KH Ali Yafie (Rais Aam NU 1991-1992), Tak Pernah Tahu Rasanya Kenyang Makan

prof kh ali yafie

Selepas maghrib pertengahan Februari tahun ini (2016), saya bersama seorang teman sowan kepada kiai besar negeri ini. Ia pernah menjadi Ketua Umum Majelis Ulama (MUI) Pusat dan memimpin ormas terbesar dunia, yaitu menjadi Pejabat Rais ‘Aam PBNU zaman Tanfidziyah KH Abdurrahman Wahid. Dialah Prof KH Ali Yafie.

Maghrib dengan sisa-sisa hujan waktu itu. Bintaro, Jakarta Selatan, basah. Jalanan lengang karena hari itu libur. Kami sampai ke kediaman kiai kelahiran Sulawesi Selatan yang telah berusia 90 tahun tersebut tak lebih 20 menit selepas azan.

Kami berjamaah shalat maghrib dengan imam salah seorang putranya, Helmi Ali. Tak lama kemudian Kiai Ali Yafie diperiksa tekanan darah oleh keluarganya. Itu hal rutin yang dilakukan kepadanya tiap menjelang malam. Tak ada penyakit serius yang mendera masa tuanya. Tidak ada. Ia tak banyak beraktivitas lagi karena memang telah tua.

Itulah salah satu yang menjadi pertanyaan kami ketika mengorol dengan kiai berperawakan kurus tersebut.

Helmi Ali kemudian memapah Kiai Ali Yafie ke ruangan tengah. Ia berbaju batik panjang, bercelana hitam, bersandal, dan tentu saja berkopiah hitam. Duduk dia di sebuah kursi, di depan sebuah lemari yang berderet buku-buku.

Setelah bersalaman dengannya, teman saya langsung bertanya, bisanya istirahat tiap pukul berapa? Kiai Ali menjawab, rata-rata tidur pukul 11 malam. Suaranya masih terdengar jelas.

Teman saya menyusul dengan pertanyaan lain. Apa resepnya menjaga kesehatannya. Ia menjawab hiduplah dengan teratur, makan dan istirahat yang teratur. Teratur. Dan tak pernah kenyang makan dan minum.

Menurut pengakuannya, ia tak pernah tahu rasanya kenyang makan dan minum sampai setua ini. Tak pernah. “Makan teratur tidur teratur. Kita dididik oleh ayah tidak boleh kenyang,” katanya.

Sementara untuk menjaga ingatan, ia adalah orang yang tak pernah berhenti membaca kitab kuning dan buku. Buku apa saja. Mulai dari fikih, sastra, politik, sosial, sampai cerita silat. Panjang umur, kiai. Semoga sehat selalu. Dan tentu saja Al-Qur’an.

“Bagi saya membaca buku adalah kewajiban pertama karena ayat pertama itu iqro, bacalah. Sebelum orang disuruh sembahyang, disuruh membaca dulu. Buat saya itu, kewajiban mutlak. Jadi Saya tidak pernah tidak membaca dalam satu hari,” jelasnya.

Suatu saat saya akan menceritakan bagaimana Kiai Ali Yafie dengan buku. Bagaimana pula hubungannya dengan kiai yang dianggap ayahnya sendiri, KH Bisri Sansoeri, Rais ‘Aam PBNU pada masa Orde Baru. Ia merasa dikader dalam fikih oleh kiai yang salah seorang pendiri NU tersebut.

Penulis: Abdullah Alawi, NU-Online.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *