Khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan, Membaca Konflik dan Kontroversi

Khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan

Khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan, Membaca Konflik dan Kontroversi.

Muawiyah bin Abi Sufyan bin Harb bin Umaiyah adalah pendiri Daulat Bani Umaiyah. Beliau lahir di Mekah dan sempat memusuhi Islam dan akhirnya memeluk Islam ketika penaklukan kota Mekah (8 H).

“Muawiyah adalah laki-laki yang berperawakan tinggi, berkulit putih, tampan, dan penuh wibawa”.

Umar bin Khattab juga berkata bahwa Muawiyah suka makan makanan yang lezat dan bergaya seperti raja. Umar berkata begitu bukan bermaksud “menjelekkan” Muawiyah, tapi hanya menginformasikan ciri khas Muawiyah. Bisa dimengerti mengapa Muawiyah melakukan hal itu karena ia memang berasal dari kabilah terpandang di masyarakat.

Beliau sempat belajar tulis baca dan matematika, sehingga Rasulullah mengangkatnya menjadi juru tulisnya. Beliau bertugas di Syam di masa pemerintahan Umar dan kembali menjabat di masa Usman bin Affan. Beliau berkonfrontasi dengan Ali dalam perang Shiffin (37 H/657 M) yang berakhir dengan sebuah arbitrase (perjanjian damai) . Beliau dinobatkan menjadi khalifah secara penuh setelah peristiwa “Daumatul Jama’ah” antara pihak sayyidina Hasan dan dirinya.

Muawiyah menjabat “khalifah” (bc : raja) hampir 20 tahun (40-60 H/661-680 M) di mana ibu kota pemerintahan dia pindahkan ke Damaskus. Beliau termasuk tokoh penakluk ternama dalam sejarah Islam, di mana penaklukannya sampai ke daerah di Lautan Atlantik.

Awalnya Muawiyah termasuk tokoh yang gencar memerangi Islam sampai terjadinya Fathul Makkah. Muawiyah terus memperbaiki keislamannya. Ia mengikuti perang Hunain dan memperoleh ghanimah yang melimpah ruah sebagaimana kaum muallaf Makkah lainnya. Nabi juga mempercayai dirinya menjadi salah satu penulis wahyu.

Suatu ketika Nabi pernah bersabda kepadanya :

“Wahai Muawiyah, jika kamu menjadi raja, maka berbuat baiklah…!!!”.

(“…. dan sungguh aku sangat menginginkan itu” Sambut muawiyah dalam hati). (HR At-Thobari).

Nabi memang seringkali mengucapkan suatu sabda yang merupakan nubuwah, atau suatu penglihatan ghaib ke depan tentang apa yang akan dialami oleh beberapa sahabat. Misalnya pada sahabat Abu Dzar al Ghifari, Abdullah bin Mas’ud, Suraqah bin Malik, Ammar bin Yasir, Hasan bin Ali (cucu beliau), dan lain-lainnya.

Begitupun yang terjadi pada Muawiyah ini, bahkan di sana terselip suatu pesan, bahwa dalam kedudukan sebagai raja, ia akan bisa tergelincir dan melakukan kesalahan dalam kaitannya dengan orang lain, karena itu berliau menasehatinya, “…..berbuat baiklah…!!”

Dan kita tahu masyhur Nabi bersabda,

الخلافة فى امتى ثلاثون سنة ثم مُلكا بعد ذلك

“Khilafah di tengah umatku selama 30 tahun. Kemudian setelah itu diganti (raja²) kerajaan.”

(HR Ahmad, Abu Daud, Turmudzi).

Hadist tersebut” mengindikasikan” 30th terhitung dari era Abu Bakar sampai era Sayyidina Hasan.

Dan dengan hadist

“Wahai Muawiyah, jika kamu menjadi raja, maka berbuat baiklah…!!!”.

Apa yang ditangkap Muawiyah adalah semacam “restu” dari Nabi saw, karenanya, sejak mendengar sabda beliau ini, ia sangat menginginkan (berambisi) untuk memegang jabatan khalifah. Muawiyah memang tidak pernah mengalami masa sulit dan penderitaan dalam keislamannya, karena bukan termasuk dalam sahabat yang memeluk Islam sejak awalnya. Ketika memusuhi Islam, kedudukannya terhormat dan mapan, sehingga praktis kehidupannya selalu dalam kesenangan tanpa derita. Hal ini yang makin memupuk ambisinya untuk bisa mencapai jabatan tertinggi dalam pemerintahan Islam.

Pada masa khalifah Abu Bakar, ia menyertai satu pasukan yang dipimpin oleh Yazid bin Abu Sufyan, kakaknya dalam memerangi pasukan Romawi di Damsyiq, Syam. Setelah memperoleh kemenangan, Yazid ditetapkan Abu Bakar sebagai wali negeri Damsyiq. Setelah Yazid wafat, Muawiyah mengambil alih pimpinan pemerintahan yang sebelumnya dipegang oleh kakaknya, tetapi kemudian kedudukannya tersebut ditetapkan oleh khalifah Abu Bakar.

