Oleh: Ali Usman Pengajar di Sekolah Tinggi Islam Sunan Pandanaran (Staispa)
Namanya memang tidak sepopuler tokoh-tokoh NU lain, meski ia sebenarnya tokoh penting yang berjasa besar dalam mengembangkan keorganisasian NU. Pak Tolchah, begitu ia disapa, berhasil menorehkan sejarah ketika mencetuskan lahirnya organisasi Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) dan gagasan tersebut disetujui pada acara Konferensi Ma’arif Nahdlatul Ulama di Semarang pada tanggal 20 jumadil akhir 1973 bertepatan dengan 24 Februari 1954.
Mulai saat itu Pak Tolchah tercatat sebagai pendiri IPNU secara aklamasi dan ditunjuk sebagai ketua umum pertama organisasi ini dan terus terpilih menjadi ketua umum IPNU dalam rentetan tiga Muktamar, Muktamar I di Malang (1955), Muktamar II di Pekalongan (1957) dan Muktamar III di Cirebon (1958).
Pak Tolchah lahir di Malang, 10 September 1930. Ia dikenal sebagai seorang akademisi, intelektual, politisi, aktivis, organisator, dan kiai. Istinya bernama Umroh Mahfudzah, putri dari KH. Wahab Chasbullah dan dikarunia anak 3 laki-laki dan 4 perempuan.
Karir pendidikannya dimulai dari SR-NU (1937), kemudian tahun 1945-1947 melanjutkan ke SMP Islam namun tidak sampai lulus. Tahun 1949 kembali melanjutkan pendidikannya di Taman Madya, Taman Dewasa Raya (setara SLTA) , dan selesai pada tahun 1951.
Tahun 1951, Pak Tolchah melanjutkan ke jenjang perkuliahan di Fakultas Hukum, Ekonomi, Sosial dan Budaya (HESP) Universitas Gadjah Mada (UGM), namun sempat berhenti kuliah pada tahun 1953. Kemudian pada 1959 ia melanjutkan kembali kuliah sampai mendapat gelar Sarjana Hukum pada 1964, kemudian dilanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi hingga mendapat gelar doktor dalam bidang Hukum ketatanegaraan di bawah bimbingan Prof. Dr. Abdul Ghaffar Pringgodigdo, dan berhasil memperhahankan desertasi dengan judul Pembahaasan Beberapa Aspek Tentang Kekuasaan Eksekutif Dan Legislatif Negara Indonesia.
Karena itulah, berkat ketekunannya dalam menggeluti disiplin Hukum Tata Negara sejak S1 hingga doktoral di UGM, Pak Tolchah menjadi seorang pakar Hukum Tata Negara terkemuka. Di UGM, ia adalah tokoh doktor Hukum Tata Negara pertama di kampus itu. Di kancah nasional, namanya tercatat dalam deretan pakar Hukum Tata Negara generasi kedua, segenerasi dengan Prof. Dr. Ismail Suny, SH, Prof. Dr. Sri Sumantri, SH, dan Prof. Dr. Harun Al-Rasyid, SH. Namun karena persoalan politik, gelar profesornya dihambat hingga ia wafat. Di tengah konstelasi politik yang tidak berpihak pada NU, Pak Tolchah memang menjadi “tumbal” diskriminasi oleh rezim Orde Baru.
Sebagai ilmuwan, ia mengabdikan hidupnya untuk pendidikan. Pak Tolchah mengajar dan sempat menjabat posisi puncak di struktur kampus. Ia tercatat sebagai dosen di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, IKIP Yogyakarta, IAIN Sunan Ampel Surabaya, dan Akademi Militer di Magelang. Selain itu, ia pernah pula menjadi Direktur Akademi Administrasi Niaga Negeri (1965-1975), Rektor Universitas Hasyim Asy’ari, Jombang (1970-1983), Rektor Perguruan Tinggi Imam Puro, Purworejo (1975-1983) serta menjadi Dekan Fak. Hukum Islam di Universitas Nahdlatul Ulama’ (UNU) di Surakarta.
Di keorganisasi NU, karena pengetahuannya yang luas tentang Hukum Tata Negara dan kitab-kitab klasik, serta sikap ke-Indonesia-annya yang mendalam maka Pak Tolchah berhasil meyakinkan para muktamirin NU di Situbondo tahun 1984 untuk menerima Pancasila sebagai asas tunggal, dan Munas Alim Ulama’ pada saat itu juga berhasil mengembalikan NU pada garis perjuangannya yaitu kembali ke Khittah 1926. Hasil Muktamar 1984 juga telah memilih Pak Tolchah sebagai salah satu Rais Syuriah PBNU.
Sementara di bidang politik, Pak Tolchah pernah menjadi politisi muda NU di Yogyakarta pada 1950-an. Ia menjadi anggota DPRD Yogyakarta saat ia masih kuliah. Perjalanan politiknya menanjak saat ketika ia dipercaya mewakili NU untuk duduk menjadi anggota Badan Pemerintahan Harian (BPH) Propinsi Yogyakarta, sebuah kabinet di di bawah Gubernur.
Pak Tolchah meninggal dunia pada 20 Oktober 1986, dan dikebumikan di makam keluarga KH Ali Ma’shum, Pondok Pesantren Krapyak (atas permintaan alm. KH Ali Ma’shum pribadi kepada istrinya). Sepeninggalnya banyak sekali kalangan muda NU yang dulu pernah nyantri kepadanya di kompleks Colombo, menjadi orang hebat dan berguna bagi bangsa dan negara ini. Satu di antaranya adalah Prof. Dr. H. Machasin MA.