKI dan orang-orang yang memusuhi para kiai.
Pada suatu ketika, Majalah Bakti milik Kemenag DIY memuat puisi yang menjelekkan NU. Puisi itu melecehkan santri yang biasa tahlian dan kenduren. Saat itu juga, Kiai Chasan memperingatkan Kepala Kemenag saat itu untuk klarifikasi dan meminta maaf. Kiai Chasan tampil berani, apalagi itu untuk kiai dan NU.
Itulah Kiai Chasan. Sosok nyentrik, pendekar NU DIY yang disegani. Beliau tidak sombong, tetap tawadlu di hadapan para kiai sepuh, khususnya kepada Kiai Ali Maksum yang masih saudaranya sendiri.
Para kiai memang tidak mau menampakkan kejadugannya, karena khawatir disalah-artikan. Kiai juga tidak mau menjadikan kejadugan sebagai hal utama, karena itu hanya pelengkap saja. Itu penting, tetapi sifatnya fardlu kifayah. Kiai Chasan adalah contohnya. Harus ada penerusnya, khsusnya di Pagar Nusa, Ansor dan Banser.
Untuk Kiai Chasan Tholabi, al-fatihah….
*Hasil wawancara dengan Kiai Su’adi di Pesantren Pesawat Wates, 23 Februari 2018.