KH. R. Ahmad Arwan Bauis: Pejuang NU Tulen, Pengawal Setia Gus Dur

kiai arwan pejuang nu yogya

Keteguhan dalam memperjuangkan organisasi, selalu bersikap terbuka untuk merangkul semua tanpa membedakan asal usul golongan menjadi salah satu karakter mulia yang patut kita teladani dari KH R. Ahmad Arwan Bauis.

Banyak sekali riwayat bermisi perjuangan untuk Nahdlatul Ulama yang patut dikenang dalam rentang hayat KH Arwan. Sejak lahir di Bantul (9 Januari 1949), KH Arwan sudah aktif berkiprah di NU. Jiwa Nahdliyinnya sudah melekat, menjadi laku harian sedari kecil. Putra dari H Busyro Abdullah dan Hj. Solihah ini adalah santri di Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Menjadi Ketua IPNU Bantul dan anggota GP Anshor mengawali karir berorganisasi Arwan muda. Kiprah organisasi berlanjut ketika KH Arwan dipercaya menahkodai LP Ma’arif NU DIY. Kemudian menjadi Wakil Ketua PWNU DIY, mendampingi KH Sofwan Helmi.

Saat memimpin LP Ma’arif PWNU DIY karakter dan jiwa ke-NU-an KH Arwan mulai tampak jelas dan tegas. Sekolah-sekolah swasta “bermanhaj” Aswaja, yang sebelumnya tidak memiliki status yang jelas, beliau akomodasi ke dalam naungan yayasan LP Ma’arif NU. Pada masa-masa itu banyak kader-kader NU yang merasa tidak percaya diri. Mereka enggan mengakui sebagai warga Nahdliyin. Tetapi tidak bagi KH Arwan. Baginya, NU adalah ideologi, sekaligus identitas yang harus mendapat pengakuan di ruang publik. Beliau tampil dengan elegan bahwa jati dirinya adalah Nahdliyin. Sikap itu pula yang ditunjukkan ketika KH Arwan bertugas, baik di Kemenag Sleman maupun di Kawil Kemenag DIY.

 

Pejuang NU Tulen

Di lingkungan pergaulan sosial, pribadi KH Arwan sangat terbuka. Beliau tidak membatasi diri dengan kelompok atau organisasinya saja. Beliau hidup berdampingan, menjalin persahabatan dengan siapa saja, berasal dari golongan apa saja lewat sentuhan kedamaian dan kesetaraan. KH Arwan menghadirkan NU menjadi semacam “persekutuan inklusif”. Maka, menjadi sangat mafhum jika tindakannya selalu  dijangkarkan pada semangat kebersamaan, haluan toleransi dan sikap lapang, tanpa melihat latar belakang agama, aliran, ataupun asal usul seseorang.

KH Arwan begitu akrab dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah. Pernah suatu saat beliau bersama Prof Abdul Munir Mulkan menerbitkan sebuah buku tentang ke-NU-an. Hal yang sama juga dengan Prof Malik Fadjar, beliau akrab betul. Bahkan, H. Rosyad Soleh, yang merupakan Sekjen PP Muhammadiyah pernah mengatakan bahwa KH Arwan punya keteguhan hati dalam berjuang untuk organisasi (NU), dalam sosial-bermasyarakat hampir semua orang dirangkulnya, beliau tidak pernah membatasi dengan siapa bergaul.

Menurut Dr. KH Hilmy Muhammad, Wakil Rais Syuriah PWNU DIY, KH Arwan adalah pejuang NU tulen dan sesepuh Ansor. Beliau adalah murid Simbah almarhum KH. Ali Maksum, dan juga sahabat sekaligus pengawal almarhum KH. Abdurrahman Wahid bila sedang di Jogja. Komitmen perjuangan beliau terhadap NU tak tertandingi, lahir-batin.

Di masa awal-awal reformasi, lanjut Gus Hilmy, beliau mencapai puncak karier jabatan dan senioritas di Departemen Agama Wilayah DIY. Beliau sebenarnya “berhak” menduduki jabatan Kakanwil. Akan tetapi karena ada “komitmen sharing kekuasaan”, yaitu khusus untuk DIY dan Sumatera Barat “diserahkan” untuk kalangan Muhammadiyah, beliau menerima hal tersebut dengan penuh legowo. Ini menjadi pelajaran besar bagi kita bahwa jabatan bukan segala-galanya, dan bahwa NU -sebagai lembaga dakwah dan pengabdian- tidak sepatutnya dijadikan pijakan guna mendapatkan suatu kedudukan tertentu.

Barangkali dari laku kesehariannya itu, beliau ingin menyampaikan pesan kepada kita bahwa “cintai mereka yang ada di bumi, engkau akan meraih cinta dari langit”. Dengan Presiden RI ke-4, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pun demikian. Mereka berdua sudah serupa sahabat kental. Ketika Gus Dur ke Yogyakarta hampir dipastikan berkunjung ke rumah beliau, walaupun sekedar untuk menyapa dan melapas rindu. Pertemanan keduanya terjalin begitu sangat erat. Saat Gus Dur mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di awal masa reformasi, KH Arwan turut andil dalam pembentukan DPW PKB di wilayah Yogyakarta. Madrasah Al-Munajah yang didirikan KH Arwan diresmikan pula oleh Gus Dur. Pengabdian beliau untuk pendidikan NU sudah tidak diragukan lagi. Seolah-olah hampir setiap hari beliau mengurusi NU.

 

Karomah Kiai Arwan

Ada kisah menarik terkait karamah yang dimiliki oleh Kiai Arwan Bauis. Kisah ini diceritakan oleh Pembimbing KBIH Ar-Raudhah KH. Abu Salim Aliy. Di saat jutaan umat Islam berkumpul di Mina, cuacanya sangat panas, terutama bagi orang-orang Indonesia. Menurut penuturan  KH Abu Salim Aliy, pada Minggu (05/10/2014) siang suhu udara mencapai 47 derajat celcius.

Menghadapi cuaca ekstrim tersebut, Kiai Abu Salim Aliy merencanakan untuk melakukan nafar awal, yakni meninggalkan Mina lebih awal sehari untuk kembali ke Makkah. Rencana inipun lantas dikonsultasikan kepada Ketua KBIH Ar-Raudhah KH A Arwan Bauis yang berada di Yogyakarta.
Akan tetapi,  KH Arwan Bauis justru menyarankan agar para jemaah diajak mengamalkan ayat “Ya naaru kuni bardan wa salaman” yang artinya wahai api, jadilah dingin dan membawa keselamatan. Para jemaah pun lantas diajak membaca petikan ayat tersebut sebanyak 100 kali.
“Atas petunjuk Ketua KBIH Ar-Raudhah bapak KH Arwan Bauis, jemaah habis Dhuhur kita ajak membaca, yaa naru kuni bardan wasalaman 100x. Alhamdulillah, tidak lama kemudian mendung dan gerimis,” tutur KH Abu Salim Aliy mengakhiri ceritanya.

Kejadian tersebut merupakan sebuah keajaiban. Berarti doa tersebut langsung dikabulkan oleh Allah SWT. Karena itu pulalah jemaah Ar-Raudhah berketetapan untuk mengambil nafar tsani.

Pada hari Selasa malam pukul sepuluh tanggal 11 Agustus 2015, KH. R.A. Arwan Bauis SH menghembuskan nafas terakhirnya setelah menderita leukemia bertahun-tahun. Ribuan pelayat mengantar jenazah Kiai Bauis ke tempat peristirahatan di Makam Wonokromo Pleret Bantul, Rabu (12/08/2015). Mereka dari berbagai kalangan, mulai masyarakat awam sampai kiai dan pejabat.
Para pelayat yang hadir di antaranya adalah putri Gus Dur Alissa Qotrunnada, KH. Asyhari Abta, Prof Rochmat Wahab, Drs Noor Hamid dari Kanwil Kemenag DIY, mantan Bupati Bantul Hj Sri Surya Widati,

Upacara pemakaman dimulai pukul 14.00. Puncaknya berupa doa yang secara bergantian dipimpin KH R Najib Abdul Qodir dari PP Al-Munawwir Krapyak, KH Mu’tashim Billah dari PP Sunan Pandanaran Sleman, KH Dr H Malik Madaniy MA (mantan Katib ‘Aam PBNU), dan KH Abu Salim Aliy (PP Hidayatul Muttaqien Lodoyong Tempel Sleman). (yn/jk)

 

 

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *