Sebelum perhelatan Muktamar NU ke 33 di Jombang, KH. Ma’ruf Amin menyampaikan kriteria seorang Rais `Aam, pemimpin tertinggi di organisasi NU. Kriteria itu ia rumuskan setelah memperhatikan syakhshiyah para Rais `Aam dari waktu ke waktu.
Pertama, faqih. Maksudnya, menguasai ilmu keagamaan mendalam. Rais `Aam merupakan pucuk pimpinan di NU. Berkewajiban mengarahkan jam’iyah (organisasi) dan jama’ah (warga). Bukan hanya dalam hal organisasi, tapi juga keagamaan.
Kedua, munaddhim. Maksudnya, faham mengelola organisasi. NU merupakan jam’iyah diniyah terbesar di Indonesia. Strukturnya sampai ke tingkat anak ranting di desa-desa seluruh Indonesia. Sebagai pemimpin tertinggi, Rais `Aam harus mampu mengelola organisasi sebesar NU.
Ketiga, muharrik. Maksudnya, mampu menggerakkan. Sebagai jam’iyah, NU merupakan harakatu al-ulama fi ishlahi al-ummah wa ad-daulah. Gerakan ulama dalam memperbaiki/memberdayakan umat dan Negara. Menurutnya, seorang pemimpin harus mampu menggerakkan. Seperti dynamo yang menggerakkan bagian mesin lainnya. Bukan bergerak sendiri dan tidak “ngefek” ke yang lain. Seperti gasing yang hanya muter sendiri.
Keempat, mutawarri’. Maksudnya, terjaga kehidupannya. Dari sesuatu yang syubhat, apalagi yang haram. Dalam pergaulan, perilaku, dan tindak laku kehidupannya. Ia harus bisa jadi suri tauladan bagi warga NU.
Menurutnya, mencari orang yang sesuai dengan empat kriteria tersebut memang tidak mudah. Setidaknya dicari orang yang mendekati empat kriteria tersebut (al-aqrab ila al-maqam).
Di lingkungan NU, biasanya para ulama saling tidak mau menduduki maqam Rais `Aam tersebut. Mengingat betapa berat tanggungjawabnya. Itu juga yang terjadi di Muktamar NU di Jombang. Karena para alim ulama saling tidak mau, akhirnya ahlul halli wal `aqdi (para ulama khash yang bertugas memilih Rais `Aam) menunjuk KH. Ma’ruf Amin. Tak dapat menghindar, ia emban amanah itu.
Selama menjadi Rais `Aam, sekuat mungkin ia terapkan empat kriteria di atas. Tiada kenal lelah ia juga menggerakkan komponen-komponen organisasi NU. Tidak hanya di tingkat Pengurus Besar di Pusat. Tapi juga di Pengurus Wilayah dan Cabang. Setelah organisasi dirasa mulai bergerak, segera ia menarik diri dan menyerahkannya kepada masing-masing pengurus yang bertanggung jawab.
Gaya kepemimpinan seperti itu juga ia terapkan di MUI. Di mana ia juga diamanahi sebagai ketua umum. MUI juga organisasi besar. Strukturnya sampai di tingkat kecamatan. Di dalamnya lebih berwarna. Karena semua pimpinan ormas dan kelembagaan Islam ada di situ. Paradigma MUI sebagai khadimul ummah (pelayan umat) dan shadiqul hukumah (mitra pemerintah) semakin kukuh di bawah kepemimpinanya.
Ia berhasil menjadi figur penggerak di dua organisasi besar, NU dan MUI. Akankah keberhasilan itu akan terjadi juga kala ia ditakdirkan memimpin negeri ini.
Sekali lagi, mari kita doakan.
Jakarta, 11 Februari 2019.
Penulis: Sholahudin Al Aiyub, Katib Syuriah PBNU.