KH Ma’ruf Irsyad Kudus, Kiai yang Tidak Mengenal Tarif dalam Ceramah

KH Ma'ruf Irsyad Kudus

KH Ma’ruf Irsyad Kudus. Sosok ulama’ kharismatik asal Kudus yang terkenal dan sangat disegani. Beliau wafat pada Kamis 22 Juli 2010 saat berusia 73 tahun. Saya pribadi begitu dekat dengan Kyai Ma’ruf—begitu ia beliau disapa.

Saya sendiri muridnya, saat beliau mengajar di Madrasah Diniyyah Mu’wanatul Muslimin Kenepan Kudus. Sekolah diniyyah ini khusus mengajarkan ilmu-ilmu agama dan waktunya setelah sekolah formal di pagi hari sekitar jam 2 siang. Saya diajar Kyai Ma’ruf ilmu faraid (ilmu pembagian warisan). Dalam mengajar beliau sangat kebapakan, tidak pernah marah dan mengetahui kalau para anak didiknya kelelahan karena setelah paginya menuntut ilmu di sekolah formal.

Beliau dikatakan kyai yang mumpuni karena keilmuwannya. Berkat keilmuwannya beliau mengajar di beberapa madrasah di Kudus antara lain: Madrasah Taswiquttulab Salafiyyah (TBS), Qudsiyyah, Banat, Mualimmat dan Muawanatul Muslimin. Belum lagi kesibukan beliau mengajar hadist di masjid menara kudus setiap malam Senin.

Saya sebagai muridnya mengikuti materi hadits yang disampaikan di masjid menara Kudus. Dalam memberikan materi hadits sangat mudah dipahami masyarakat umum. Halaman maupun masjid menara Kudus selalu penuh dengan orang yang ingin mendengarkan pengajian hadist yang disampaikan beliau.

Sebagai santri dan murid beliau, setiap lebaran selalu silaturahim. Seperti kebanyakan santri dan murid lainnya, saya pun mencium tangan sebagai tanda hormat dan meminta doanya. Walaupun saat lebaran tamunya sangat banyak beliau masih menyapa dan mengenali saya dan menanyakan kondisi dan pekerjaan. Karena sejak kecil saya selalu mengaji dengan beliau.

Almarhum ayah saya sangat bersahabat dengan beliau. Beberapa kali almarhum bapak menitipkan saya ke pondoknya. Mungkin karena waktu kecil saya agak bandel, beberapa kali balik ke rumah, padahal pondok beliau sangat dekat dengan tempat saya tinggal. Sangat dekatnya almarhum bapak dengan Kyai Ma’ruf, saat pelepasan jenazah bapak saya, Kyai Ma’ruf lah yang memberikan sambutan. Bapak saya meninggal di bulan Sya’ban, begitu pula Kyai Ma’ruf dipanggil yang Maha Kuasa di bulan Sya’ban. Semoga di alam sana mereka dapat dipertemukan. Amien.

Kyai Ma’ruf terkenal dengan kesederhanaan, keikhlasan dan tidak mau menyusahkan orang lain. Masih ingat di benak saya, beliau kemana-mana selalu menggunakan sepeda onta. Kyai Ma’ruf  berhenti memakai sepeda onta sekitar tahun 2007, mungkin karena beliau sudah tua dan dikhawatirkan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, para santri dan murid mengantarkan beliau mengajar, mengisi pengajar maupun kegiatan lainnya dengan sepeda motor atau mobil. Bagi seorang santri, mengantarkan kyai merupakan ada nilai lebih karena akan mendapat barakoh. Mungkin secara rasional tidak masuk akal, karena harus mengeluarkan uang bensin dan tenaga. Tapi justru ini yang jadi rebutan para santri.

Beliau juga murid almarhum Kyai Turaichan Adjuri—ahli falak dari Kudus. Ulama kharismatik yang selalu memegang dengan teguh pendapatnya walaupun harus berhadapan dengan penguasa. Almarhum KH Turaichan selalu mengadakan pengajian saat bulan romadhan di Masjid Langgar Dalem selama satu bulan. Kyai Ma’ruf pun mengikuti pengajian kyai Turaichan dan menyimak apa yang disampaikan Kyai Turaichan.

Kyai Ma’ruf datang ke pengajian Kyai Turaichan berjalan kaki karena lokasi sangat dekat dengan Masjid Langgar Dalem. Banyak santri dan murid Kyai Ma’ruf merasa sungkan melewati jalan yang biasa dilewati Kyai Ma’ruf ke pengajian Kyai Turaichan. Begitu pula saat duduk di pengajian Kyai Turaichan. Ketika terlambat dan tempat pengajian Kyai Turaichan sudah penuh, Kyai Ma’ruf rela duduk di halaman masjid. Melihat ini, para santrinya yang juga ikut ngaji KH Turaichan mempersilahkan ke tempat yang lebih layak.

Saya dengan mata kepala sendiri menyaksikan Kyai Ma’ruf dengan halus menolak permintaan para santrinya. Belum lagi undangan mengisi pengajian yang tidak mau dijemput dengan berangkat sendiri. Waktu masih sehat, Kyai Ma’ruf selalu mendatangi siapapun yang mengundang baik kalangan kelas bawah maupun kelas atas. Kyai Ma’ruf tidak pernah memasang tarif dalam memberikan ceramah .

“Kalau ada amplop diterima, kalau tidak, ngak apa-apa,” itulah cerita Kyai Ma’ruf yang pernah saya dengarkan.

Tindakan yang dilakukan Kyai Ma’ruf sangat berbeda dengan kyai atau ustadz jaman sekarang yang tindakannya seperti artis dengan memasang tarif tertentu. Dan keikhlasan ini terbawa saat kematian menjembut beliau. Para warga, santri, pejabat Kudus secara ikhlas mengantarkan beliau ke peristirahan terakhir. Mereka tidak digerakkan oleh uang sebagaimana politik yang ada di Indonesia, tapi nilai-nilai yang telah diajarkan Kyai Ma’ruf. Belum lagi murid beliau yang di luar kota, misalnya di Jakarta.

Saat berita kematian, salah satu murid beliau yang menjadi anggota DPR mengumpulkan para murid beliau di Jakarta untuk diajak ke Kudus memberikan penghormatan terakhir pada Kyai Ma’ruf. Kini, keikhlasan yang diajarkan Kyai Ma’ruf pada para murid dan santri menjadi amal jariyah beliau. Walaupun jasad beliau sudah tiada, tapi ajarannya akan selalu dikenang dan diamalkan para murid dan santri beliau.

Kepada KH Ma’ruf Irsyad, kami panjatkan doa Allahumaqfirlahu Warhamhu Wa’afihi Wa’fuanhu dan kiriman Alfatihah.

Penulis: Achsin El-Qudsy.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *