Antara tahun 1955-1961, momen ngaji di Krapyak sangat membentuk kepribadian Kiai Asyhari Marzuqi Kota Gede. Kepada guru-gurunya di Krapyak, Kiai Asyhari menaruh hormat dan tawadlu’ sangat tinggi, terlebih kepada KH Ali Maksum dan keluarga besar Mbah Munawwir Krapyak. Ini memang sudah ditanamkan secara khusus oleh ayah beliau, Kiai Marzuqi Giriloyo.
Salah satu guru beliau adalah Kiai Zainal Abidin Munawwir. Walaupun usianya dengan Kiai Zainal hampir berdekatan, tetapi Kiai Asyhari sangat tawadlu’ dengan Kiai Zainal, yang tak lain adalah putra Mbah Munawwir.
Saat itu, ada pertemuan alumni Pesantren Al-Munawwir yang bersamaan dengan haul Mbah Munawwir. Dalam percakapan dengan Kiai Zainal, begitu tawadlu’nya Kiai Asyhari. Ketika tahu ada santri yang jemput sudah datang, percakapan itu diakhiri.
Kondisi fisik Kiai Asyhari saat itu agak lemah, tetapi beliau tetap berusaha untuk salaman dan mencium tangan Kiai Zainal. Sebaliknya, Kiai Zainal juga membantu Kiai Asyhari, ikut memapah sampai mobil. Kondisi fisik yang kurang optimal tidak menghalangi Kiai Asyhari untuk hormat dengan sepenuh jiwa santri kepada Kiai Zainal. Tak lupa, Kiai Asyhari saat itu juga menghaturkan “salam tempel” kepada guru tercintanya: wujud hormat dan tawadlu’ dengan sang guru.
Ketika menjadi Rais Syuriah PWNU DIY, Kiai Asyhari selalu meminta fatwa hukum kepada Kiai Zainal. Baik terkait kondisi masyarakat, atau terkait rutinitas amaliyah masyarakat, seperti puasa dan hari raya. Fatwa dari sang guru selalu menjadi tradisi Kiai Asyhari, bukan saja wujud hormat/tawadlu’ tetapi juga wujud pengakuan atas kapasitas keilmuan yang dimiliki Kiai Zainal Abidin Munawwir.
Kepada santrinya yang menjemput dari Krapyak, Kiai Asyhari mengisahkan khidmah dan ta’dzimnya Kiai Arwani Amin Kudus kepada gurunya, Kiai Munawwir Krapyak.
“Senajan durung iso koyok Mbah Kyai Arwani, yo kito ki kudu usaha sekuat tenaga kepiye anggone ta’dzim nang guru kanthi tenanan (Meskipun belum bisa seperti Mbah Kyai Arwani, mari kita usaha sekuat tenaga bagaimana kita ta’dzim kepada guru kita dengan sebenarnya),” tegas Kiai Asyhari.
Itulah tradisi para kiai kita, sungguh mulia dan menjadi teladan buat generasi zaman now. (md)
*Kisah diatas diolah dari buku Guruku Kyaiku karya Abdul Basith Rustami (2016).