Ketika Umar memegang jabatan khalifah, ia mengadakan kunjungan ke Syam termasuk ke Damsyiq. Melihat gaya hidupnya yang bermewah-mewah, yang sangat berbeda dengan prinsip hidupnya, Khalifah Umar berkata kepadanya, “Ini adalah Kisra (Kaisar) Arab….!”

Sepulangnya ke Madinah, ia menerbitkan surat pemecatan Muawiyah sebagai wali negeri Damsyiq, dan mengirimkan Sa’id bin Amir sebagai penggantinya. Seorang sahabat yang memiliki prinsip hidup sederhana dan membenci kemewahan, seperti halnya Umar sendiri. Dalam riwayat lain, bukanlah wali negeri Damsyiq, tetapi wali negeri Homs, suatu wilayah yang sama-sama berada di Syam.

Pada pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan, Muawiyah ditetapkan sebagai gubernur untuk seluruh wilayah Syam, termasuk Palestina. Sebenarnya banyak keluhan masyarakat Syam tentang kepemimpinan Muawiyah dan juga keberandalan putranya, tetapi semua laporan dan keluhan masyarakat tersebut disembunyikan oleh sekretaris Khalifah Utsman, Marwan yang memang masih saudara sepupu Muawiyah.

Setelah wafatnya Utsman dan hampir masyarakat muslim memba’iat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah, Muawiyah menolak untuk berba’iat. Ia berhasil menghimpun kekuatan di Syam dan melakukan perlawanan terhadap pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Muawiyah memang memiliki kecerdikan dan kemampuan strategi serta politik yang hebat. Dengan dalih menuntut balas atas kematian khalifah Utsman, ia berhasil mempengaruhi beberapa sahabat untuk bertikai dengan Ali dan memihak pada dirinya. Dan dengan suatu muslihat pula, ia berhasil menurunkan Ali dan meneguhkan dirinya sebagai khalifah, atau tepatnya Raja, karena hanya masyarakat Syam saja yang sepakat memba’iatnya, sedangkan masyarakat di luar Syam tidak bulat mendukungnya.

Beberapa sahabat memilih abstain, tidak memilih dan memihak pada salah satu kubu, dan tidak ingin terlibat dalam perselisihan dua kelompok kaum muslimin tersebut. Di antara sahabat utama yang memilih sikap ini adalah Abdullah bin Umar, Usamah bin Zaid, Sa’ad bin Abi Waqqash dan Muhammad bin Maslamah. Muawiyah beranggapan, bahwapenolakan mereka mendukung Ali, sebagaimana sahabat utama lainnya, karena mereka tidak mengakui keutamaan Ali atau meragukan berhak tidaknya Ali sebagai khalifah. Muawiyah sangat menginginkan dukungan mereka untuk mengokohkan kedudukannya sebagai Amirul Mukminin (khalifah, dalam pemahamannya). Ia mengirimkan beberapa utusan menemui mereka dan mempengaruhi mereka agar mendukung dirinya. Bahkan para utusannya tersebut dipesankan untuk membawa bahasa diplomasi yang cerdas, “Sesungguhnya tuan-tuan lebih berhak menduduki kekhalifahan daripada Ali.”

Tetapi apa yang diharapkan oleh Muawiyah jauh sekali dari kenyataan. Bahkan ia seolah menerima tamparan keras dengan jawaban mereka.

Ibnu Umar menjawab ajakannya dengan ucapan : “Apa yang kamu harapkan dariku, adalah sesuatu yang menjadikan dirimu seperti sekarang ini…Aku tidak bergabung dengan Ali bukan karena aku mencurigainya. Demi Allah, aku sama sekali tidak setaraf dengan Ali bin Abi Thalib, baik dalam hal keimanan, hijrah dan kedudukannya di sisi Rasulullah, dan juga perjuangannya dalam melawan kemusyrikan…. Tetapi yang terjadi sekarang ini, sama sekali tidak pernah terjadi di masa Rasulullah, karena itu saya tidak ingin memihak siapapun!! Jangan coba-coba mempengaruhi diriku..!!”

Kalau Abdullah bin Umar mengakui tidak selevel dan sederajad dengan Ali, bagaimana dengan Muawiyah??

Dan Sa’d bin Abi Waqqash memberikan jawaban seperti ini, “Persoalan ini sejak awal tidak aku sukai dan akhirnyapun tidak aku sukai…Seandainya Thalhah dan Zubair tetap tinggal di rumahnya masing², tentu itu lebih baik bagi mereka…Semoga Allah mengampuni Ummul Mukminin (Aisyah ra) atas apa yang telah terjadi. Sungguh saya tidak akan pernah memerangi Ali selama-lamanya Saya telah mendengar Rasulullah bersabda kepada Ali : “Kedudukanmu di sampingku, adalah laksana Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada lagi Nabi sesudahku….”

