Khittah NU ini maknanya lentur, bahkan seperti karet, bisa digiring kesana kemari sesuai kepentingan orang NU sendiri, maupun person di luar NU.
Misalnya, ada yang menyarankan NU jangan terlibat politik praktis, artinya orang NU diminta diam saja, atau jangan menampakkan dukungan politik. Akhirnya pihak yang menyarankan NU jangan berpolitik inilah yang menguasai pos-pos vital. Di level birokratis, misalnya, anggaran dibagikan melalui kegiatan yang melibatkan jaringan Non-NU. Akhirnya ya ngaplo. Nggak dapat apa-apa. Coba cek kementerian yang dipegang tokoh A, ke bawah dia pasti melibatkan jejaring dan koneksi politiknya, baik separtai, se-ormas, hingga jaringan LSM dan organisasi kemahasiswaan.
Bagi saya, setiap ormas itu berpolitik praktis, hanya caranya yang beda. NU cenderung lebih vulgar, das-des, maklum gaya Jawa Timuran. Muhammadiyah lebih kalem, bisik-bisik, deal. Maklum, Yogyakarta. Karena itu, ada semacam kontrak tak tertulis, kementerian Agama jatah-nya Muhammadiyah. Kementerian B, jatahnya NU. Hal ini berkaitan dengan dunia yang dibina dua ormas tersebut.
Ini pentingnya berpolitik. Saya bersyukur di era Jokowi Menteri Agama dari NU. Kerjanya juga apik. Kalau ada kekurangannya ya wajar, wong ini kerja kelembagaan juga. Melibatkan struktur. Di era Pak Lukman, setahu saya, izin pendirian Ma’had Aly dipermudah. Lancar. Sebab pejabatnya juga tahu jerohan pesantren.
Perintisan Ma’had Aly saya kira tidak akan bisa berjalan lancar manakala pejabatnya di luar jejaring pesantren. Kalaupun ada beberapa pesantren yang menolak bantuan pemerintah, juga tidak apa-apa. Itu berkaitan dengan independensi dan ikhtiyath pengasuhnya. Kalaupun ada yang menerima buat pembangunan sarana-prasarana juga oke saja. Pertimbangannya, ini duit negara dari rakyat juga. Wajar kalau pembangunannya untuk rakyat. Alasan lain, kalau nggak dipakai untuk peningkatan fasilitas pesantren misalnya, lantas anggaran malah masuk ke program yang nggak jelas, bahkan dikorupsi, malah berbahaya.
Ini salah satu contoh betapa berpolitik itu berkaitan dengan akses kekuasaan, penganggaran, dan penempatan posisi, dan mewujudkan kemaslahatan.
Jadi, orang NU monggo berpolitik. Meski tidak perlu gembar-gembor mengusung foto pendiri NU dan lambang NU. Qiqqiiq. Sekali lagi ingat, yang biasanya memperingatkan orang NU agar tetap pada “Khittah 26”, itulah yang kemudian ngebet berkuasa dan malah nggak membantu orang NU. Ini berdasarkan pengalaman politik seorang tokoh revolusioner bernama Ferguso..heehehe
Penulis: Rijal Mumazziq Z, Rektor INAIFAS Jember.