Memang, tiga orang utama, Aisyah, Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam sempat termakan fitnah yang dihembuskan oleh Muawiyah. Atas dalih “menuntut balas pembunuh Utsman”, mereka memimpin sekelompok pasukan melawan Ali yang dianggap tidak tegas terhadap pembunuh Utsman. Pertentangan bersenjata yang dikenal dengan nama Perang Jamal (Perang unta), sebenarnya berakhir damai karena Thalhah dan Zubair yang memimpin pasukan tersebut akhirnya menyadari kesalahannya, dan mundur dari pertempuran. Hanya saja ada beberapa orang yang tidak puas dengan gagalnya pertempuran, segera membunuh Thalhah dan Zubair, yang sama sekali tidak melakukan perlawanan. Sedangkan Ummul Mukminin Aisyah dikawal pulang ke Madinah dengan pengawalan pasukan yang dipimpin Muhammad bin Abu Bakar, saudaranya sendiri yang berada di pihak Ali.

Sedangkan Muhammad bin Maslamah memberikan jawaban yang tegas, tanpa tedeng aling-aling, “…Sesungguhnya kamu (wahai Muawiyah), demi nyawaku, yang kamu cari tidak lain hanyalah duniawiah semata, dan yang kamu perturutkan tidak lain adalah hawa nafsu belaka. Kamu membela Utsman di kala ia telah wafat sedangkan semasa hidupnya, engkau hanya merongrongnya…. Andaikata sikapku ini tidak sesuai dengan yang kamu harapkan, hal itu sedikitpun tidak mengurangi kesenanganku dan tidak menyebabkan keraguanku. Sungguh aku lebihmengenal dan mengetahui kebenaran daripada engkau…!!”

Inilah sebagian dari fitnah yang terjadi di kalangan umat Islam saat itu, fitnah, yang kata Al qur’an lebih besar (dosanya) daripada pembunuhan. Terbunuhnya kaum muslimin akibat fitnah ini jauh lebih banyak daripada sekedar pembunuhan biasa, dan itu dilakukan oleh orang islam sendiri. Fitnah yang hampir pasti tidak bisa dihindarkan karena Nabi telah meramalkan sebelumnya, dengan berbagai sabda beliau kepada beberapa orang sahabatyang berbeda-beda.

Terlepas dari peran kontroversial Muawiyah dalam situasi fitnah yang tidak terhindarkan ini, wilayah Islam makin meluas dalam masa pemerintahannya, bahkan menjangkau wilayah Eropa sekarang ini.

Kita semua tentu sudah tahu bagaimana keutamaan Umar bin Abdil ‘Aziz. Keadilan, ketegasan dan kesalehan beliau tidak tertandingi oleh siapapun pemimpin “setelahnya” . Namun, jika dibandingkan dengan Muawiyah, siapa yang lebih baik?

Seorang Ulama Tabi’in yang masyhur yaitu Abdullah bin Mubarak ditanya:

أيهما أفضل معاوية بن أبي سفيان ، أم عمر بن عبد العزيز ؟

“Siapa yang lebih utama, Mu’awiyah bin Abi Sufyan atau Umar bin Abdul Aziz?”

Ibnul Mubarak menjawab:

“Demi Allah, sungguh debu yang masuk ke hidung Mu’awiyah bersama Rasulullah lebih baik beribu-ribu kali daripada Umar (bin Abdil’Aziz). Mu’awiyah telah shalat di belakang Rasulullah saw. Nabi mengucapkan: “Sami’allahu liman hamidah” (Allah mendengarkan orang yang memuji-Nya) lalu Muawiyah menjawab, “Robbana walakal hamd.” (Wahai Rabb kami bagi-Mu lah pujian)” Apa ada (keutamaan lebih besar) setelah ini?”.

(Wafayatul A’yan).

Menurut mayoritas ulama, sikap Kaum Muslimin dalam menyikapi konflik Ali-Muawiyah adalah meyakini bahwa mereka semua sedang berijtihad merespon situasi yang sangat pelik pada masa itu. Di antara mereka ada yang benar dan mendapat dua pahala, tetapi di antara mereka ada yang salah dan mendapat satu pahala. Kita tidak boleh membicarakan sahabat Nabi dengan perasaan benci. Bagaimanapun juga Muawiyah seorang sahabat Nabi, dan kita sama sekali “tidak pantas” untuk melakukan penilaian apalagi “hujatan” atas apa yang telah dilakukan Muawiyah. Kita serahkan semuanya kepada Allah, Dialah Pemilik Rahasia Takdir dan Arsitek semua peristiwa yang telah terjadi di antara para sahabat.

Penulis: Musa Muhammad.

*Demikian kisah Khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan, Membaca Konflik dan Kontroversi, semoga manfaat.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *